Kenapa KPK Ditakuti?

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
7 min readSep 29, 2019

Oleh Larastiti dan Sofwan Hadi

Ilustrasi oleh Himpunan 0

“Memberantas korupsi dan menghapuskan ketimpangan sumber daya alam harus dilakukan secara bersamaan” (KPK, 2018).

Selama beberapa bulan terakhir, revisi UU KPK menjadi sorotan karena dianggap melemahkan kelembagaan dan kewenangan KPK. Kendati tidak masuk di evaluasi penanganan RUU Prolegnas Prioritas pada 1 Agustus 2019, RUU KPK toh tetap masuk dalam sidang paripurna di DPR dan disahkan. Sebagai warga negara, kami merasa ada yang tidak lumrah dalam pengesahan ini. Mengapa pengesahannya harus tergesa-gesa, dan apa yang ditakuti dari KPK?

Pertama-tama, kami perlu memperjelas posisi kami. Kami bukan ahli atau orang dengan latar belakang pendidikan hukum. Namun, sebagai warga negara yang gelisah terhadap ketimpangan sumber daya alam, kami sangat berharap besar terhadap KPK. Khususnya pada inisiatif KPK yang mulai masuk ke dalam proses identifikasi kasus-kasus korupsi di bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA). Hanya dengan penindakan tegas terhadap kasus korupsi, maka keadilan bagi rakyat kecil bisa dicapai. Di sini, kami mencoba memberi contoh mendesaknya kasus korupsi ini di sektor perkebunan kelapa sawit.

Pada 19 Maret 2015, KPK bersama 27 kementerian/lembaga dan Pemda 34 provinsi telah menandatangani nota kesepemahaman bersama tentang Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) (KPK, 2016). Ada pertanyaan mendasar, mengapa ekspansi industri pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan tidak sejalan dengan penerimaan pajak negara? Khusus untuk industri kelapa sawit, merujuk pada laporan KPK, setidaknya ada sekitar 18,13 triliun rupiah potensi pajak yang tidak diterima pemerintah (KPK, 2016 dan 2018).

Jawaban di atas bisa saja berbunyi, “Kepatuhan wajib pajak di sektor perkebunan sangat rendah, sekitar 46,3% saja badan hukum yang membayar pajak” (KPK, 2018). Sementara, orang awam seperti kami akan melihat hal itu terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan kontrol terhadap pelaku usaha seperti perkebunan kelapa sawit. Namun, temuan KPK justru melampaui persoalan institusional tersebut. Dengan berani, KPK mengindikasikan adanya korupsi ‘struktural’ yang mana “segelintir kelompok aktor melalui institusi alternatif memiliki gurita penguasaan sistem dan struktur kuasa (sosial, ekonomi, politik) yang kuat, mampu meraup ragam keuntungan (ekonomi-politik) dengan cara yang sistemik” (KPK, 2018).

Kalau sikap KPK sudah demikian, wajah oligarki mana yang kelak mau mengambil risiko untuk berhadapan langsung dengan penyidik KPK? Lebih baik melemahkan KPK sebelum segala rantai oligarki ini menjadi perkara terang-benderang di depan publik.

Rantai Oligarki vs KPK

Pada 2016, saat Sri Mulyani membuat program pengampunan pajak (tax amnesty), tidak hanya warga biasa yang mendatangi kantor pajak tetapi juga para konglomerat dengan deret nol tak terhingga di rekeningnya. Sebut saja Medco Group, Lippo Group, Mahaka Group, Djarum Group sampai Sinarmas Group.

Pada 2018, Bos Sinarmas Group dengan laporan kekayaan 130 triliun rupiah disorot GNP-SDA karena salah satu anak usahanya menguasai konsesi hutan tanaman industri. Asia Pulp and Paper sebagai anak perusahaan Sinarmas Group kerap tersandung perkara kebakaran lahan di Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Pada 2014 lalu, mereka disebut-sebut membakar 20 ribu hektare lahan gambut, yang memicu kebakaran hutan 2015. Sialnya, kegagalan perusahaan menangani kebakaran lahan justru dilimpahkan kepada pemerintah dan, mau tidak mau, warga di sekitar lokasi kebakaran.

Kebakaran lahan juga tidak hanya disebabkan konsesi hutan tanaman industri, tetapi juga konsesi perkebunan kelapa sawit yang berkembang biak cepat selama lebih dari satu dekade ini. Menurut hasil analisis citra satelit tutupan lahan, KPK mendapati 16,8 juta hektare lahan di Indonesia berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit (KPK, 2019). Sumatera menjadi pulau dengan persentase perkebunan kelapa sawit paling besar di Indonesia, yaitu 10,51 juta hektare. Tak heran jika bencana kebakarannya pun memprihatinkan.

Satu tahun setelah GNP-SDA terbentuk, KPK (2016) menerbitkan laporan khusus tentang Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Laporan ini menuliskan secara gamblang kaitan antara oligarki dengan pengendalian konsesi di sektor perkebunan. Kaitan ini terlihat kentara dalam proses pengurusan izin sawit.

Alur pengurusan izin perkebunan kelapa sawit yang panjang ternyata tidak menjamin kontrol bagi kementerian dan lembaga untuk saling menjaga fungsi ekologis lahan. Sebaliknya, izin yang berlapis-lapis sesuai kewenangan kementerian maupun pemerintah daerah malah membuka celah korupsi. Bayangkan, untuk mendapatkan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit, kita harus mendapatkan tanda tangan setidaknya dari bupati, gubernur, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Pertanian sebagai penanggungjawab sektor perkebunan yang mempunyai fungsi koordinasi lintas kementerian justru tidak mampu menjaga keseimbangan ini. Maka, pelanggaran di berbagai lini perizinan menjadi keniscayaan yang dimaklumkan.

Alur izin yang demikian, sebenarnya sudah dianggap tidak efektif oleh KPK. Saat kebakaran lahan pada 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mencabut izin lingkungan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang didakwa bermasalah. Namun, sial tak bisa dihindari, pencabutan ini tidak berpengaruh pada keberlanjutan usaha perkebunan. Tidak ada efek jera yang mampu diberikan negara. Jadi jangan heran, bencana kebakaran hutan dan lahan akan selalu berulang dengan eskalasi yang sama seperti 2015.

Di samping pengurusan izin, KPK juga menduga, penerima subsidi pemerintah untuk peningkatan produktivitas perkebunan rakyat juga salah sasaran. Subsidi yang dihimpun dari dana pelaku usaha perkebunan ini semula dimaksudkan untuk pengembangan penelitian biofuel sampai peremajaan tanaman terutama bagi pekebun.[1]

Hanya saja, 89% dari total alokasi penggunaan dana subsidi sawit tahun 2015 (sebesar 6,6 triliun rupiah) justru dipakai untuk pemanfaatan bahan bakar biodiesel dari CPO sawit sebagaimana mandat presiden (KPK, 2016). Di saat alokasi dana untuk peremajaan tanaman kelapa sawit rakyat hanya 1%, grup perusahaan dengan ekspor minyak kelapa sawit paling tinggi yang juga mendapatkan persentase subsidi paling besar (KPK, 2018). Mayoritas penerima dana dari program subsidi biofuel per Agustus 2015–April 2016 adalah grup perusahaan Wilmar Indonesia sekitar 1.779 triliun rupiah, Musim Mas sekitar 534 miliar rupiah, dan Darmex Biofuels sekitar 330 miliar rupiah (KPK, 2016).

Sederet grup perusahaan mentereng inilah yang mampu mendapatkan izin untuk menguasai lahan dalam jumlah fantastis. Dengan data perkebunan sawit yang sudah ditanami di tahun 2013 saja, Wilmar Group mampu menguasai 212.181 hektare, Musim Mas Group 87.225 hektare, Sampoerna Group 120.225 hektare dan Darmex Group menguasai 155.000 hektare (TuK Indonesia, 2015). Sementara Sinarmas Group, selain mempunyai konsesi hutan tanaman industri, juga mempunyai lahan perkebunan sawit paling luas, yaitu sekitar 471.100 hektare (TuK Indonesia, 2015).

Selain luas produksi perkebunan kelapa sawit yang terdengar fantastis, hal yang tidak kalah mengejutkan adalah sekitar 2 juta hektare konsesi perkebunan ternyata belum diurus di tahun 2013. Artinya sekitar 51% dari total luas konsesi grup-grup perusahaan besar ini belum diolah dan diproduksi. Lahan-lahan ini dibiarkan menjadi bank tanah, belum terurus dan terlantar. Contohnya, Sinarmas Group mempunyai bank tanah untuk perkebunan kelapa sawit seluas 788.907 hektare dan Wilmar Group seluas 342.850 hektare lahan (TuK Indonesia, 2015).

Hanya dengan menyalin data olahan TuK Indonesia ini, kita patut curiga, mengapa RUU Pertanahan mengakomodasi konsep bank tanah?[2] Kepada siapakah konsep bank tanah ini diperuntukkan? Semoga dengan membaca data ini, kita bisa menyatakan sikap kritis untuk menolak pengesahan RUU Pertanahan.

Hutan Kita, Sawit

Dalam melihat persoalan sumber daya alam, khususnya perkebunan kelapa sawit, KPK tidak hanya melihat rantai oligarki. Secara spesifik, KPK juga menyoroti masalah tumpang-tindih konsesi yang terjadi di ekosistem gambut maupun hutan alam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit ini mau tidak mau telah mendesak alih fungsi dan alih kuasa lahan produksi rakyat. Pada akhirnya, roda pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia tidak dimaksudkan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk oligarki semata.

Oligarki ini membawa usulan masing-masing usahanya ke pemerintah, mengikuti alur perizinan yang telah dijelaskan di atas. Tidak harmonisnya urusan perizinan lintas sektor telah membuat tumpang-tindih lahan tidak terhindarkan. Di tahun 2016 saja, sebagaimana dicatat KPK, lebih dari 3 juta hektare hak guna usaha perkebunan sawit berada di titik koordinat yang sama dengan izin usaha pertambangan. Sementara, 534.512 hektare lahan juga mengalami tumpang tindih antara konsesi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Ironisnya, 801.707 hektare kubah gambut dan 349.664 hektare hutan alam yang seharusnya direstorasi pemerintah sehingga tidak boleh diberikan izin malah tumpang tindih dengan perkebunan sawit.

Kondisi paling tragis dari obral izin ini terjadi di Provinsi Riau. Tepatnya Kabupaten Kuantan Sengingi, ada lokasi dengan titik koordinat sama yang telah diberikan konsesi untuk tiga jenis hal berbeda yakni perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan pertambangan (KPK, 2016).

Pada 2015, Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi lahan kelapa sawit di Kabupaten Sengingi, Bengkalis, dan Rokan Hilir.

Provinsi Riau menjadi daerah yang didominasi oleh grup perusahaan besar perkebunan kelapa sawit. Bahkan, menurut data KEHATI (2019), 1,2 juta hektare atau 35% dari total luasan tutupan sawit yang berada dalam kawasan hutan berada di Provinsi Riau. Angka ini tertinggi daripada provinsi lainnya.

KPK Menghambat Investasi?

Saat ditanya wartawan soal alasan pemerintah menyetujui revisi UU KPK, (23/9/2019), Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko menyebut keberadaan KPK bisa menghambat investasi. Pernyataan ini mendapat banyak tanggapan, salah satunya juru bicara KPK Febri Diansyah. Dia menyayangkan pernyataan tersebut dan menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dipinggirkan karena alasan investasi.

Tidak berselang lama, Moeldoko menarik pernyataannya sendiri. Ia menjelaskan bahwa UU KPK yang lama tidak memberikan kepastian hukum dibandingkan UU KPK yang baru. Ia mencontohkan surat perintah penghentian perkara (SP3) yang bisa berdampak positif bagi investor karena memberikan kepastian hukum. Sebab, melalui penerbitan SP3, mereka yang sebelumnya menjadi tersangka dan belum cukup bukti selama bertahun-tahun bisa dicabut statusnya.

Dari sini, kita bisa menengarai bahwa investasi menjadi pemantik penting bagi revisi UU KPK. Di tengah desakan publik yang menaruh harapan besar kepada KPK, termasuk kami, alasan revisi UU KPK terdengar kurang etis. Padahal, laju ekspansi industri ekstraktif semakin cepat dan hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Lantas, untuk inikah UU KPK direvisi?

— —

[1] Peraturan Presiden №24/2016 tentang Penghimpunan dan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

[2] Berdasarkan Draft RUU Pertanahan Panja 9 September 2019 menyebutkan, Pasal 72 tentang Lembaga Pengelolaan Tanah. Ayat (1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Lembaga Pengelolaan Tanah. Ayat (2) Lembaga Pengelolaan Tanah merupakan badan hukum khusus yang mengelola Tanah dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari keuangan Negara. Ayat (3) Lembaga Pengelolaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berfungsi sebagai bank tanah yang melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah

Daftar Pustaka

KEHATI. (2019). Hutan Kita Bersawit: Gagasan Penyelesaian untuk Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan. Yayasan KEHATI.

Komisi Pemberatasan Korupsi. (2016). Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2018). Sumber Daya Alam Indonesia: Di Bawah Cengkeraman Mafia. Presentasi tidak diterbitkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2018). Nota Sintesis: Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam 2018. Komisi Pemberantasan Korupsi GNP-SDA.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2019). Tutupan Sawit di Indonesia: Analisis Citra Satelit 2014–2016. Kementerian Pertanian, Lapan, BIG, KPK

TuK Indonesia. (2015). Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia. Transformasi untuk Keadilan Indonesia.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.