Politik Jalanan Jacques Rancière
Oleh Taufiqurrahman
Aspirasi jalanan seringkali dipandang rendah dan murahan. Ia dianggap tak seilmiah aspirasi yang disampaikan di kampus-kampus, tak sejernih aspirasi yang muncul di media, dan tak seelegan aspirasi yang diungkapkan di ruang-ruang pertemuan dengan pejabat. Pandangan inilah yang mengisi kepala banyak orang, termasuk Menristekdikti Muhammad Nasir yang beberapa hari lalu mengimbau mahasiswa untuk tidak turun ke jalan.
Pandangan tersebut bisa dijustifikasi dengan beberapa alasan. Misalnya, bahwa aspirasi jalanan mengganggu ketertiban, seringkali membuat kerusakan, dan tak jarang juga berakhir dengan baku hantam yang memakan korban. Namun, apa pun alasannya, pandangan merendahkan terhadap aspirasi jalanan itu sejatinya menyembunyikan satu kecenderungan ideologis: menciptakan ketidaksetaraan!
Ketika kanal aspirasi hanya dibuka di kampus, di media, dan di pertemuan-pertemuan dengan para pejabat, misalnya, maka pada saat itulah terjadi proses penciptaan ketidaksetaraan secara struktural. Sebab tak semua orang punya kesempatan masuk kampus; tak semua orang bisa menulis atau tampil di media; juga tak semua orang bisa hadir di acara pertemuan dengan para pejabat. Satu-satunya ruang yang memungkinkan semua orang, secara sama dan setara, untuk menyampaikan aspirasinya adalah jalanan.
Tidak ada hierarki dan kepura-puraan di jalanan. Bahkan bocah SMA yang berusia belasan tahun punya posisi sama dengan para mahasiwa, juga dengan para aktivis yang sudah tua. Jika pun ada beberapa orang yang diberi panggung untuk memegang mikrofon dan berorasi, itu hanya soal pembagian peran, bukan penegasan sebuah hierarki. Di jalanan, aspirasi juga dapat disampaikan dengan beragam cara, tanpa harus terbebani oleh norma kelembagaan yang kadang memaksa kita untuk berpura-pura.
Bahkan Henri Lefebvre (2003: 19) menyatakan bahwa “peristiwa-peristiwa revolusioner biasanya terjadi di jalanan”. Oleh karena itulah, saya akan mengajukan satu tesis dan akan membuktikannya bahwa jalanan adalah lokus dari politik dalam pengertian Jacques Rancière. Namun, sebelum membuktikan tesis ini, saya perlu menjelaskan bagaimana Rancière memahami politik.
Politik dan Penataan
Jacques Rancière adalah filsuf Prancis yang mulai mendapat perhatian publik sejak 1990-an, terutama ketika ia menerbitkan La mésentente: Politique et philosophie pada 1995 yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Disagreement: Politics and Philosophy pada 1999. Dalam pengantar buku itu, Rancière (1999: xiii) mengajukan sebuah pertanyaan: “apa yang secara spesifik dapat dianggap sebagai politik?” Pertanyaan ini, lanjut Rancière, “akan memaksa kita untuk membedakan politik dari apa yang biasa kita sebut ‘politik’ yang akan saya beri nama dengan istilah ‘penataan’ (policing)”.
Itulah gambaran umum dari proyek filsafat Rancière. Artinya, trajektori utama filsafat Rancière bermula dari pembedaan antara politik dengan apa yang biasa kita sebut ‘politik’ yang secara peyoratif oleh Rancière disebut dengan istilah ‘tatanan’ (police) atau ‘penataan’ (policing). Jika yang pertama memungkinkan demokrasi yang sebenarnya — sehingga Todd May (2008: 41) menyebutnya sebagai ‘politik demokratik’ — maka yang kedua hanyalah prosedur untuk memperoleh persetujuan banyak orang, untuk mengatur kekuasaan, dan untuk membagi-bagikan jabatan serta peran (Rancière, 1999: 28). Dengan kata lain, ‘politik’ sebagai tatanan atau penataan tak lebih dari sekadar demokrasi prosedural.
Di dalam ‘politik’ sebagai tatanan, kita selalu menemukan sebuah hierarki. Politik dalam pengertian Rancière tidak ada di sana. Bahkan Rancière (1999: 17) sendiri menyatakan bahwa “politik tidak selalu terjadi — ia benar-benar sangat jarang terjadi”. Politik itu terjadi hanya ketika sebuah tatanan yang menciptakan hierarki diinterupsi oleh sebuah praandaian dasar: kesetaraan. Dengan kata lain, kehadiran politik yang menjadikan kesetaraan sebagai praandaian merupakan gangguan bagi tatanan, bagi mekanisme penataan yang membagi-bagi peran dan jabatan secara hierarkis. Di sinilah antagonisme dimulai — antara politik yang mengandaikan kesetaraan (la politique) dengan politik sebagai tatanan (la police).
Politik sebagai mekanisme penataan selalu menyisakan orang-orang yang tak dihitung, yang tak dianggap penting, di dalam tatanan. Rancière (1999: 9), mengikuti Aristoteles, menyebut mereka sebagai orang yang “tidak punya bagian di dalam apa pun”. Mereka inilah demos, rakyat kebanyakan, yang sebenarnya merupakan bagian dari tatanan sosial, tapi karena efek penataan, mereka kehilangan bagiannya di dalam tatanan dan perannya tak diperhitungkan. Karenanya, mereka juga disebut sebagai “bagian yang tidak punya bagian” (le part sans-part) atau “yang-keliru” (le tort) — dalam arti: yang-keliru-diperhitungkan.
Filsafat politik, alih-alih membuka jalan bagi hadirnya politik dengan praandaian kesetaraan, dalam pandangan Rancière malah melanggengkan ketidaksetaraan. Tendensi ini dapat kita lihat dalam tiga bentuk pemikiran filsafat politik yang masing-masing oleh Rancière dinamai archipolitik, parapolitik, dan metapolitik (Rancière, 1999: 65). Ketiga bentuk filsafat politik itu masing-masing hadir dalam pemikiran Platon, Aristoteles, dan Marx.
Filsafat politik Platon secara jelas menunjukkan adanya orkestrasi penataan di dalam kota ideal (kallipolis) sehingga menihilkan kesetaraan. Setiap orang memiliki tempat masing-masing sesuai dengan sifat kejiwaannya. Orang yang berjiwa emas, yakni para filsuf, intelektual, dan cerdik-cendekia, menempati posisi paling tinggi dalam kallipolis. Merekalah yang seharusnya menjadi pemimpin sebuah kota atau negara. Orang-orang dengan jiwa perak (seperti polisi dan tentara) berperan sebagai penjaga keamanan sebuah kota; sedangkan orang kebanyakan, yang berjiwa perunggu, cukup menjadi ‘pengrajin’ yang memproduksi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang terakhir inilah kaum miskin kota, para petani di desa-desa, serta kaum buruh yang keringatnya dibayar tak seberapa.
Situasi ideal sebuah kota atau negara, yang tertib, aman, dan terjaga, bergantung pada kesesuaiannya dengan dasar (arkhê) penataan komunitas. Misalnya, orang yang seharusnya menjadi tukang kayu tapi menjadi raja itu diyakini dapat mengantarkan negara pada kehancurannya. Maka demi keamanan dan keutuhan sebuah negara, mekanisme penataan (policing) itu harus benar-benar dapat memastikan bahwa setiap orang menempati posisinya masing-masing sesuai dengan ketentuan arkhê. Inilah alasan mengapa Rancière menamai filsafat politik Platon dengan sebutan archi-politik dan ia mengidealkan satu bentuk politik yang tanpa arkhê (an-arkhê).
Parapolitik, yang asal-usulnya dapat ditemukan di dalam pemikiran Aristoteles, meskipun tampak lebih demokratis daripada archipolitik Platon, masih mempertahankan tatanan sosial yang tidak setara. Dalam bentuknya yang lebih mutakhir, parapolitik ini tampak dalam pemikiran filsuf yang berasal tradisi liberal atau kontrak sosial seperti Thomas Hobbes. Parapolitik Aristotelian pada dasarnya memberikan kesempatan yang sama dan setara bagi setiap orang untuk menjadi pemimpin sebuah negara. Namun, karena terlembagakan dalam bentuk negara atau segala bentuk institusi lainnya, kesetaraan itu pada akhirnya tetap tidak memungkinkan semua orang untuk menggunakan kesetaraannya.
Demikian juga parapolitik yang muncul dalam bentuk kontrak sosial Hobbesian. Dalam kondisi alamiahnya, individu sebenarnya sama dan setara. Namun, karena kekhawatiran akan adanya konflik tak berkesudahan di antara individu-individu yang setara dalam memperebutkan sumber daya alam, maka individu-individu itu membuat kontrak sosial atau kesepakatan untuk mendirikan sebuah negara yang dapat menjamin hak-hak mereka. Pada titik itulah, masing-masing individu menyerahkan kesetaraannya pada satu kekuasaan yang jauh lebih tinggi dari dirinya, yaitu pemerintah yang mengatur dan mengurus negara.
Dengan demikian, meskipun mengakui adanya keseteraan alamiah di antara individu, parapolitik Hobbesian justru bertujuan untuk menghilangkan kesetaraan itu. Jika pun ada kesetaraan di dalam parapolitik, maka itu adalah kesetaraan yang oleh May (2008: 44) disebut “kesetaraan pasif”, yaitu kesetaraan yang dijamin dan dipelihara oleh pemerintah.
Metapolitik, yang bentuk terbaiknya hadir di dalam Marxisme, adalah diskursus tentang kekeliruan politik yang membagi-bagi manifestasi politis dari setiap pertentangan (Rancière, 1999: 82). Bagi metapolitik, kebenaran politik itu tidak terletak di dalam politik itu sendiri, tetapi terletak di tempat lain, yang ada di luar atau melampaui politik. Marxisme sendiri menyebutnya ada di ekonomi. Relasi politik yang ada itu hanyalah penampakan dari relasi ekonomi. Bisa jadi secara politik seseorang tampak setara dengan orang lain, tetapi secara ekonomi ia sebenarnya sedang dieksploitasi. Karenanya, jika kita hendak membedah kekeliruan politik, kita mesti beranjak dari ranah politik dan menuju ke ranah ekonomi. Di sana kita akan menemukan pertentangan antara kelas yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa dalam pandangan Rancière metapolitik Marxisme ini tak termasuk politik demokratik. Pertama, karena ia tidak menjadikan kesetaraan sebagai praandaian awal — kesetaraan hanyalah kondisi yang dicita-citakan, yang kini masih belum ada, tetapi diyakini akan ada di masa depan. Kedua, dan ini yang diutarakan oleh Todd May (2008: 80), karena ia menganggap penindasan hanya terletak pada eksploitasi yang basisnya adalah ekonomi. Ini akan menciptakan satu bentuk hierarki yang lain bahwa orang yang paling cocok memimpin revolusi adalah orang yang memiliki keahlian dalam ekonomi.
Melampaui Filsafat Politik
Ketiga bentuk filsafat politik tersebut, meskipun memiliki posisi yang berbeda-beda terkait kesetaraan, nyatanya sama-sama tak mampu mewujudkan politik dalam pengertian Rancièreian: politik yang menjadikan keseteraan sebagai praandaian awal. Archipolitik malah hadir sebagai bentuk sempurna dari proyek penataan (policing) yang berimplikasi langsung pada munculnya ketidaksetaraan. Parapolitik, meskipun mengakui keseteraan alamiah, justru menumpulkan praandaian keseteraan itu sendiri dengan menciptakan tatanan institusional. Metapolitik, yang mengandaikan kebenaran politik ada di luar ranah politik, membuat hierarki soal siapa yang dapat menyingkapkan kepalsuan penampakan politik (ideologi).
Jika filsafat politik justru melahirkan politik sebagai penataan daripada politik sebagai aksioma kesetaraan, di manakah politik Rancièreian itu mungkin diwujudkan? Jelas bukan di istana negara yang kini sudah menjadi tempat berkumpulnya para purnawirawan militer dengan para mantan aktivis yang dulu kritis pada pemerintah. Istana negara adalah simbol Leviathan di mana kekuasaan negara mengatasi segala-galanya. Maka, adalah pilihan yang tepat ketika teman-teman mahasiswa menolak bertemu dengan pemerintah di istana. Sebab politik yang kini ada di negeri kita bukanlah politik Rancièreian, melainkan parapolitik Hobbesian.
Kita semua, sebagai warga negara, pada dasarnya memiliki hak yang sama dan setara untuk memilih ataupun dipilih menjadi pemerintah. Namun, karena kesetaraan itu dilembagakan, maka kita seringkali terbentur pada aturan-aturan kelembagaan untuk memanfaatkan hak-hak kita yang setara. Hanya orang-orang yang punya privilese tertentu yang dapat bertemu presiden menyampaikan langsung aspirasinya, yang dapat masuk kampus dan berdialog dengan pemerintah, atau yang dapat tampil di media dan memberikan kritik pada penguasa.
Rakyat kebanyakan, yaitu para petani, buruh, tukang becak, pedagang kaki lima, gelandangan, dan seluruh kelas bawah lainnya, tidak punya privilese itu. Meskipun secara tertulis mereka dianggap setara dengan warga negara lainnya, tapi secara politik mereka adalah bagian yang tidak punya bagian, pihak yang disalahperhitungkan, di dalam tatanan. Mereka tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan atau pembuatan undang-undang. Begitulah bentuk tatanan atau penataan yang lahir dari parapolitik Aristotelian-Hobbesian — yang biasanya beroperasi dalam bentuk pemerintahan demokrasi liberal.
Di dalam bentuk pemerintahan demokrasi liberal, jalanan adalah satu-satunya ruang yang dapat memungkinkan politik Rancièreian diwujudkan, politik yang dapat mengganggu dan menginterupsi tatanan yang melestarikan ketidaksetaraan. Di jalanan, kesetaraan hadir dalam bentuknya yang radikal: “kesetaraan setiap orang dengan semua orang”. Setiap orang dapat mengekspresikan kesetaraannya dengan orang lain melalui caranya masing-masing, melalui singularitasnya yang tidak dapat begitu saja diidentifikasi pada tatanan sosial yang dominan.
Bentuk singularitas individu dalam mengekspresikan kesetaraannya di jalanan itu dapat kita lihat, misalnya, pada poster-poster yang dibawa massa aksi demonstrasi di beberapa kota di Indonesia selama beberapa hari terakhir ini. Poster-poster itu, selain menunjukkan singularitas individu, juga menunjukkan adanya proses yang oleh Rancière (1999: 35) disebut ‘subjektifikasi’, yaitu proses subjek melalui tindakan dan ucapannnya yang secara kolektif menampakkan dirinya serta menolak identifikasi dan kategorisasi tatanan (police) terhadap dirinya. Dengan kata lain, subjektifikasi adalah cara kelompok yang tersisihkan, yang disalahperhitungkan oleh tatanan, menegaskan kesetaraannya secara politis.
Jadi, jika politik adalah praandaian kesetaraan dan filsafat politik selalu merupakan justifikasi terhadap penataan (policing) yang menghasilkan efek ketidaksetaraan, maka filsafat politik sejatinya adalah antipolitik. Kita mesti melampaui filsafat politik terlebih dahulu sebelum mewujudkan politik dalam pengertian Rancièreian. Melampaui filsafat politik berarti menolak ruang-ruang, juga pikiran-pikiran, yang masih tersandera efek penataan. Dan itu hanya mungkin berlangsung di jalanan!
Daftar Pustaka
Lefebvre, Henri, 2003¸ The Urban Revolution, terjemahan Robert Bononno, Minneapolis: University of Minnesota Press.
May, Todd, 2008, The Political Thought of Jacques Rancière, Edinburgh: Edinburgh University Press.
Rancière, Jacques, 1999, Disagreement: Politics and Philosophy, terjemahan Julie Rose, Minneapolis: University of Minnesota Press.
Tulisan ini pertama kali terbit di laman BerdikariBook.