Mengubah Haluan Ekonomi Dunia Kala Korona

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
9 min readApr 14, 2020

Oleh Ardy Syihab

Sumber: Twitter.com

“ Inilah aku yang dulu pernah kau tinggalkan dan sekarang bersiap-siap untuk menyalipmu di tikungan terakhir “ –Bude Sumiyati-

Nasihat mulia Bude Sumiyati di atas layak kita berikan pada Martin Surajaya sebagai representasi kaum intelektual anorganik[1] yang berpikir dan bertindak lepas dari gerakan massa. Hanya membayangkan jatuhnya surga sosialisme, hingga lagi-lagi disalip oleh revisi-revisi sistem ekonomi kapitalistik di tikungan terakhir. Ia membuat tesis bahwa sosialisme akan menggejala dengan sendirinya di tiap-tiap negara dengan adanya krisis ekonomi yang diperparah pandemi COVID-19. Sialnya, fakta mencatat berkali-kali kapitalisme megalami turbulensi dan krisis. Akan tetapi, berkali-kali pula sistemnya dapat dimodifikasi hingga melahirkan varian eksploitasi jenis baru dan menyalip bayangan-bayangan indah sosialisme di tikungan terkahir. Tinggalah hanya penyesalan massal. Maka sudah selayaknya pemikiran semacam itu perlu digugat sedari sekarang.

Kritik utama saya pada Martin adalah implikasi tulisanya yang mengiklankan kemalasan dalam bertindak melakukan perubahan nyata karena dengan sendirinya sosialisme akan hadir. Mirip jailangkung yang datang tanpa diundang. Membayangkan COVID-19 akan menyelesaikan segalanya menuju dunia baru sosialisme, tak perlu intervensi dari siapa pun dan kelompok mana pun, kaum muda tinggal hanya #dirumahaja sambil rebahan manis lantas dunia akan berganti rupa.

Papan reklame kemalasan Martin perlu dibongkar. Bukan hanya karena riskan untuk kembali menjerumuskan pada jurang-jurang kekalahan rakyat, namun juga mengandung logika yang layak untuk digugat.

Premis dasarnya menyatakan bahwa ada empat penunggang kuda kiamat kapitalisme dalam krisis ekonomi global yang ledakanya terpicu karena korona, yakni deindustrialisasi, definansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global. Sampai di sini relevansi data memang menunjukan gejala yang mengarah pada empat kemungkinan di atas. Namun, punch line yang dikemukakan terdengar sumbang karena berkesimpulan bahwa dengan sendirinya “sosialisme akan kembali mejadi pilihan bagi bangsa-bangsa yang hendak selamat secara ekonomi” menjadi simplifikasi yang fatal. Mari kita urai.

Rakyat yang Kembali Ditumbalkan

Dalam kondisi negara sosialis mecam apa yang gerak kebijakan negaranya justru makin tidak berpihak pada kaum buruh dan rakyat kecil?

Premis awal Martin berdasar dari tesis Harvey yang menyatakan bahwa “modal bukanlah benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan keseluruhan sistem menjadi runtuh” dengan mencontohkan peristiwa 11 September 2001 di New York City dan Washington D.C. yang melumpuhkan ekonomi beberapa hari. Hingga kemudian walikota sampai presiden mengimbau agar warga kembali beraktivitas seperti semula, yang artinya menggerakan lagi ekonomi. Takut jika roda kapitalisme akan terhenti dan menyebabkan kiamat kapitalisme.

Dari dasar tersebut, ia menghubungkanya dalam konteks kasus korona yang berpotensi mematikan roda ekonomi bahkan selama berbulan-bulan. Sampai menyebutnya sebagai revolusi diam, revolusi yang terjadi karena dismobilisasi massa dan demoralisasi hingga memberikan celaan nyinyir pada gerakan-gerakan yang selama ini melakukan mobilisasi massa dan pemogokan karena efeknya tak sedasyat korona.

Faktanya, banyak perusahaan, pabrik, dan tempat-tempat kerja tak memberikan kata libur meskipun dihantam korona seolah tak peduli dan menganggap korona sebatas angin lalu. Memang sejak kapan kapitalisme peduli buruh?

Masalahnya adalah negara merupakan alat kelas yang berkuasa beserta penjaga infrastruktur corak ekonomi yang inheren di dalamnya. Singkatnya, secara mayoritas hari ini negara “hanyalah sebuah panitia yang mengelola kepentigan kaum borjuis secara menyeluruh”[2]. Kecuali perspektif Martin sudah bergeser dari perspektif marxis dengan mengadopsi konsep negara netral.

Agar lebih kontekstual mari kita uji faktanya di Indonesia. Di tengah eskalasi korban COVID-19, masih sangat banyak pabrik dan tempat kerja yang tak meliburkan pekerjanya. Kawasan industri di lingkup Jabodetabek bisa jadi contoh gamblang di mana tiap hari buruh masih berjibaku untuk bekerja akibat korporasi yang tak mau berkompromi dengan korona. Siti contohnya, yang bernasib sama dengan ribuan buruh lainya di perusahaan garmen PT Kahatex atau Tri Wiguna besera ribuan buruh lainya yang berkerja di PT Unitama Sari Mas Jakarta Utara[3]. Ada juga puluhan ribu driver online yang wilayah kerjanya memang mencari nafkah di jalan. Belum lagi pekerja informal yang mau tidak mau harus bekerja untuk mencukupi kehidupan esok hari, yang tentu saja tidak kompatibel dengan konsep work from home (WFH).

Singkatnya, korona tak bisa menahan laju ekonomi kapitalistik yang saat ini ditopang oleh negara. Perusahaan-perusahan besar dan pabrik masih merespon biasa saja, mengurangi aktivitas produksi sewajarnya, bahkan menjadikannya sebagai kesempatan busuk untuk memulangkan para buruh tanpa pesangon yang layak. Terlebih jika perusahaan dalam keadaan bahaya dan rawan bangkrut, masih ada yang dengan senang hati membantunya. Siapa lagi jika bukan negara.

Dari sini dapat dilihat bahwa roda kapitalisme tak benar-benar terhenti. Bagi kapitalisme, kesehatan bahkan nyawa buruh tak lebih penting dibanding terus berputarnya roda ekonomi demi akumulasi kapital. Jadi, asumni Martin bahwa pabrik akan meliburkan buruh secara sukarela kontradiktif dengan logika inheren di dalamnya yang selalau mengejar akumulasi. Kapitalisme tak mengenal logika dan moral “kebaikan”. Ibarat manusia, akumulasi adalah amigdala otak kapitalisme yang egois, penuh saraf kebencian bagi yang mengusiknya. Eksistensinya melekat dan tak bisa dipisahkan kecuali dicabut secara paksa dar akarnya lebih dulu.

Ketimbang mengamini logika “kebaikan” korporasi tersebut, saya lebih besepakat menganggap ini sebagai hambatan sekaligus peluang. Korona bisa saja dijadikan dalih korporasi untuk melakukan PHK dan tidak membayarkan upah sebagaimana mestinya. Namun di sisi lain, pemogokan dan upah yang tetap diberikan adalah jalan yang harus diperjuangkan. Hal itu karena pemogokan hari ini bukan hanya tentang urusan hak-hak dasar normatif, tetapi ujung tanduk hidup dan mati karena pandemi korona. Kita perlu menghantam roda kapitalisme tepat dalam jantungnya karena jelas-jelas eksploitatif dan tidak berperikemanusiaan. Tentu saja untuk mewujudkannya perlu tekanan massa, bukan sebatas membayangkan dalam lamunan indah menuju tidur yang nyenyak.

Kapitalisme yang Disokong oleh Negara

Tak sebatas keengganan kapitalisme untuk berlaku menuturkan derajat akumulasinya — sehingga lebih manusiawi pada buruh yang kesehatanya terancam — kapitalisme juga disokong oleh negara sebagaai representasi dari kelas dominan yang sedang menguasainya. Hal ini secara gamblang dapat dilihat pada respons dan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah, terutama dalam menangani persoalan ekonomi.

Pemerintah menerbitkan Permenkes №9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar[4] (PSBB) dalam Penanganan COVID-19. Memang ada tempat kerja yang diwajibkan untuk WFH, namun ada pengecualian pada sektor perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dll. Lebih rinci pada perusahaan industri dan kegiatan produksi meliputi; unit produk komoditas esensial, unit produksi, produksi minyak dan gas, serta unit manufaktur.

Artinya, keengganan sektor swasta dan korporasi untuk menghentikan roda ekonomi kapitalistik juga disokong oleh pemerintah dengan segala piranti kekuasaanya. Roda-roda itu dibiarkan terus menggelinding. Pemerintah menjadi tukang sapu yang membersihkan jalan sembari menjadi satpam untuk mengamankan siapa saja yang berani menganggu putaran roda tersebut. Namun tak cukup di situ, pemerintah juga melalukan stimulus-stimulus serta asuransi ketika roda kapital tersebut goyah oleh korona.

Sokongan negara di bidang ekonomi terepresentasikan jelas dengan diterbitkanya Perppu №1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan[5]. Alih-alih menyokong kebutuhan rakyat kecil, kebijakan ekonomi ini lebih banyak menguntungkan pelaku swasta dan korporasi besar. Dalam Pasal 16 misalnya, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan bantuan dana pada korporasi melalui Surat Utang Negara. Artinya, dengan dalih penyelamatan perusahaan karena krisis, Bank Idonesia bisa memberikan likuiditas besar-besaran.

Atau juga di Pasal 5 di mana negara memberikan penurunan tarif pajak PPh badan menjadi 22% tahun 2020, 20% di 2022, dan 17% untuk wajib pajak dalam negeri. Ini berarti korporasi dibebani pajak lebih sedikit. Padahal kita tahu bersama betapa masifnya korporasi kakap melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam di Indonesia tanpa memperhatikan dampak ekologis. Belum lagi jamak dijumpainya buruh yang gajinya masih jauh dari kata layak. Hal tersebut berbanding terbalik dengan berbagai subsidi rakyat kecil yang perlahan dikebiri.

Satu lagi dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law. Dapat dilihat dalam draf naskah akademiknya yang berprinsip investasi harga mati. Secara gamblang pemerintah memperuntukannya untuk kemudahan berinvestasi, namun mengesampingkan aspek yang lain, seperti ketenagakerjaan dan SDA.

RUU Cipta Kerja justru mengokohkan posisi korporasi kakap dan swasta. Sebut saja soal klaster ketenagakerjaan yang mulai dari mekanisme penghitungan upah, pemutusan hubungan kerja, pesangon, sampai dengan advokasi hubungan industrial yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha. Hak-hak buruh semakin dipersempit, korporasi swasta yang justru mendapat banyak limpahan kemudahan. Atau juga di klaster yang berkait dengan lingkungan, di mana atas nama investasi, persoalan lingkungan tidak dijadikan prioritas.

Menanggapi Omnibus Law ini, konfederasi-konfederasi buruh jelas menunjukkan penolakannya terhadap RUU ini dan telah melakukan aksi-aksi di berbagai kota. Mahasiwa dan rakyat luas juga banyak melakukan protes atas RUU ini. Misalnya saja aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta serta aksi-aksi lainnya yang dilakukan di berbagai daerah. Di saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia, bukannya berfokus pada penanganan kesehatan, pemerintah masih saja ngotot melanjutkan agenda pembahasanya[6]. Menjadi wajar jika konfederasi dan serikat buruh yang tergabung dalam MPBI (Majelis Pekerja Buruh Indonesia) yang beranggotakan jutaan buruh geram akan hal tersebut. Rasional ketika MPBI berencana melakukan aksi massa untuk menolak Omnubus Law[7].

Dari sini terlihat kesalahan logika Martin. Argumentasinya yang menyatakan dimungkinkannya tata ekonomi dunia baru, di mana sektor swasta akan remuk dan satu-satunya kekuatan ekonomi yang signifikan adalah negara, dengan sendirinya terbantahkan. Alih-alih perusahaan swasta akan hancur dan hanya negara yang akan menjadi pemain tunggal ekonomi, justru negara berani pasang badan untuk merugi. Bahkan negara berhutang demi hidupnya sektor swasta dan kelangsungan roda ekonomi kapitalisme. Singkatnya, kapitalisme mengharuskan roda perekonomian terus berputar dan sialnya negara hari ini menjadi alat yang apik untuk memenuhi keinginan tersebut.

Pandemi COVID-19 memang akan mengeser peta ekonomi politik tiap-tiap negara dalam skala global. Namun, mengambil simplifikasi bahwa dengan sendirinya negara akan mengarah ke sosialisme adalah kesimpulan yang cacat. Letupan hubungan produksi selain dipengaruhi oleh kondisi dan alat produksi, juga dipengaruhi oleh tenaga produktif yang menyokongnya. Tanpa satu pengorganisiran tenaga produktif tersebut dalam satu platform bersama, yang terjadi hanyalah kaos alias kekacauan. Titik-titik gerakan massa wajib untuk mengkonsolidasikan diri dalam menyokong perbahan besar jika tak ingin tergelincir kesekian kalinya.

Solidaritas dan Perjuangan Kolektif

Beberapa negara memang melakukan inisiatif untuk menasionalisasi aset terutama aspek urgen dalam penaganan pandemi korona. Problemnya, selama masih dalam kerangka nasionalisme dangkal belaka, politik luar negerinya sama saja akan ekspolitatif di negara lain. Apalagi jika penanganan korona dipasrahkan di hadapan utang pada kreditur asing seperti IMF, ADB, AIIB, dan World Bank. Bukan menyelesaikan masalah, malah justru menambah masalah baru untuk anak cucu bangsa seperti di Indonesia. Sebut saja penerbitan Global Bond oleh pemerintah beberapa waktu lalu senilai US$4,3 M dengan tenor 50 tahun[8], yang artinya sampai 50 tahun kita memiliki kewajiban bayar utang pokok plus bunganya yang besar. Akankah sosialisme secara ikhlas hadir di negara yang dalam penyelesaian pandemi masih mengunakan cara-cara seperti ini?

Kata Harari, masalah global membutuhkan jawaban global[9]. Pandemi COVID-19 adalah masalah global yang mesti ditangani juga dengan solidaritas global. Nasionalisasi aset strategis tiap negara, pajak progresif, serta dibarengi dengan distribusi yang mencukupi memanglah penting. Namun, itu pun tidak akan cukup tanpa ada topangan solidaritas global. Kita juga perlu negara lain yang datang tidak atas dasar ekspansi dan akumulasi untuk mengatakan “America first”, “PRC first”, “Rusia first”, “India first”, dll, namun secara beriringan bersolidaritas dengan seluruh sapiens yang ada di bumi. Kuba menjadi negara yang perlu dicontoh dengan mengirimkan dokter-dokternya ke berbagai penjuru dunia dalam menghadapi pandemi korona. Dorongan ini juga tak bisa sebatas dibayangkan, tetapi perlu perjuangan keras dari tiap kelompok progresif pada tiap negara untuk mewujudkannya.

Lebih-lebih lagi, berbicara kiamat kapitalisme hari ini tak sesederhana persoalan relasi produksi sebab akar-akarnya telah merasuk ke relung kehidupan yang dalam. Laclau dan Mouffe membahasakannya bahwa “saat ini bukan hanya sebagai seseorang penjual kekuatan kerjanya saja individu ini tersubordinasi pada kapital, namun juga lewat inkorporasinya ke dalam begitu banyak relasi sosial yang lain seperti kultur, waktu senggang, jenis penyakit, pendididkan, seks, dan bahkan kematian. Pada praktiknya, tak ada domain dari kehidupan individu atau kolektif yang lolos dari relasi-relasi kapitalis”[10]

Untuk itu, perlu konsolidasi yang kuat melibatkaan keluatan rakyat lintas sektor yang terorganisir dalam satu kekuatan yang solid dengan tahapan-tahapan yang terencana. Perlu sesuatu yang disebut dengan solidaritas jaringan kelompok progresif tanpa mengenal batas kelompok, sektor, negara, dan teritori untuk menciptakan momentum yang menghantam sistem ekonomi bobrok ini secara telak. Sekali lagi bukan menunggu sosialisme yang turun dari langit seusai pandemi korona.

Krisis ekonomi selalu melahirkan peluang. Ketimbang sebatas membayangkan apa yang terjadi hingga lagi-lagi tersalip di tikungan terakhir, lebih bijak jika secara aktif mengkonsolidasikan kekuatan kolektif dan menggalang solidaritas untuk mengubah haluan ekonomi yang masih terjerembap dari konsep kuno kapitalisme menjadi dunia baru yang cerah bernama sosialisme. Sedari yang terdekat, kemudian terus menigkat.

Tanggapan atas tulisan “Menbayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona” dari Martin Surajaya di martinsurajaya.com

[1] Istilah ini antitesis dari “intelektual organik” yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci sebagai sematan pada kaum intelektual yang juga aktif dalam gerakan massa

[2] Gold et al, 1975:31

[3] Tirto.id, “Buruh Bertaruh Nyawa Demi Pabrik : Berharap Negara Jamin Kebutuhan”, 30 Maret 2020

[4] Draf Permenkes No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar

[5] Draf Perpu №1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan

[6] Kompas, ”Di Tengah Penolakan, DPR Siapkan Tahapan Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja”, 8/4/2020

[7] Perjoeangan.com, 6 April 2020

[8] CNNIndonesia, “Pemerinth Terbitkan Global Bond US$ 4,3 M di Tengah Corona”, 7/4/2020

[9] Yuval Noah Harari, 21 Lessons for the 21st Century

[10] Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis, Yogyakarta 2008, Hal. 23

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.