Hal-hal Serius di Balik Poster Slengean Aksi #ReformasiDikorupsi

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
5 min readSep 29, 2019

--

Oleh Aloysius Bram

Foto oleh Thonthowi Yusuf

Perselingkuhan antara pemerintah dengan berbagai kepentingan yang bukan prioritas pantas membuat rakyat geram. Melalui inisiasi oleh berbagai kalangan, terutama anak muda, kegeraman itu mewujud dalam berbagai bentuk tak terkecuali gelombang aksi massa bertajuk #ReformasiDikorupsi yang terjadi dalam sepekan terakhir. Ada yang menarik dari bagaimana cara generasi muda, yang sebagian besar teridentifikasi sebagai mahasiswa dan pelajar, mengekspresikan aspirasi yang tertuang dalam poster maupun spanduk aksi.

Akun Instagram @revowriter misalnya mengurasi berbagai ekspresi itu. “Menarik melihat tulisan di spanduk dan poster yang bertebaran di aksi mahasiswa di berbagai kota, kemarin dan hari ini. Kutipan yang kreatif sekali,” tulis akun tersebut dalam unggahannya 24 September 2019 lalu. Tirto.id sendiri juga mengulas kemunculan poster-poster nyeleneh itu. “Itulah cara pendemo menghubungkan antara kebijakan negara dengan dampaknya terhadap kehidupan pribadi mereka”, tulis Tirto dalam artikel yang berjudul Poster Demo Nyeleneh: karena Urusan Personal Juga Politis tersebut.

Bagaimana tidak, aspirasi itu terartikulasi dalam beberapa bentuk ekspresi yang memang nyeleneh seperti “Asline mager pol, tapi piye meneh? DPR-e pekok” yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Aslinya malas gerak, tapi gimana lagi, DPR-nya bodoh”. Atau ungkapan lain seperti “DPR udah paling bener tidur, malah disuruh kerja”, dan “Tuhan tidak tidur, pemerintah yang ketiduran”. Tak pelak artikulasi-artikulasi tersebut menggelitik dan mengundang tawa. Humor menjadi kata kunci dari aspirasi dan ekspresi yang muncul itu.

Maksud baik belum tentu ditanggapi dengan baik. Ada yang mengapresiasi, ada pula mereka yang menanggapi dengan nyinyir. Bentuk-bentuk aspirasi dan ekspresi tersebut dianggap bukti bahwa teman-teman yang turun ke jalan hanya sekadar ikut-ikutan, tak paham poin tuntutan, dan sebagainya. Tetapi benarkah demikian?

Pantaskah ungkapan-ungkapan itu menjadi indikator tunggal yang menunjukkan bahwasanya generasi muda “cuma” main-main semata? Sesungguhnya, memandang sebelah mata ungkapan-ungkapan tadi, dan menutup ruang diskusi tentang fenomena tersebut malah berpotensi mengaburkan apa sejatinya yang terjadi. Jangan-jangan, cara berpikir yang mendiskriminasi usia atau ageisme yang menuntun masyarakat dalam menanggapi aspirasi generasi muda?

Humor Itu Serius

Padahal ada yang serius dalam humor serta ungkapan-ungkapan menggelitik yang mengundang tawa itu. Sigmund Freud dalam Jokes and Their Relation to The Unconscious, seperti yang dikutip Seno Gumira Ajidarma dalam Antara Tawa dan Bahaya (2012), misalnya mengatakan ungkapan-ungkapan humor dan lelucon setidaknya mengindikasikan sesuatu yang serius: represi dan sublimasi materi tak sadar.

Lebih lanjut Freud mengatakan ungkapan-ungkapan lelucon bisa ditempatkan sebagai ‘gagasan untuk mengejutkan’. Artinya, gagasan hadir dalam bentuk yang samar-samar, tetapi sekaligus selaras dengan norma kepantasan untuk menghindari bentuk-bentuk penolakan terhadapnya.

Freud juga menyebutkan basis dari perspektif humor sebagai bentuk superioritas pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Bentuk-bentuk superiority complex itu bisa diterjemahkan secara positif ketika humor dianggap sebagai ‘mekanisme-defensif’ yang dibutuhkan manusia tertindas untuk bertahan dalam hidup sehari-hari.

Dalam konteks pembahasan kita, aspirasi dan ekspresi yang berbentuk humor adalah contoh terbaik dari bagaimana kita memerlukan mekanisme penyaluran dari kondisi tertekan. Tak terkecuali generasi muda yang geram dengan ketidakseriusan dan ketidakbecusan berbagai perangkat negara dalam menata hajat hidup orang banyak yang bernaung dalam institusi bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu diperparah dengan beberapa rentetan kasus yang memberedeli semangat demokrasi. Alhasil, kegeraman itu terakumulasi dan “hanya” tersimpan dalam alam bawah sadar lantaran selama ini terbentur dengan situasi yang tak dapat diterima secara sosial.

Humor sebagai ‘mekanisme-defensif’ menjadi masuk akal ketika diletakkan sebagai konteks generasi muda, terkhusus mahasiswa dan pelajar, sebagai penggerak gelombang aksi massa akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, mereka sehari-hari dihadapkan pada bermacam-macam tekanan, mulai dari tuntutan akademis hingga tuntutan standar-standar sosial yang ada. Beberapa hal itu lantas terakumulasi dengan realitas sosial dan politik yang memuakkan.

Akumulasi penekanan itu tak henti-hentinya mencari jalan agar gagasan dapat dikeluarkan. Hingga, pada akhirnya, mereka menemukan momentum untuk menyalurkan tekanan-tekanan itu. Penyaluran itu mewujud dalam artikulasi yang dituangkan pada beragam tuntutan dan ekspresi yang dibangun melalui humor.

Bila Freud meletakkan humor sebagai bentuk pencarian represi pribadi, Henri Bergson seperti dikutip dalam John Moreal Taking Laughter Seriously (1983) melihat humor dalam kerangka yang lebih luas. Yang-sosial tidak bisa lepas dari yang-personal, begitu pula sebaliknya. Bergson menawarkan humor dalam keterkaitannya dengan lingkungan sosial. Menurutnya, memahami humor perlu diletakkan kembali pada lingkungan asalnya, yakni masyarakat itu sendiri.

Maka dari itu, humor — dan tawa sebagai reaksinya — adalah bentuk kemarahan sosial. Semakin lucu dan mengundang tawa ekspresi-ekspresi tersebut, maka sejatinya ada kemarahan yang tersimpan dan membara. Tak hanya sekadar kemarahan, Bergson bilang bahwa humor, dan tawa memiliki maksud tak terhindarkan, yakni konsekuensi untuk melakukan koreksi terhadap sasaran yang ditertawakan. Hal ini lantaran bahwa kesalahan orang lain yang membuat kita tertawa menunjukkan kesalahan fungsi sosialnya alih-alih kesalahan moralnya. Disfungsi institusi negara, dalam hal ini DPR dan pemerintah, telah menjadi objek olok-olok itu.

DPR yang memiliki fungsi legislasi secara tiba-tiba mengebut pembahasan beberapa rancangan undang-undang dan revisi undang-undang (RUU) semata-mata atas nama produktivitas dan target. Selain kontroversial, manuver ini dianggap melucuti semangat demokrasi, sebagaimana bisa kita lihat pada pasal-pasal aneh yang tertuang di RKUHP. Bahkan komitmen anti korupsi sebagai semangat yang khas pasca-Reformasi diamputasi dengan disahkannya revisi UU KPK.

Pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi seakan-akan tak memiliki sikap yang tegas dan jelas atas segala sengkarut yang terjadi. Itu belum pula menimbang aksi militeristik yang dilakukan pemerintah di Papua. Begitu juga tak kunjung cekatannya pemerintah menangani bencana tahunan kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera. Muara dari semua aspirasi dan ekspresi nyeleneh itu adalah koreksi terhadap penguasa untuk mengembalikan sebaik-baiknya kekuasaan demi kepentingan umum yang berlandaskan spirit demokrasi.

Bisosiasi’ sebagai kunci memahami yang politis dalam humor

Humor, satir, bahkan sarkas lantas muncul merespons itu semua. Meski bentuknya bisa bermacam-macam, tetapi Arthur Koestler dalam The Act of Creation (1964) menulis bahwa ada pola yang mirip yang disebut dengan ‘bisosiasi’. Artinya, ekspresi-ekspresi itu menghadirkan dua pengandaian dalam bentuk atau konteks yang sama sekali bertentangan. “Efek tak terduga dari konektivitas itu menentang harapan logis pendengarnya yang memberi efek lucu,” tulis Koestler.

Seperti misalnya ungkapan “Negara sudah darurat, sampai introvert ikut demo” yang kita temui dalam aksi. Hal ini menunjukkan bagaimana generasi muda yang berkepribadian introvert memilih berbaur dengan kerumunan massa. Padahal introvert adalah bagian dari spektrum kepribadian yang merasa berkumpul dengan banyak orang akan memakan banyak energi, dan ia mengesampingkan hal tersebut demi urusan negara yang sedang genting.

Coba tengok ungkapan “DPR udah paling bener tidur, malah disuruh kerja”. Efek gelitiknya hadir ketika DPR sebagai lembaga representasi rakyat yang diharapkan bekerja untuk kepentingan rakyat selama ini malah kerap kedapatan tidur dalam rapat-rapat penting pengambilan keputusan. Malahan ketika DPR bekerja dan menjalankan fungsinya merancang undang-undang, ekspektasi rakyat terhadap DPR untuk menjadi lembaga yang mengakomodasi kepentingan umum tak terpenuhi. ‘DPR yang bekerja’ telah menciptakan kekacauan di tengah-tengah publik.

Benturan kondisi-kondisi tersebut menghasilkan salah satu aspek dalam humor yang disebut Arthur Asa Berger dalam Coda: Humor, Pedagogy, and Cultural Studies (2011) sebagai ironi. Benturan kondisi yang terdiri dari ekspektasi publik serta realitas yang terjadi, dibalut dengan permainan kata dan penyusunan logika, menjadi titik ketika segala bentuk humor mencapai titik paling politisnya.

Begitulah humor yang dalam konteks pembahasan kita terartikulasi dalam bentuk ungkapan ekspresi di poster dan spanduk peserta aksi massa. Meskipun humor tak dapat dielakkan terlihat seperti permainan belaka, ternyata ia juga melayani fungsi sosial yang penting.

Sebagaimana Rod A. Martin menyitir Michael Mulklay dalam The Psychology of Humor (2007), “Humor adalah cara melebur, merangkul dan merayakan kontradiksi, keganjilan dan ambiguitas yang telah menjadi sifat hubungan antarmanusia.” Oleh karena itu, ketika ekspresi dan aspirasi bermuatan humor yang diartikulasikan dalam aksi massa malah melahirkan nyinyir, maka bisa jadi memang orang nyinyir tadi sudah terlepas dari konteks lingkungan sosial-politik kita.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.