Solusi Kemalangan Papua: Demiliterisasi dan Referendum

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak
8 min readOct 4, 2019

Oleh Jhon Gobai & Yance Yobe )*

Rasisme di Asrama Papua Surabaya (16–17 Agustus 2019) bukanlah peristiwa baru. Rasisme amat sering terjadi dan ini menunjukkan ketidakseriusan pertanggungjawaban Negara terhadap semua persoalan yang menimpa West Papua. Peristiwa Surabaya mempengaruhi protes lebih besar dari massa rakyat sepanjang Agustus hingga awal September di West Papua. Aksi massa yang memprotes rasisme melumpuhkan seluruh kota-kota di West Papua. Demonstrasi dilakukan sebagai bentuk perjuangan menghapuskan rasisme yang amat subur dalam alam kolonialisme.

Negara Republik Indonesia tidak tinggal diam. Sejumlah petinggi negara, termasuk Presiden Republik Indonesia, meresponnya dengan nada humanis dengan meminta untuk saling memaafkan saja[1] dan memberikan harapan akan memperbaiki ketidakmampuan negara dalam mengatasi persoalan rasisme. Tetapi hal itu tidak terjadi. Negara justru mengirim enam ribu pasukan TNI/Polri hingga 2 September lalu.[2] Penyerangan yang dilakukan TNI/Polri di Kabupaten Puncak Papua, distrik Gome, menewaskan empat orang warga sipil dan mengakibatkan ratusan rumah lainnya terbakar.[3] Tak berhenti di situ, sejumlah media terus beritakan pengiriman militer Indonesia ke West Papua.

Kemudian, Polda Papua membatasi hak berbicara, berkumpul, berdemonstrasi di West Papua. Polda Papua mengeluarkan maklumat[4] larangan demonstrasi yang berlaku di West Papua pada 2 September. Rakyat makin tersiksa oleh berbagai bencana, termasuk TNI/Polri yang menguasai seluruh ranah sipil seperti gereja, universitas, sekolah. Rakyat bahkan tak bisa beraktivitas sewajarnya.

Ketika pelajar melakukan aksi protes terhadap ujaran rasisme kepada murid asal Papua oleh gurunya di salah satu Sekolah Menengah Atas di Wamena, TNI/Polisi merespon secara represif hingga menewaskan 32[5] orang pada 23 September. Di hari yang sama, tiga Mahasiswa dan satu anggota TNI meninggal akibat tindakan represif TNI/Polri di area Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura[6].

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik hukum dan Ham, Wiranto, pergi ke Papua dan mendorong kelompok sipil Bela Negara[7] pada pertengahan Agustus. Belakangan muncul kelompok sipil yang sangat reaksioner dan arogan di Jayapura. Mereka menyerang satu asrama Papua di Kakey dan menewaskan satu mahasiswa, Maikel Kareth, dan melukai belasan lainnya.[8] Mereka mengatasnamakan diri sebagai kelompok sipil Bela Nusantara. Belakangan kelompok sipil Bela Nusantara ini terlibat penyerangan posko Pemulangan Mahasiswa di Ekspo Jayapura.

Kriminalisasi

Peristiwa ujaran rasisme, pengepungan, hingga penangkapan 43 Mahasiswa Papua di Asrama Papua Surabaya pada 16–17 Agustus 2019 menyeret Veronica Koman, Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menjadi korban. Banyak pihak, lembaga organisasi, induvidu yang bersolidaritas mengatakan bahwa aparat kepolisian mengkriminalisasinya. Koman menjadi ditetapkan menjadi buronan karena mengadvokasi peristiwa Surabaya dan kasus Papua lainnya melalui akun sosial medianya. Tentu aparat kepolisian mengkambing hitamkan Koman. Para pelaku ujaran rasis (anggota TNI dan Ormas) justru tak dipersoalkan.

Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yang disebut-sebut oleh Kodam XVII/Cenderawasih. dijadikan kambing hitam oleh TNI atas Peristiwa Uncen Berdarah 23 September.[8] Pelaku penembak tiga Mahasiswa dan satu anggota TNI tak dipersoalkan. Begitu juga dengan demonstrasi rakyat West Papua memprotes rasisme di Surabaya. Para pelaku pembakar sejumlah properti tak dipersoalkan. Justru organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan ULMWP yang dikriminalisasi. Para aktivis dan pembela HAM dikriminalisasi, wartawan di intimidasi, dan terjadi penangkapan semena-mena.

Demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat Papua di West Papua selalu di sebut sebagai “demo anarkis” yang kemudian melegalkan tindakan penanganan massa demonstran yang berlebihan dan represif. Penembakan menjadi metode andalannya. Tetapi polisi tidak mampu menyebutkan siapa yang berlaku “anarkis”, apa saja bentuk-bentuk demo yang bersifat “anarkis”, dan apa definisi “anarkis” menurut aparat Negara.

Dalam Peristiwa Wamena 23 September, misalnya, pelajar melakukan demonstrasi dengan damai atas ujaran rasis oleh seorang Gurunya di SMA PGRI[9]. Mereka datangi kantor Bupati dan duduk menunggu Bupati Jayawijaya untuk mendengarkan aspirasi pelajar. Menurut saksi mata, TNI/Polisi menembak dari luar pagar kantor saat para pelajar yang melakukan demonstrasi sedang duduk. Hal itu memicu situasi panas[10]. Para pelajar lari berhamburan. Saat itu juga kabut asap membubung dari dalam kantor Bupati. Rakyat tak berdosa pula yang jadi korban.[11]

Pertanyaannya, siapa yang “anarkis”? Apakah pelajar atau anggota TNI/Polisi yang melakukan penembakan? Siapa pelaku pembakaran kantor saat pendemo sedang berlarian? Dewa yang mengusut.

Seluruh demonstrasi di West Papua sejak bulan Agustus disebut oleh aparat Negara sebagai demo anarkis[12]. Demonstrasi dihadapi dengan moncong senjata. Korban berjatuhan. Kelompok pro-NKRI yang “anarkis”, yang jelas-jelas membawa parang, sabit, dan alat tajam lainnya, dibiarkan berdiri berdampingan dengan TNI/Polisi.

Label demo anarkis menjadi alasan pembenaran TNI/Polisi untuk cuci tangan. Tetapi TNI dan Polisi tidak menjawab pertanyaan berikut: siapa pelaku anarkis? Dan, siapa yang membuat situasi panas? Malang! Semuanya hanya berujung pengkambinghitaman gerakan, lembaga, dan aktivis.

Polisi juga punya cara tersendiri dalam mengumumkan korban yang berjatuhan di Papua. Saat Polri mengumumkan korban pasca demo pelajar, mereka membedakan korban warga Papua dan non-Papua. Korban non-Papua diumumkan dengan data asal kampung, daerah, suku, dan sebagainya, sementara orang Papua tak dipedulikan. Seperti kata Wiranto pasca enam orang berjatuhan di Deiyai (28/08) “Soal korban terserah kita umumkan atau tidak” (CNN; Sabtu, 31/08). Siapa yang tahu apa yang terjadi disana?

Akar Persoalan Papua: Kolonialisme Indonesia

Protes rasisme Surabaya (16–17 Agustus 2019) di seluruh West Papua, juga di Indonesia. ditanggapi dengan kekuatan Militer. BEM STFT Fajar Timur dan BEM STFT GKI IS Kijne di Jayapura merilis (Jubi: 28/9) paling sedikit 49 orang meninggal di Papua sejak demo protes rasisme Surabaya. Belum juga 182 warga yang meninggal dalam pengungsian dan 40 ribu warga yang mengungsi akibat operasi militer di Kabupaten Nduga sejak Desember 2019 hingga Juli — dan sekarang keberadaan mereka dilupakan.

Keran merosotnya kemanusiaan di West Papua terbuka sejak pendudukan Indonesia. Sejarah Indonesia di West Papua diwarnai dengan pertumpahan darah, eksploitasi sumber daya alam. Rakyat West Papua mengenal Indonesia dari wajah ABRI sejak ekspansi 1962. Itulah sebabnya rakyat Papua mengatakan NKRI adalah penjajah.

Selama 57 tahun persoalan Papua dalam bingkai NKRI Harga Mati tak pernah kunjung usai. Justru mengundang kematian bagi orang Papua. Human Rights Watch (HRW) mencatat bahwa sampai tahun 2015, ada 500.000 orang Papua yang bisa teridentifikasi mati ditangan militer setelah Tri Komando Rakyat (TRIKORA) dikumandangkan pada 19 Desember 196. Pendekatan militeristik pemerintah Indonesia telah dilakukan sejak kepemimpinan Soekarno. Setelah tumbang rezim Soekarno, rezim Soeharto menjadikan Papua sebagai lahan eksploitasi bagi Imperialisme Amerika Serikat.

“Integrasi” Papua di buku sejarah Indonesia adalah kebohongan besar kepada masyarakat Indonesia maupun dunia Internasional. TIDAK ADA Keterlibatan rakyat Papua dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962, dan Roma Agreement, 30 September 1962. Bahkan jauh sebelum itu rakyat Papua telah sepakat secara demokratis melalui 12 partai lokal untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai suatu Bangsa dan Negara pada 1 Desember 1961 dan secara de facto telah mendeklarasikan kemerdekaan secara berdaulat. Selanjutnya Dewan Guinea Raad (Nieuw Guinea Raad) sebagai badan legislatif menyusun dan menetapkan simbol-simbol kenegaraan sebagai berikut: Nama Negara: Papua Barat; Lambang Negara: Mambruk; Semboyan Negara: One People-One Soul; Bendera Negara: Bintang Kejora, Lagu Kebangsaan: Hai Tanahku Papua, Mata Uang: Gulden; dan ditetapkan melalui resolusi PBB 1415. Selanjutnya manifesto politik dideklarasikan dan disiarkan langsung melalui radio Belanda dan Australia ke seluruh penjuru dunia.

Bahkan, jika dicermati secara saksama, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 sangat tidak sesuai dengan New York Agreement dan Roma Agreement tentang One Men One Vote (satu orang satu suara). Kesepakatan diubah menjadi One Delegation, One Vote (satu perwakilan satu suara). Dari 800 ribu jiwa penduduk Papua saat itu yang mempunyai hak memilih hanya ditunjuk 1025 orang secara paksa untuk memilih bergabung dengan NKRI di bawa ancaman dan represi militer. Otomatis PEPERA 1969 cacat hukum Internasional.

Hak politik bangsa Papua dikebiri demi kepentingan ekonomi global. Dasar logikanya ialah; ketegangan konflik Papua dan pemerintah Indonesia tidak dapat berakhir sebelum status legalitas PEPERA 1969 di tinjau ulang. Sebagai landasan bentuk formulasi penyelesaian persoalan, hak self-determination bagi bangsa Papua Barat merupakan solusi tepat atas dasar tanggapan NKRI atas masyarakat Papua yang masih primitif, tetapi rakyat Papua harus tunduk dibawah NKRI dengan ancaman moncong senjata.

Ketika Reformasi bergulir pada tahun 1998, rakyat Papua melakukan aksi duduk bersama yang disebut Musyawarah Bersama (Mubes 2000) untuk merumuskan hak politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta menuntut pengakuan kemerdekaan bagi Bangsa Papua yang disabotase oleh Rezim Orde Soekarno. Mubes juga melahirkan struktur persatuan Gerakan yang dinamai Presidium Dewan Papua (PDP) yang di pimpin oleh Dortheys Hilo Elowai. Tetapi keinginan tersebut tak sejalan dengan Indonesia kolonial. Terbunuhnya Pemimpin Theys Elowai oleh Kopassus [14] dan selanjutnya otonomi Khusus (Otsus) menjadi jawaban atas kematian pemimpin karismatik serta penderitaan yang berkepanjangan.

Rakyat Papua tidak pernah meminta-minta Otsus kepada Jakarta, tetapi 100 orang birokrat Papua, yang disebut Tim-100, yang meminta-minta untuk kepentinganya sendiri. Kepentingan rakyat Papua dan birokrat Papua sangat berbeda. Otsus diberikan ketika rakyat West Papua menuntut hak kemerdekaannya. Otsus menjadi wajah bentuk penjajahan baru yang berkepanjangan.

Militer secara keseluruhan menduduki paksa wilayah Papua, bahkan International Coalition for Papua (ICP) pada tahun 2017 mencatat jumlah Tentara Indonesia dan Polisi telah melebihi batas. Kepentingan militer adalah membangun jalan dan melakukan perlindungan terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam. Hal ini dibuktikan dengan setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat Papua selalu di represi dan diintimidasi. Beberapa aktivis berakhir di liang kubur, misalnya, Dortheis Eluay (2001), Musa mako Tabuni (2012), dan beberapa lainnya. Bahkan yang mengejutkan, pimpinan komando satuan yang membunuh aktivis ini justru diberikan kenaikan pangkat.

Hal ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjamin setiap orang dapat menyampaikan pendapat dan hidup bebas. Inilah wajah NKRI harga mati! Bila kita melihat situasi yang lebih terbaru pada rezim Jokowi, kurang lebih 100 aktivis di Papua maupun di Indonesia ditangkap dan dituduh dengan tuduhan yang tidak jelas. Beberapa dituduh melakukan makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora. Bayangkan saja betapa fasisnya negara ini. Ia lebih mementingkan bendera dibandingkan rakyatnya. Fasisme ini juga ditunjukan bukan saja terhadap rakyat Papua, tetapi juga terhadap petani-petani dan aktivis-aktivis pejuang kemanusiaan di seluruh Indonesia.

Tuntutan Rakyat West Papua

Maka dari itu, tak ada jalan lain, cara lain, selain Konstitusi RI[15] bertanggung jawab atas tuntutan Hak Penentuan Nasib Sendiri yang diperjuangkan oleh rakyat West Papua. RI menghargai nilai-nilai demokrasinya atas semangat awal kemerdekaan, yaitu anti terhadap penindasan, dan berkehendak melakukan referendum sebagai sebuah jalan damai dan demokratis untuk menyelesaikan persoalan West Papua. Sebab berbagai eksperimen telah dilakukan: dialog, perundingan, yang telah melahirkan otsus tahun 2000. Kini 2019–21, sisa waktu berlakunya otsus di Papua. Tak ada jalan lain, bukan juga perpanjang otsus atau saling maaf-memaafkan, kecuali Referendum. Itu solusi yang paling demokratis, damai, dan terbuka untuk menentukan masa depan rakyat West Papua secara sadar, damai, demokratis, dan tanpa paksaan, teror, serta intimidasi.

Keberadaan Militer Indonesia di Papua, yang tiap hari makin bertambah jumlahnya, tentu tidak hanya memicu fobia yang berkepanjangan dari operasi-operasi militer yang berlangsung sejak masa lalu. Tetapi militer juga terlibat melakukan pembunuhan terhadap rakyat West Papua. Di Puncak Papua masih terjadi operasi militer sejak bulan Agustus 2019. Rakyat West Papua justru tidak merasakan kenyamanan atas kehadiran ribuan Militer, justru keamanannya terganggu.

Pembunuhan dimana-mana, kebencian terhadap sesama sipil tak terbendung lagi, hidup dalam ketakutan, ruang demokrasinya dikekang oleh senjata. Ruang demokrasi dimanipulasi oleh peluru laras panjang. Penangkapan semena-mena, penyisiran, dan berbagai bencana lainnya. Itulah potret West Papua ketika pengiriman militer menjadi jawaban negara atas protes ketidakadilan di West Papua. Sehingga, tuntutan mendesaknya, Tarik Militer organik dan non-organik dari tanah Papua, serta buka akses jurnalis (asing dan nasional) ke West Papua untuk melihat kebenaran realitas sosial di West Papua.

)*Penulis adalah Anggota aktif di Organisasi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Tulisan ini diterbitkan pula oleh Suara Papua.

[1] https://www.youtube.com/watch?v=8EzEI0Zb8Ww diambil pada 28 September 2019

[2] https://nasional.tempo.co/read/1242921/polri-sebut-6-000-pasukan-gabungan-di-papua-untuk-ciptakan-aman dikutip pada 28 September 2019

[3] https://suarapapua.com/2019/09/20/apa-yang-terjadi-sebelum-penembakan-di-olenki-puncak-papua/ dikutip pada 28 September 2019

[4] https://suarapapua.com/2019/09/02/ini-isi-maklumat-kapolda-papua/ diambil pada 28 September 2019

[5] https://elsam.or.id/tragedi-wamena-dan-jayapura-pada-23-september-2019-pemerintahan-jokowi-harus-akhiri-militerisme-di-tanah-papua/ dikutip pada 28 September 2019;

[6] https://www.jubi.co.id/empat-korban-meninggal-pasca-pembubaran-mahasiswa-di-uncen/ diambil pada 28 September 2019;

[7] https://nasional.kompas.com/read/2019/08/20/13450101/program-bela-negara-wiranto-akan-kunjungi-papua dikutip pada 29 September 2019

[8] https://suarapapua.com/2019/09/02/penyerangan-minggu-pagi-ke-asrama-nayak-begini-kronologisnya/ dikutip pada 29 September 2019

[9] https://suarapapua.com/2019/09/24/amp-pusat-bantah-pernyataan-kodam-xvii-cenderawasih/ dikutip pada 29 September 2019

[10] https://tirto.id/wamena-papua-mencekam-penyebabnya-ujaran-rasis-dari-seorang-guru-eizu dikutip pada 29 September 2019

[11] https://www.suara.com/news/2019/09/23/170513/aksi-siswa-protes-guru-yang-bilang-monyet-duduk-perkara-kerusuhan-wamena dikutip pada 29 September 2019

[12] https://suarapapua.com/2019/09/24/polda-papua-23-orang-meninggal-di-wamena-empat-orang-meninggal-di-jayapura/ dikutip pada 29 September 2019

[13] https://daerah.sindonews.com/read/1435277/174/polda-papua-tetapkan-28-tersangka-kasus-demo-anarkis-di-jayapura-1567241435 dikutip pada 29 September 2019

[14] https://www.kompasiana.com/papua/5518bff3a333117d07b6657c/11-tahun-terbunuhnya-theys-oleh-kopassus dikutip pada 29 September 2019

[15] https://korankejora.blogspot.com/2015/08/kemerdekaan-bangsa-papua-merupakan.html dikutip pada 29 September 2019

--

--

Suara Rakyat Bergerak
Suara Rakyat Bergerak

Kanal kontribusi tulisan oleh publik di bawah naungan Aliansi Rakyat Bergerak.