Jalan Sesat untuk Mencintai Negara Sesat

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
9 min readOct 1, 2019

Oleh Zuhdi Sang

Ilustrasi oleh Himpunan 0

Jika negara semakin fetis dan sadis, maka tak ada jalan lain bagi rakyat untuk bisa hidup bahagia selain menjadi masokis.

Kata “sesat” dalam judul tulisan ini saya terjemahkan dari kata dalam bahasa Inggris, “pervert”. Meskipun tidak akan luput dari masalah akurasi dan kepentingan dalam penerjemahan, kata “sesat” saya anggap sebagai kata dalam bahasa Indonesia yang paling tepat untuk mewakili substansinya, terlebih mengingat kata “pervert” juga digunakan sebagai istilah konseptual dalam ilmu sosial-kemanusiaan, khususnya psikoanalisis Lacanian, sebagaimana yang juga akan saya jadikan pijakan dalam celoteh singkat ini. Meskipun kata “sesat” mengandung makna negatif, dalam gagasan Lacanian “pervert/perverse/perversion” didudukkan sebagai salah satu keniscayaan dari struktur pembentukan subjek. Namun dalam konteks tulisan ini menurut saya “sesat” adalah kata yang paling tepat karena memang menunjukkan ketersesatan hasrat yang telah dialami oleh struktur kehidupan bernegara kita.

Perversion adalah kondisi keterjebakan hasrat pada materialitas objek dalam upaya menemukan kebahagiaan yang semestinya berada pada level pemaknaan. Demi menemukan hukum kebenaran, satu-satunya cara yang dipahami oleh subjek pervert adalah dengan mengorbankan diri menjadi semata objek dan meyakininya sebagai satu-satunya sumber makna (Fink, 2003). Dalam konteks sosial-politik, perversion sederhananya bisa kita pahami sebagai kegagalan berbahasa (baca: pemaknaan) yang dialami oleh struktur politik dalam upaya mewujudkan tatanan kehidupan bernegara yang adil dan setara. Subjek (rakyat atau penguasa) yang mengalami kegagalan dalam menangkap dan memahami makna hanya mampu mengidentifikasi dan memproduksi kebenaran itu dari materialitas objek. Dalam kondisi pervert seperti itu, makna keadilan dan kesetaraan tidak benar-benar ada. Yang tinggal hanya kata pada level dan bentuk penerapan paling materialnya yang hadir seolah sebagai wujud dari makna. Dengan menikmati pengorbanan diri sebagai objek, subjek politik pervert pada dasarnya sedang memaksa agar hukum kebenaran bisa hadir menampakkan wujudnya dalam realitas bernegara. Oleh karena itu ia terjebak dalam kesesatan karena meyakini objek sebagai satu-satunya sumber yang mampu mendatangkan kebijaksanaan. Keadilan dan kesetaraan bukan lagi merupakan hasil dari sejauhmana kita mampu memaknai objek dalam realitas, melainkan dari keyakinan sepenuhnya pada materialitas objek itu sendiri.

Dengan demikian tak ada kemungkinan lain untuk bisa meraih kebahagiaan selain menjadi fetis atau sado-masokis. Fetisisme merupakan pemujaan buta pada materialitas objek, yang dalam hal ini bisa berwujud sebagai berbagai macam bentuk komoditas: fisik, populasi, golongan, data, uang, kapital, sarana, ‘mesin’, lembaga, institusi, atau kalimat kebijakan. Sementara sado-masokis adalah hasrat terhadap kesakitan yang di dalamnya menyimpan mimpi dan keyakinan bahwa hanya dengan cara ini (katakanlah, aksi mogok makan, bom bunuh diri, dan militerisme) kebijaksanaan akan menampakkan wujudnya dan hidup akan menjadi indah dan membahagiakan. Baik fetis maupun sado-masokis, tanpa disadari keduanya adalah bentuk penginkaran (disavowal) terhadap kenyataan bahwa objek pada dirinya sendiri hanyalah memang semata objek dan bukan sumber makna, pengingkaran terhadap kenyataan bahwa makna hanya akan terlahir jika ada struktur pengetahuan yang bekerja dalam ruang bahasa. Itulah kesesatan.

Hari ini, negara (pemerintah dan wakil rakyat) kita telah semakin sesat karena semakin tunduk dan menyembah pada materialitas hukum dan ekonomi-politik neoliberal yang bertumpu pada pasar bebas, perdagangan bebas, dan privatisasi aset. Hal ini dapat dilihat melalui beberapa hal; disahkannya UU Sistem Budidaya Tanaman Berkelanjutan yang memberikan peluang pada sektor swasta yang notabene diduduki oleh korporasi, dengan mengancam dan membatasi ruang gerak petani skala kecil dalam mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuan lokalnya; RUU Pertanahan dan RUU Minerba yang membentangkan karpet merah bebas debu bagi korporasi melalui penguasaan terlalu besar negara terhadap hak atas tanah dan legitimasi terhadap kriminalisasi petani dan rakyat kecil yang akan mempertahankan sebidang tanah milik mereka demi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari; disahkannya UU KPK yang memperumit prosedur penindakan dan melucuti sejumlah kewenangan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan, kewenangan yang dimiliki olek satu-satunya badan tempat rakyat menitipkan harapan akan musnahnya korupsi di negeri ini, KPK; RKUHP yang merusak semangat demokrasi dengan mengintervensi ranah privat serta membatasi ruang gerak masyarakat, bahkan binatang piaraan atau ternak, mengekspresikan diri dalam ruang dan waktu.

Dengan semua kebijakan itu, negara kita seperti sedang meyakini dan mewajibkan rakyat untuk juga yakin bahwa satu-satunya sumber kebahagiaan bagi negeri tercinta ini adalah komoditas. Ini fetisisme, sebab secara buta memuja kapital dan korporasi sebagai sumber kebijaksanaan dan memandang manusia, ruang dan waktu, serta berbagai muatan kultural di dalamnya hanya sebagai komoditas yang harus diatur sistem produksi, distribusi, dan konsumsinya. Jika fetisisme komoditas adalah pemujaan berlebihan terhadap benda sebagai representasi dari hubungan sosial, meski sesungguhnya menutupi kegagalan dalam menangkap nilai sosio-kultural yang terkandung dalam aktifitas produksi, maka hal tersebut tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan beberapa (R)UU kita hari ini. Semua undang-undang tersebut adalah simtom dari apa yang oleh Zizek (1989) disebut dengan pengingkaran fetisistik (fetishistic disavowal), yaitu bentuk pengingkaran negara terhadap kesadaran atas batas kemampuan dan pengetahuannya. Pengingkatan tersebut antara lain ialah; pengingkaran terhadap kemustahilan untuk menimbang nilai ganti rugi dengan rasa kehilangan yang dialami oleh orang yang tanahnya dirampas oleh pembangunan; kemustahilan untuk mengukur seberapa dalam hubungan antara seseorang dengan sawah, ladang atau pasangannya; kemustahilan untuk membayar secara nominal kesan dan pengalaman masyarakat akan ruang-waktu dalam lingkup hidup kesehariannya; dan sekian kemustahilan lainnya. Dan ketika setiap aturan yang hanya merupakan berbagai macam bentuk pengingkaran itu diperkaya oleh ancaman-ancaman denda atau pidana, maka negara ini tak hanya mempraktikkan fetisisme, tetapi bahkan juga berlaku sadis.

Sebagai saudara kandung dari fetisisme, sadisme juga bekerja berdasarkan logika objek. Bedanya jika subjek fetis mempercayakan hukum kebenaran sepenuhnya pada keberadaan objek, subjek sadis mempercayai bahwa objek mampu mewujudkan hukum kebenaran karena bisa memberikan rasa sakit dan kepedihan. Watak sadis yang tercermin dari ancaman denda dan penjara (dan pada praktiknya di lapangan adalah juga ancaman kekerasan militer) tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum ekonomi-politik negara ini tidak pernah sampai pada derajat analitis yang cukup dalam memahami struktur kehidupan masyarakatnya. Denda atau penjara semakin menjadi kebanggaan yang banal dan lumrah tanpa mampu menjangkau situasi psikologis semacam apa yang dialami oleh, misalnya, Nenek Minah di Banyumas yang harus menginap di penjara selama 1 bulan 15 hari hanya karena tiga butir buah kakao yang diambilnya dari perkebunan PT. RSA.

Apakah kasus tersebut menunjukkan bahwa negara kita bodoh atau tidak mampu memahami kehidupan sosio-kultural warga masyarakatnya? Saya pikir bukan itu masalahnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, institusi DPR dan Kementerian kita bergerak berbekal sistem pengetahuan sosial dan politik yang bersumber dari berbagai kalangan masyarakat. Tidak ada orang bodoh di sana. Tidak ada orang yang tak sadar bahwa hukum di negara kita bermasalah karena tak mampu menjangkau tatanan sosio-kultural masyarakat. Oleh karenanya ini bukan soal kebodohan atau ketidakpahaman, melainkan soal pengingkaran. Fetisisme telah menjadikan negara kita tak mampu melihat hal lain selain realitas kebendaan. Pengingkaran negara terhadap kesadarannya atas ketakmungkinan memahami makna penjara bagi Nenek Minah menuntun kepada keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa penjara (beserta berbagai kekerasan militer di lapangan) adalah bahasa. Seperti halnya bisa kita tangkap dari beberapa pasal karet dalam RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RKUHP yang telah banyak mendapatkan kritikan di berbagai media, denda dan penjara adalah hukum. Dengan demikian, kekerasa (fisik atau psikologis) adalah bahasa kebenaran.

Hari ini, atas nama demokrasi, pelajar dan mahasiswa turun ke jalan. Ini cara yang baik, cara yang sehat dan menyegarkan iklim demokrasi kita. Rakyat memang seharusnya menjadi pimpinan tertinggi yang mengontrol laju kehidupan bernegara. Setiap pelajar dan mahasiswa itu tak lain adalah anak-cucu Nenek Minah yang ingin menyampaikan protesnya, aspirasinya, isi hati. dan perasaannya. Apakah meningatkan bahwa negara ini sudah melampaui batas, sudah mati rasa, sudah kesurupan dan tak ingat lagi apa hakikat diri dan keberadaannya itu salah? Apakah itu pelanggaran hukum hingga selalu saja tongkat kayu, peluru tajam, dan gas air mata yang menjadi jawaban bagi rakyat yang hatinya sudah terluka. Melalui kenyataan sadis ini pun pada akhirnya harus kita terima dan akui bahwa sejak Reformasi ’98 kekuasaan negara kita memang tak pernah punya alternatif bahasa dan tak bisa melahirkan makna, sehingga peristiwa yang sama akan terus berulang dan berulang, berputar dalam kesesatan.

Di bawah naungan neoliberalisme yang menjanjikan kemenangan bagi setiap manusia di muka bumi, kenyataan ini seolah harus kita terima sebagai konsekuensi logis dari kecintaan kita kepada sistem demokrasi yang memang harus kita sadari menyimpan paradoks dan tak sepenuhnya sempurna. Berkat demokrasi setiap orang bebas berpendapat, bebas menyampaikan aspirasi politik dan ekspresi identitasnya, namun berkat demokrasi pula perbedaan golongan menjadi semakin tajam dan curam, bersanding dengan individualisme yang semakin mendalam. Laju korporatisasi dan industrialisasi SDA skala besar semakin pesat, sepesat perluasan kasus perampasan tanah di setiap penjuru daerah.

Merujuk pada konsep wacana universitas Lacanian, secara ideal otoritas tertinggi dalam sistem demokrasi adalah pengetahuan. Di satu sisi, hal ini membukakan pintu selebar-lebarnya bagi setiap gagasan yang dikehendaki muncul dalam ruang kontestasi politik. Di sisi lain, pengetahuan yang tak mungkin menghadirkan dirinya sendiri selalu mensyaratkan adanya kuasa tertentu yang mengusungnya. Hal ini dengan sendirinya selalu menciptakan kemungkinan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan antara gagasa pengetahuan dengan performativitas atau praktiknya sendiri (Dean, 2009). Maka tak heran jika kita kerap kali didapati kasus kekerasan militer yang mengatasnamakan pembangunan atau stabilitas nasional. Dengan kata lain, harus diakui bahwa demokrasi memang tak sepenuhnya ideal, tetapi ia akan selalu menjadi sistem yang layak diperjuangkan.

Hari ini, setiap demonstrasi rakyat sebagai upaya demokratisasi dengan akal yang sehat masih sangat layak untuk dijalankan, dijaga, dan diperjuangkan. Hal ini jelas menunjukkan bahwa rakyat sepenuhnya yakin bahwa negara kita, DPR dan pemerintah, masih bisa berubah menjadi lebih baik, lebih manusiawi. Histeria pelajar dan mahasiswa ini menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki kepercayaan dan harapan yang sangat besar pada negara untuk mampu, dan pasti mampu, menciptakan sistem hukum yang memiliki hati nurani yang tidak fetisis dan sadis, yang dewasa dan bijaksana dalam memandang siapa sesungguhnya “kita”.

Namun, jika semua itu tak lagi dihiraukan, jika bagi negara, kata-kata dan bahasa demokrasi sudah tak lagi ada maknanya, maka tak ada jalan lain untuk bisa menjadi bangsa yang bahagia selain menyakiti diri, menjadi masokis, dan bersama mengingkari bahwa kita sesunggungnya sedang sadis kepada diri sendiri (Evans, 1996). Jika bahasa protes dan tuntutan, bahasa sinis dan sindiran, bahasa pengaduan dan permohonan, tak mampu lagi mengingatkan dan membuat negara ini bangkit sepenuhnya dalam kesadaran, maka cukup sudah dengan bahasa dan saatnya tubuh yang bicara. Mari bersama-sama menistakan diri dalam kesesatan dan kesakitan sesungguhnya melalui beberapa cara: 1) Takyat Indonesia harus tersenyum. dan dengan cara masing-masing menyampaikan perasaan cinta kasih kepada pasangan, keluarga, saudara, kerabat, teman, tetangga, dan lainnya, sebagai salam terakhir sebelum berpisah; 2) Rakyat Indonesia harus bergegas, laporkan kepada kantor kepolisian terdekat atas pelanggaran hukum yang telah kita semua lakukan: sebagai petani yang tak mampu berhenti meneliti dan memproduksi benih lokal, sebagai pekerja (teknis/non-teknis) yang tak bisa tidak berada di jalanan di waktu malam, sebagai kriminal yang menolak memberikan sejengkal tanah hak milik sahnya kepada korporasi atau negara, sebagai pemilik binatang ternak atau piaraan yang tak mau berhenti bermain di ladang atau kebun tetangga, sebagai anggota keluarga yang menyuruh anak-anak bolos sekolah untuk mengikuti aksi unjuk rasa, sebagai guru atau dosen yang mengajarkan pada siswa atau mahasiswa bahwa kondom adalah bagian dari kesehatan reproduksi, sebagai akademisi, aktivis, atau seniman yang gemar mendiskusikan Marxisms di luar kampus; 3) Rakyat Indonesia harus bersatu, tolak membayar denda, dan pilih untuk disiksa di dalam penjara. Mungkin hanya dengan jalan ini negara akan bisa menyadari bahwa rakyat itu ada.

Ketiganya itu sungguh menyesatkan, meskipun memang masih mungkin untuk menjadi cara yang bisa ditempuh dalam berurusan dengan struktur negara sesat dan tak pernah menyadari bahwa dirinya sesat. Setiap orang yang mau berfikir pasti sepakat bahwa terjadinya sebuah dialog selalu didasarkan pada kesamaan bahasa, atau setidaknya kesediaan untuk saling memahami sebuah bahasa. Dengan demikian, bersepakat dengan tak adanya lagi makna dalam realitas material bernegara kita merupakan sebuah upaya untuk menemukan kemungkinan lain atas kesetaraan komunikasi di luar bahasa. Kita harus menjadi sesat untuk bisa berkomunikasi dengan negara yang sesat. Kita harus menjadi komoditas agar bisa terlihat oleh para penguasa yang memang hanya terdidik untuk melihat komoditas. Jelas, ini masokis dan menyakitkan. Namun sekali lagi, jika bahasa bagi negara tak lagi ada maknanya, sepertinya hanya dengan kondisi ini, kondisi ketika rumah, jalanan, pasar, tempat ibadah, arena dan panggung kesenian, serta berbagai ruang sosial semuanya sepi tak berpenghuni, sementara semua penjara dan ruang pengadilan sudah membeludak tak cukup lagi, negara kita akan memahami betapa rakyat itu sungguh berarti, betapa rakyat itu tak akan pernah terganti. Itulah nasib negara-bangsa kita hari ini yang sepertinya hanya bisa memahami makna kemanusiaan ketika semua mahluk sudah menjadi komoditas. Mungkin ini memang satu-satunya jalan yang bisa membuat negara menyadari bahwa kita, rakyat Indonesia, hanya ingin bisa mengatakan kepadanya: “betapa aku mencintaimu dan betapa aku berharap kau balas cintaku”. Itulah kebahagiaan.

Referensi:

Dean, Jody (2009), Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism, (Durham & London: Duke University Press)

Evans, Dylan (2006), An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis (London: Verso)

Fink, Bruce (2003), Perversion, dalam Molly Anne Rothenberg, Dennis Foster, and Slavoj Zizek (ed.), Perversion and the Social Relation (Durham & London: Duke University Press)

Zizek, Slavoj (1989), The Sublime Object of Ideology, (London: Routledge)

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.