Mindset yang Setiap Engineer Perlu Sadari
Saya adalah seorang software engineer yang suka sekali membangun produk dengan teknologi perangkat lunak. Di saat yang sama, saya juga sedang membangun sebuah perusahaan, sehingga saya harus juga fokus pada bagian bisnis dan manajemennya. Dua sudut pandang ini tidak mudah untuk dijalani satu orang yang sama, karena fokus engineer adalah mengenai detil dan batasan. Sedangkan, fokus bisnis adalah luas dan kesempatan. Dua hal tersebut adalah hal yang saling berlawanan, sehingga saya sering kewalahan menjaga keseimbangan di antara keduanya. Banyak keputusan saya sebagai manajemen yang merugikan saya juga sebagai engineer, begitu pula sebaliknya. Terjadi conflict of interest, yang semuanya terjadi di dalam satu kepala.
Tulisan ini bertujuan untuk membagikan sudut pandang saya sebagai engineer dan manajer yang akhirnya tertuangkan menjadi tiga prinsip. Prinsip pertama adalah: teknologi hanya sebagai alat, bisnis adalah hal yang paling utama. Prinsip kedua adalah: tidak ada satu alat yang bisa menyelesaikan semua masalah. Prinsip ketiga adalah: get things done. Tulisan ini membahas satu bagian dari tiga bagian prinsip tersebut, yaitu teknologi sebagai alat.
Materi ini juga saya sampaikan ketika menjadi pembicara dalam acara Devcember 2018, yang link presentasinya dapat dilihat di sini.
Technology is Just a Tool. Business is the Real Deal
Dulu, dosen saya pernah mengungkapkan sebuah fakta yang “menyakiti” perasaan saya sebagai calon lulusan insinyur informatika, yaitu “Teknologi itu hanya alat. Semua balik lagi ke bisnis.”. Sebagai seorang muda yang polos, hal itu kemudian mematahkan semangat saya untuk belajar, karena untuk apa saya belajar kalau akhirnya apa yang saya pelajari ini tidak memiliki manfaat yang besar?
Setelah lulus sarjana, saya akhirnya melanjutkan S2 MBA yang fokus mempelajari bagian bisnisnya. Sebenarnya yang dikatakan dosen saya itu tidak salah, namun tidak juga terlalu tepat untuk melakukan simplifikasi yang demikian. Nyatanya, teknologi dan bisnis semestinya berjalan bersamaan dengan harmonis.
Market Pull
Pada dasarnya, terdapat dua pendekatan dalam menjalankan bisnis: market pull dan technology push. Market pull adalah sebuah pendekatan yang fokus pada kegiatan mencari kebutuhan pasar dan membentuk solusi berupa produk atau jasa berdasarkan kebutuhan pasar tersebut. Pendekatan ini sangat mendengarkan apa yang dikatakan pasar, sehingga kemungkinan sebuah produk atau jasa yang dibuat dari pendekatan ini sangat besar kemungkinannya untuk terjual.
Namun, memang ada satu hal yang saya pikir menjadi titik paling lemah dalam pendekatan ini, yaitu market belum tentu tahu alternatif produk atau jasa yang bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik. Pasar memandang dari produk atau jasa apa yang biasa dipakai, dilihat atau dirasakan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan kecilnya kemungkinan untuk adanya inovasi.
Bayangkan ketika zaman delman masih menjadi alat transportasi utama, kemudian para pengusaha transportasi hanya mendengarkan pasar apa adanya, tentu saja produk-produk yang muncul adalah delman yang lebih cepat, lebih nyaman, dan kuda yang lebih baik, maka tidak akan ada solusi bernama mobil.
Technology Push
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan kedua dalam membuat sebuah solusi berupa produk atau jasa, yaitu technology push. Pendekatan ini pada dasarnya “memaksakan” sebuah teknologi yang dianggap dapat menjadi solusi masalah tertentu, meskipun awalnya pasar belum menganggap hal tersebut masalah hingga solusi itu diperkenalkan atau memang tidak terpikirkan solusi dari masalah tersebut karena berbagai batasan teknologi yang ada.
Contoh technology push yang ekstrem adalah yang dilakukan Elon Musk dengan SpaceX dalam penjelajahan antariksa. Saat ini, orang kebanyakan belum banyak yang menganggap solusi ini dekat dengan kehidupan mereka dan merasa masalah yang ingin diselesaikan SpaceX bukan merupakan masalah mereka. Namun, bagi beberapa pihak, terutama perusahaan telekomunikasi yang membutuhkan biaya besar untuk menerbangkan satelit atau hal lainnya ke luar angkasa, ternyata SpaceX terbukti bisa memberikan nilai lebih dengan biaya transportasi yang jauh lebih murah dari biasanya.
Contoh lain dari technology push di Indonesia yang cukup dekat dengan keseharian kita adalah yang dilakukan oleh Gojek. Gojek dapat mengubah kebiasaan orang Indonesia dalam hal penghitungan harga transportasi dengan cara menghilangkan negosiasi dalam menggunakan suatu angkutan. Sebelumnya, mungkin jarang orang yang memikirkan hal ini, namun teknologi dapat menjadi alat pendorong hadirnya alternatif baru yang lebih efektif dan murah.
Pendekatan di atas bukan sebuah pilihan eksklusif yang harus memilih salah satunya. Melainkan, kita bisa mengombinasikan keduanya dan membuat sebuah keseimbangan yang harmoni dalam membangun solusi berupa produk atau jasa untuk dihadirkan di tengah-tengah masyarakat.