Senjatanya Rakyat (Miskin): Refleksi Gerakan Protes Rakyat

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
8 min readSep 29, 2019

Oleh Marsen Sinaga

Ilustrasi oleh Rizki Tilarso

Aksi-aksi protes rakyat terkait sejumlah Undang-Undang (UU) dan Rancangan Undang-Undang (RUU) akhir-akhir ini memberi secercah harapan. Hati nurani rakyat belum padam. Terusiknya rasa keadilan mampu menggerakkan rakyat.

Muncul berbagai tagar seperti #DiperkosaNegara dan sejenisnya. Rakyat merasa dizalimi, merasa diperlakukan tidak adil. Rakyat ingin memperlihatkan kekuatannya. Tapi, apa senjata paling ampuh rakyat dalam memperlihatkan kekuatannya?

Demokrasi dan wajah bebal kekuasaan

Pemilu pada Juni 2019 lalu adalah salah satu pemilu Indonesia dengan partisipasi pemilih yang tinggi. Banyak orang yang teryakinkan akan pentingnya memberi suara dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat. Dalam cara pandang formal-prosedural, pemilu Juni lalu adalah wujud menguatnya demokrasi di Indonesia. Pemimpin yang terpilih merasa mendapatkan legitimasi yang signifikan.

Gelombang aksi protes mahasiswa, pelajar dan masyarakat akhir-akhir ini memperlihatkan ironi kekuasaan dengan legitimasi formal-prosedural. Pilihan-pilihan tindakan penguasa dan wakil rakyat menyangkut KPK dan sejumlah RUU seperti ‘putus hubungan’ dengan hati nurani rakyat yang belum lama memberi suara dalam pemilu. Mandat untuk berkuasa diterima dengan baik, tetapi dipakai bukan untuk kepentingan mereka yang memberi mandat.

Kuat dan derasnya kemarahan dalam gelombang aksi akhir-akhir ini sepertinya bersumber dari perasaan ‘dikelabui’ seperti itu. Belum lama diberi mandat, bahkan belum dilantik, para pemberi mandat sudah diabaikan dan dianggap angin lalu belaka. Betapa bebalnya kekuasaan!

Hati Nurani Rakyat

Terlepas seberapa besar pengaruh media sosial sebagai sarana mobilisasi kemarahan dalam gelombang aksi-aksi protes ini, sangat kuat anggapan bahwa pendorong utamanya adalah terlukainya perasaan keadilan di hati banyak orang. Hati nurani rakyat selalu merupakan kompas penunjuk arah yang benar, suci, dan murni. Perasaan keadilan rakyat selalu bisa dijadikan petuntuk.

Rasa keadilan rakyat akan selalu bisa diandalkan sebagai alat kontrol bagi kekuasaan yang melenceng dari mandatnya. Hati nurani rakyat akan senantiasa menjadi sumber energi yang tiada habisnya. Maka, kekuasaan yang bebal dan pongah mesti berhadapan dengan kekuatan hati nurani rakyat. Gelombang aksi-aksi protes ini adalah wujud kekuatan suci-murni itu. Kapan dan di manapun, hati nurani rakyat akan berontak jika berhadapan dengan kezaliman kekuasaan. Rasa keadilan rakyat tidak mungin dibungkam. Begitulah rasa keadilan rakyat akan menggugah dan menggoyang kekuasaan yang bebal.

Tetapi, tidak mudah menghindari munculnya pertanyaan penting. Apakah sejarah akan senantiasa berulang saja di mana rakyat berbondong-bondong memberi mandat lewat pemilu kepada para penguasa, lalu penguasa menyelewengkan kekuasaannya, dan rakyat menyuarakan protes terhadap penguasa? Apakah gerakan dan protes rakyat mesti tunduk pada pola ini terus-menerus? Adakah kontradiksi di dalamnya?

Kontradiksinya, dalam aksi-aksi protes ini rakyat sesungguhnya berhadapan dengan jelmaan dirinya sendiri, yaitu pemimpin/penguasa yang diberi mandat olehnya. Bahayanya, karena mandat dari rakyat, penguasa (dalam bentuk pemerintahan) juga diberi kewenangan tunggal dalam menggunakan kekerasan terhadap apapun yang dianggap mengganggu kepentingan rakyat yang sudah menjadi abstrak.

Para penguasa itu seperti hendak mengatakan, “Jika rakyat tidak sepakat mengenai bagaimana pemimpin (penguasa) memaknai kepentingan rakyat, ada jalur demokratis untuk mengoreksinya, yaitu tidak memilihnya kembali dalam pemilu.”

Mungkinkah sejarah akan berulang saja? Aksi-aksi protes rakyat telah, sedang, dan akan terus memakan korban. Kasus Semanggi dan Trisakti masih mengambang di udara. Gelombang aksi akhir-akhir ini pun sudah mulai memakan korban. Rakyat ditangkap, diserang, dan ditembak. Cukupkah menjelaskan rangkaian korban ini dengan mengatakan, “Dibutuhkan pengorbanan (korban) dalam perjuangan kebenaran?” Tidakkah ini terdengar seperti fanatisme yang agak dungu? Mungkinkah protes ini diperlihatkan dengan cara yang berbeda? Adakah cara lain untuk melawan?

Apakah ada alasan mendasar mengapa protes rakyat yang selalu ditujukan terhadap negara (pemerintah) seperti telah berulang kali memakan korban? Mengapa amarah rakyat diarahkan pada negara? Keyakinan implisit di baliknya adalah bahwa negara (pemerintah) adalah manifestasi atau ungkapan paling nyata dari kedaulatan rakyat; negara adalah wujud kontrak atau kesepakatan sosial seluruh warga negara. Maka, setiap kali negara melenceng dari keinginan rakyat, negara layak dan pantas diprotes agar kembali menjadi wajah kedaulatan dan keinginan rakyat.

Nyatanya, keyakinan seperti itu jadi perangkap sehingga protes nurani rakyat selalu mengambil bentuk-bentuk ungkapan yang sama saja.

Negara dan sistem kapitalisme

Barangkali sudah saatnya mempertanyakan keyakinan bahwa negara adalah ungkapan paling konkrit kedaulatan rakyat. Sesungguhnya, cukup banyak analisa tentang negara yang mengajak kita melihat negara bukan sebagai manifestasi keinginan rakyat. Berikut beberapa yang layak disebutkan.

John Holloway mengatakan, “Negara adalah suatu organisasi yang terbentuk selama beratus-tahun sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem kapitalisme” (Crack Capitalism, hlm. 58).

Lalu, Fernand Fraudel pernah berujar, “Kapitalisme hanya berjaya kalau semakin menyatu dengan negara, yaitu saat kapitalisme adalah negara itu sendiri” (dikutip dalam buku Empire karya Hardt & Negri, hlm. 3).

Max Haiven & Alex Khasnabish menyimpulkan,

“Menguatnya (kapitalisme) neoliberal telah menyebabkan semakin tunduknya pemerintah pada keinginan modal. Ketika layanan-layanan dasar dari pemerintah dikurangi atau diprivatisasi, masyarakat menjadi semakin individualis dan masuk ke dalam logika uang; ini semua membuat semakin banyak orang dibiarkan sendirian menyelamatkan dirinya berhadapan dengan situasi hidup yang terus memburuk di bawah sistem pasar bebas” (Radical Imagination: Social Movement Research in The Age of Austerity, hlm. 10).

Langkah-langkah sistematis negara ke arah kebijakan-kebijakan privatisasi dan liberalisasi yang jelas-jelas merugikan rakyat seringkali dimaknai sekedar sebagai kesesatan individual para pemimpin yang sesungguhnya masih bisa dikoreksi; kebijakan pro-pasar seperti privatisasi dan liberalisasi yang makin parah tidak dipahami sebagai bentuk konkrit kekuatan-kekuatan kapital menguasai negara secara terang-terangan. Kekuatan dan keinginan modal (kapital) dianggap sekedar godaan atau setan kecil pengganggu yang bisa diabaikan saja kalau negara teguh dan kuat iman dengan hakekat dirinya sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Ekspresi gerakan sosial dan aksi-protes rakyat sekurang-kurangnya akan lebih beragam jika negara dilihat sebagai sisi lain dari kapitalisme sebagaimana diberitahu oleh Fraudel dan Holloway di atas. Apa yang akan terjadi dengan gerakan protes rakyat jika negara dan kapitalisme dilihat sebagai dua sisi mata uang; keduanya adalah dua wajah dari satu hakikat?

Bahkan, Holloway memberi gambaran yang lebih ekstrim saat mengatakan bahwa apa yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan oleh negara sangat ditentukan oleh kenyataan bahwa negara hanya satu entitas di dalam jejaring relasi-relasi sosial yang ada. Dewasa ini, relasi sosial paling dominan, kalau bukan satu-satunya, yang sangat menentukan ruang gerak dan pilihan tindakan negara adalah relasi sosial yang kapitalistik (capitalist social relation). Dalam relasi-relasi sosial yang kapitalistik, tentu saja kepentingan kekuatan-kekuatan (pemilik) kapital menjadi dominan dan sangat menentukan.

Strategi dua kaki

Kalau setuju dengan pandangan bahwa negara adalah saudara kembar kapitalisme atau bahwa negara dan kapitalisme adalah dua sisi mata uang, tidakkah sewajarnya protes dan perlawanan juga diarahkan kepada keduanya secara bersamaan; terhadap keduanya sekaligus? Melihat persoalannya dari cara pandang ini, maka fiksasi (keterpakuan) pada negara saja sebagai sasaran protes atau kritik adalah strategi yang pincang dan bahkan cenderung lemah. Negara memegang otoritas tunggal memakai kekerasan atas nama hukum yang berlaku untuk melindungan kepentingan kekuatan-kekuatan kapital yang menopangnya. Selain itu, fiksasi seperti ini, menurut Kate Crehan, adalah bukti bekerjanya kekuatan hegemoni penguasa ke dalam imajinasi gerakan perjuangan. “This is one aspect of what hegemony means in practice: the power to determine the structuring of rules within which struggles are to be fight out” (Gramsci, Culture and Anthropology, hlm. 204).

Perjuangan atau protes yang cerdas bukanlah perjuangan yang sudah bisa dipastikan akhirnya, atau perjuangan yang justru akan semakin memperkuat musuh yang hendak dilawan.

Negara (pemerintah) tidak akan runtuh oleh protes rakyat. Paling banter, negara berganti pemimpin dan segala sesuatu berjalan seperti sedia kala. Bahkan, negara akan semakin canggih melakukan pelunakan dan hegemoni terhadap rakyatnya karena kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya.

Dalam cara pandang yang teknokratik, misalnya, para kapolda di mana terjadi penangkapan dan penembakan terhadap pelaku aksi bisa dicopot dari jabatannya. Mungkin akan diturunkan pangkatnya. Tetapi, hal itu perubahan biasa saja bagi institusi kepolisian. Tindakan-tindakan aparat kepolisian yang menjadi sasaran kritik keras bahkan bisa dijadikan argumen untuk mengajukan penambahan anggaran untuk meningkatan kapasitas aparat kepolisian dan pengadaan peralatan yang lebih canggih. Argumennya, kelemahan dan kegagalan kepolisian adalah manifestasi rendahnya kualitas sumber daya manusia kepolisian dan rendahnya kualitas peralatan kerja. Berada di bawah tekanan, bahkan kapolri bisa dicopot dari jabatannya. Namun, perubahan seperti itu sudah lumrah terjadi dan bukan perubahan yang substantif.

Jika memakai analogi perang, perjuangan keadilan dan aksi-aksi protes dapat mengombinasikan aspek terbuka dan tertutup dari perang. Umum diakui bahwa beberapa perang yang sempat ‘memusingkan’ penjajah Belanda adalah Perang Diponegoro dan Perang Aceh. Kekhasan sejumlah perang yang teramat melelahkan Belanda ini adalah kombinasi yang menakjubkan antara perang terbuka dan perang gerilya. Bahkan, unsur dominan dalam kedua perang itu adalah perang gerilya. Saat dua kekuatan tidak seimbang, strategi perang gerilya (perang tertutup) jauh lebih efektif.

Mungkinkah perlawanan atau protes terhadap saudara kembar negara-kapitalisme memakai strategi yang sama? Protes-protes terbuka terhadap negara memang semestinya dilakukan untuk merongrong legitimasi penguasa yang mengkhianati mandat rakyat yang diterimanya. Batasan dari protes-protes seperti ini mestilah otoritas tunggal negara untuk memakai kekerasan dengan alasan menegakkan hukum dan ketertiban umum. Negara relatif mudah mematahkan protes-protes (perang) terbuka.

Organisasi dan Boikot

Kesadaran akan batas dari protes dan perlawanan terbuka sewajarnya mengantar pada pemikiran tentang pilihan-pilihan perlawanan tersembunyi (perang gerilya) yang lebih diam-diam dan senyap tetapi efektif.

Dalam salah satu novel tetraloginya, Pramoedya Ananta Toer (Pram) mengatakan,

“Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. Dan hanya dengan organisasi, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri yang sebenarnya. Boikot, perwujudan kekuatan golongan lemah” (Jejak Langkah, hlm. 396).

Prinsip yang sama ditekankan ulang oleh Pram dengan lebih padat saat mengatakan, “…kaum yang lemah… mempunyai senjata. Namanya Boikot” (Jejak Langkah, hlm. 628).

Mengenai hal ini, ada inspirasi menarik dari rangkaian aksi dalam rangka gerakan Occupy Wall Street yang bermula pada 2011 di Amerika Serikat. Selain aksi protes yang dijaga ketat oleh aparat keamanan, ada satu aksi yang ditumpas oleh para petugas secara tegas dan agak beringas. Para demonstran berbaris tertib-rapi di depan sebuah bank untuk menarik dan menutup tabungan mereka. Mereka tidak melanggar hukum dan tidak mengganggu ketertiban umum. Namun, para petugas keamanan membubarkan mereka secara paksa dan menangkap sebagian di antara mereka. Mereka dituduh subversif, yaitu mengganggu kestabilan ekonomi negara.

Kejadian penting tetapi jarang dibahas ini mengatakan sesuatu yang sangat mendasar. Kekuasaan (negara) yang bebal itu sesungguhnya ditopang oleh kekuatan-kekuatan kapital, dan kekuatan-kekuatan kapital itu dihidupkan atau dilanggengkan oleh keikutsertaan seluruh rakyat ke dalam korporasi-korporasi kapitalis. Lewat berbagai kegiatan ‘ekonomi’–dalam kasus di atas menyimpan uang di bank–seluruh rakyat ikut melanggengkan kapitalisme sebagai saudara kembar negara.

Perang diam-diam dan senyap (gerilya) terhadap kekuatan-kekuatan kapital penopang rezim negara–dalam boikot keikutsertaan ke dalamnya–sungguh merupakan senjata ampuh perlawanan rakyat. Perang gerilya seperti ini adalah ruang-ruang kreatif yang tidak ada batasnya bagi perlawanan rakyat, dan karena itu daya hegemoni kekuasaan negara tidak sanggup menembusnya. Perang gerilya seperti ini tidak mudah dipetakan lalu ditumpas justru karena geraknya diam-diam dan senyap.

Akan tetapi, sebagaimana peringatan dari Pram di atas, perlawanan diam-diam (gerilya) bernama boikot ini hanya akan ampuh dan berdampak besar kalau ditopang oleh organisasi. Boikot sebagai sebagai kekuatan golongan lemah (rakyat) hanya mungkin ditunjukkan lewat organisasi. Kalau negara bergandeng tangan dengan kapitalisme, perlawanan rakyat terhadapnya mesti mengawinkan boikot dan organisasi.

Alain Badiou menyetujui prinsip yang disampaikan oleh Pram waktu dia mengatakan,

“Bagi kaum miskin, orang-orang yang tidak memiliki kekuatan finansial dan militer, orang-orang tanpa kekuasaan, yang masih dimiliki adalah disiplin mereka, kemampuan mereka untuk bertindak secara bersama-sama. Disiplin seperti ini sudah merupakan suatu bentuk organisasi” (We need a popular Discipline: Contemporary Politics and the Crisis of the Negative, Critical Inquiry).

Disiplin dan kemampuan untuk bertindak (melakukan sesuatu, seperti boikot) secara bersama-sama adalah senjata atau kekuatannya orang kecil (rakyat).

Penutup

Pantas jadi pertanyaan: ke mana arus gelombang aksi protes hari-hari ini akan bermuara? Penguasa merasa sudah mengakomodasi tuntutan yang disampaikan dalam aksi. Rakyat merasa tuntutan belum sepenuhnya dikabulkan. Penguasa mengatakan bahwa semua ada prosedurnya. Rakyat curiga bahwa penguasa hanya akan mempermainkan rakyat, karena itu perlawanan mesti ditingkatkan. Eskalasi protes rakyat sangat mungkin diredam dengan kekerasan yang memakan korban atas nama penegakan hukum dan ketertiban umum.

Kalau senjatanya rakyat (kecil) adalah organisasi dan boikot, mungkinkah gerakan-gerakan protes ini menguat dan mengeras ke arah pembentukan organisasi-organisasi yang sadar betul pentingnya aksi kolektif rakyat dalam perang diam-diam dan senyap (boikot) yang sistematis dan masif terhadap kekuatan-kekuatan kapitalisme penopang rezim? Aksi menutup tabungan di bank oleh para demonstran dalam rangkaian gerakan Occupy Wall Street bisa jadi inspirasi awal.

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.