Massa Aksi: Lebih dari Sekadar Kerumunan Para Pahlawan
Oleh Algonz Dimas B. Raharja
“Aksi massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka”
(Malaka, 2013:99)¹
Di tengah dekadensi paradigma berpolitik pasca pemilu 2019, saya kira hampir setiap gerakan di negeri kita juga terjebak pada tuduhan dikotomi dan polarisasi yang menjemukan. Betapa tidak, bisa dilihat dari dua aksi yang dilakukan berulang macam Aksi Kamisan dan Aksi 212. Aksi Kamisan sendiri sudah menginjak angka 600-an kali, sedang Aksi 212 mungkin masih bisa dihitung jari. Tapi, mana yang lebih “mendapat” panggung atau minimal mana yang memiliki urgensi lebih hingga Presiden turun langsung menemui massa?
Apa perbedaan mendasar dari dua aksi tadi? Mudah saja, yang satu menuntut pertanggung jawaban negara, dan yang satu langsung bersentuhan dengan kepentingan politik dalam dikotomi “Koalisi VS Oposisi”. Keduanya mencakup hak politik, tapi tidak dengan urgensi. Mengapa? Karena ada faktor kepentingan bekerja dalam kasus ini. Di satu pihak, Aksi Kamisan menuntut pertanggung jawaban terkait HAM, sedang Aksi 212 menuntut citra yang tegas sebagai oposisi, apapun isunya.
Hal itulah yang kemudian membuat gerakan #ReformasiDikorupsi sangat mudah disusupi atau disebut “ditunggangi” oleh berbagai pihak. Sebab, paradigma masyarakat kita terlanjur terjebak pada polarisasi pra Pemilu, hanya ada dua kubu, Koalisi dan Oposisi. Berbeda dengan Aksi Kamisan yang nampak tidak menyerang satu pihak, gerakan #ReformasiDikorupsi jelas menuntut negara melalui lembaga legislasinya untuk merevisi, mengkaji ulang beberapa RUU yang masih prematur, dan juga beberapa kebijakan-kebijakan pro-militeristis di Papua maupun di berbagai wilayah terkait konflik agraria. Jelas di sini nampak bahwa gerakan #ReformasiDikorupsi hadir sebagai bagian dari people power terhadap pemerintah. Dalam artian umum, memiliki frame yang sama dengan Aksi 212.
Namun, jelas dengan basis kajian dan tujuan berbeda. Meski begitu, polarisasi dua kubu tadi terlanjur menjadi biang dari sudut pandang post factum pada masyarakat, khususnya mereka yang ada pada ceruk “koalisi”. Tak heran, gerakan #ReformasiDikorupsi berada di kondisi liminal, antara “koalisi” dan “oposisi”. Di sisi lain ditolak mereka yang pro-pemerintah, namun kubu “oposisi” pun tak bisa merangkul, karena perbedaan basis massa dan kepentingan. Meski bolehlah kubu “oposisi” coba-coba mendompleng, tapi tak akan ada simpati pada gerakan tersebut, karena gerakan mereka tidak memiliki jiwa yang sama dengan gerakan #ReformasiDikorupsi. Karena, jika ditilik dari basis utama suatu aksi massa, Tan Malaka menyebut politik-ekonomi sebagai simpul utama penggerak aksi. Kedua hal ini luas cakupannya, tentu bukan hanya menyoal hak berbicara atau memeroleh upah, tapi dalam skala luas, yaitu peraturan, dalam hal ini kebijakan, dan dalam detail pasti disebut Undang-undang.
Oleh karena itu, pada titik inilah muncul pembeda yang sahih antara aksi-aksi oposisi dengan gerakan #ReformasiDikorupsi. Kubu oposisi memiliki agenda jelas, mengganti pemimpin negara, atau bahkan sistem negara, sehingga apapun produk kebijakannya akan selalu salah di mata mereka. Tapi, gerakan #ReformasiDikorupsi memiliki tujuan kompleks dan berbasis kajian, karena jelas bahwa tuntutan utama ada pada kerangka kebijakan yaitu Undang-undang, serta keputusan politik lain menyoal militerisme dalam ranah sipil dan juga persoalan HAM di Papua. Tidak peduli siapa yang duduk di eksekutif maupun legislatif. Tidak peduli peran apa yang sedang dimainkan di akhir masa jabatan. Tapi jelas di sini, bahwa tuntutan gerakan #ReformasiDikorupsi berdasar pada dua basis utama sebuah aksi dikatakan sebagai “Aksi Massa” yaitu politik dan ekonomi.
Kedudukan Undang-undang sebagai hal yang mengikat tentu menjadi tembok bagi masyarakat. Undang-undang juga secara tak kasat mata dapat menjadi “Iron Cage” demi terwujudnya keteraturan masyarakat. Namun, tidak menutup kemungkinan pula, Undang-undang tadi diproduksi dari relasi patron-klien antara pejabat dan konglomerasi korporat. Atau mudahnya, memakai lema dari Max Weber di atas, jelas bahwa “Iron Cage” dalam bentuk Undang-undang adalah proses rasionalisasi dari berbagai kepentingan politik ekonomi suatu golongan untuk menekan rakyat yang suaranya hanya diwakilkan.
Tentu, dalam taraf itu frasa “Vox Populi, Vox Dei” menjadi tidak relevan. Karena, dengan logika yang sama, bisa dikatakan bahwa suara Tuhan (vox Dei) telah digadai pada berbagai kepentingan para wakil rakyat. Dan di sinilah saya kira, aksi massa menjadi sangat dibutuhkan. Sebab, di tanah air ini tidak semua telinga dapat mendengar, tidak setiap mata bisa melihat, dan tidak setiap mulut dapat berbicara.
Boleh saja memang, jika suatu gerakan ditekan dengan berbagai tuduhan. Atau bahkan ditunggangi oleh beberapa orang yang hendak menisbikan dirinya menjadi seorang pahlawan, atau menjadi anarkis sejati.
Namun, sekali lagi, dalam aksi massa yang sesungguhnya, aksi massa yang berpangkal pada nalar dan rasionalisasi kepentingan bersama, pahlawan dan tekanan menjadi sama sekali tidak penting. Sebab, jika suara kita saja telah tergadai, dan gerakan kita hendak digadai oleh kepentingan beberapa orang, maka langkah apa lagi yang bisa diperjuangkan? Di sanalah muncul pentingnya aksi massa yang dibangun dari ribuan kaki, atas nama aliansi dan kolaborasi. Karena inilah yang sebenar-benarnya suara rakyat, bukan suara perorangan. Bukan suara sumbang seorang elit yang memperjuangkan identitasnya di media, dengan mengkerdilkan gerakannya sendiri.
Jadi, sekali lagi, gerakan #ReformasiDikorupsi berasal dari luka dan derita yang mendasar, yaitu terancamnya politik ekonomi masyarakat secara umum. Gerakan ini harusnya memang bisa melawan segala bentuk heroisme, karena tak ada pahlawan yang tidak mati, dan pahlawan yang tak mati kemungkinan besar akan menjadi musuh di masa depan.
¹ Malaka, Tan. 2013. Aksi Massa. Narasi:Yogyakarta