Infanteri

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
3 min readSep 29, 2019

Oleh Anonim

Sangat menarik bagi saya untuk membahas aksi mahasiswa yang bermula 23 September 2019 dan kemudian diikuti oleh para siswa Sekolah Teknik Menengah (STM). Tentu pandangan saya berikut sangat relatif, karena hanya opini. Bukan soal benar-salah, melainkan bentuk kemerdekaan berpikir kita sebagai manusia.

Keikutsertaan siswa-siswa STM adalah sinyal bagi generasi saya dan tentu para ‘orang tua’ di pemerintahan. Anak-anak STM yang kelahiran kisaran 2001–2003 adalah generasi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Mereka secara komunal mau bergerak turun ke jalan, membantu gerakan kakak kelasnya dari mahasiswa, berani melawan aparat saat demo, dan rela menerobos potensi bahaya bagi hidup dan masa depannya. Merekalah generasi yang sering disebut-sebut sebagai Gen Z, seperti menurut Bruce Horovitz.

Paragraf saya di atas semoga tidak lantas disimpulkan oleh pembaca bahwa berbagai tindakan tersebut bisa dibenarkan begitu saja. Saya tidak bilang benar, tetapi sekali lagi, mereka generasi yang berbeda. Kalau ada dari mereka yang tidak tahu apa yang diaspirasikan, mohon sangat dimaklumi. Mereka belum mengenyam sistem pendidikan formal yang menuntut pemikiran kritis dan argumentasi yang ilmiah. Mereka anak STM yang mungkin kesehariannya mendalami ilmu praktis atau teknis. Jangan tuntut mereka memahami apa yang belum waktunya, atau seharusnya mereka pahami, seperti halnya kita jangan menyalahkan anak SD yang tidak bisa menyelesaikan soal trigonometri. Namun jangan lupa, mereka juga bagian dari rakyat Indonesia yang berhak bersuara dan tentu akan terimbas dari kebijakan pemerintah.

Kenapa saya sampai gatal menulis ini? Karena saya ingin sinyal ini ditangkap oleh para orang tua, apalagi pemerintah. Para pelajar tersebut adalah generasi muda yang memiliki energi dan hasrat yang meluap-luap. Jangan-jangan, sekali lagi jangan-jangan, mereka selama ini tumbuh menjadi anak kritis, tetapi tidak punya tempat menyalurkan energinya. Maka jangan heran mereka sering tawuran. Siapa sih masyarakat yang tidak terganggu dengan tawuran pelajar? Saya pun terganggu. Namun, nyatanya mereka kemarin tidak saling melukai satu sama lain. Mereka bersatu, tidak lagi terpecah atas nama sekolah, atau geng.

Mereka memang generasi yang berbeda. Kenapa? Bercermin ke masa SMA saya, seaktif-aktifnya saya bersama teman-teman di organisasi, keberanian kami belum sampai menyuarakan aspirasi di jalanan. Kami senang aktif di ekskul, di OSIS, tapi ternyata kami lebih senang merasa nyaman dan mapan dengan kondisi sendiri, dan terpisah dari penderitaan rakyat. Kami berpikir, tapi terpisah dari masalah kehidupan. Kami berkumpul, tapi kami merasa eksklusif.

Kita perlu perhatikan para pelajar untuk saat ini. Setidaknya, jangan hakimi mereka. Silahkan saja kalau ada yang menganggap bahwa gerakan mereka barbar. Saya justru melihat, dalam sebuah perlawanan, tidak semua harus menjadi garda depan seperti ‘Kostrad’. Pembagian tugas yang solid justru menjadi kunci. Ada yang menjadi divisi ‘infanteri’, ada yang menggempur dengan ‘kavaleri’, ada yang bertugas sebagai pemberi bantuan di medan perang dalam ‘Armed’ dan ‘Arhanud’, dll. Kemarin mereka tetiba datang menjadi ‘infanteri’ yang datang menyusup dari tengah, seperti Knights of the Vale yang tiba-tiba datang melawan pasukan Ramsey dalam episode
Battle of Bastards di Game of Thrones.

Teruskan perjuangan kawan-kawan. #Mahasiswabersatu, #STMbersatu, #SMAbersatu, #pegawaibersatu, #semuabersatu, #Indonesiabersatu melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Tidak kalah penting, bersatulah melawan tidak saja yang nampak, tetapi juga sifat kejahilan/kebodohan dan ahmaq (sok tahu) dalam diri kita. Jangan hanya lawan orangnya, lawan juga sifat kezaliman dan kelalaiannya. Perjuangan selalu membutuhkan ‘mental puasa’ dalam perjuangan, yaitu tahu batas-batas. Panjang Umur Perjuangan!

Sebagai penutup tulisan ini, saya kutip cuilan puisi “Sajak Sebatang Lisong” karya W.S. Rendra.

— -

“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.”

ITB Bandung, 19 Agustus 1977

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.