Datang, Hilang!

askell
Jalan Pulang
Published in
3 min readDec 29, 2018

Sisa-sisa pening masih menempel di kepala, ketika kudengar gedoran tak sabar di pintu kamarku, menarik kesadaran kembali memenuhi tubuh. Mataku terbuka, memincing menatap cahaya di jendela. Matahari telah meninggi, batinku. Bantal ini begitu hangat di kepala, begitu nyaman memeluk tubuhku yang merinding malam tadi diguyur dinginnya sudut malam yang terlupakan. Bak kereta api yang membunyikan klakson anginnya, si pengganggu ini tak hentinya menggedor pintu sembari memuncratkan rentetan kata-kata yang sulit kutangkap. Tak bakal dia pergi, sebelum maksudnya sampai, entah apapun itu. Maka demi kenyamanan pagiku, dan demi burung-burung yang dengan sabar menantiku bangun hanya untuk memperdengarkan suara merdunya, aku tak ingin semakin merusak pagi yang telah dirusak dengan permulaan pintu yang tergedor. Sungguh bukan cara yang alami untuk bangun.

Maka aku mengeram, mengeluarkan bunyi entah yang tak bermaksud, demi burung-burung yang baik, supaya si pengganggu ini bersegera mengucap apapun yang perlu dia ucap, dan hengkang dari kediamanku yang tak suka kesibingan. Kupasang telinga lebar-lebar..ada ketaksabaran dalam nada bicaranya.

Seorang teman..

oh..bukan..

seorang sahabat karibku sejak kecil..

teman bermain sejak belia..

malam tadi..

meniggal dunia,

dalam kecelakaan tunggal..?

Sesaat, seperti ada hentakan dalam kesadaranku. Terjadi walau hanya sepersekian detik, seperti ketika tersengat listrik kecil, tak berasa sakit, hanya mengagetkanmu saja, sedikit. Seperti saat sedang asyik bermimpi, dan kau meludah tanpa sadar hingga membangunkanmu. Mungkin hanya salah dengar, batinku. Kata-kata itu begitu cepat hilang, seperti angin lalu, dan kemudian kesadaranku kembali ditelan gelap.. aku melanjutkan tidurku.

3 jam setelahnya aku terbangun. Di benakku masih tersangkut kata-kata seputar “sahabat dan kecelakaan”. Ada momen ketika mimpi dan kenyataan seperti berpadu, melebur membentuk kesadaran tertentu. Inilah yang terjadi padaku saat itu.

Ingin kupersilahkan diri untuk bersedih, namun yang terjadi malah sebaliknya; kupersalahkan diri yang tak mampu bersedih, entah karena suatu sebab yang sendiripun aku tak paham. Barangkali hatiku telah mati, dan mata air nuraniku telah kering untuk mengalirkan air mata. Kucoba mengais sisa-sisa memori tentang masa lalu, namun yang kutemukan hanya potongan-potongan kecil yang tak berhubungan satu dan lain. Keping yang tak muat dengan yang lainnya.

Kau telah pergi, kemana aku tak tahu. Mungkin ke alam yang dulu kau yakini ketika kau masih bernafas. Mungkin ke alam yang kuyakini sekarang ketika aku masih bernafas. Aku rasa kau mesti menuggu sebentar, sampai aku menyusulmu untuk membuktikan kebenaran alam ini. Barangkali ada satu tempat yang sama buat orang-orang yang tak berkeyakinan sama. Dimana mereka bisa bertemu dan merperbincangkan tentang alam yang berbeda.

Aku berbohong ketika kukatakan aku menganggapmu selalu ada, dan bahwa kita adalah energi yang kekal. Sejujurnya aku tak tahu apa yang bersisa dari kita setelah kita tiada. Barangkali hanya kenangan yang kau tinggal bersama orang-orang yang meratapi kepergianmu yang begitu cepat — kenangan yang kemudian mendarah dan mendaging bersama kesadaran mereka. Aku berbohong ketika aku bilang bahwa aku percaya kau telah bertransformasi menjadi burung-burung atau kupu-kupu atau angin atau apapun. Aku berbohong karena aku sebenarnya tak lagi peduli apa selanjutnya dan apakah alam itu ada atau hanya karangan belaka.

Yang aku tak bohong, aku bersyukur atas persinggungan singkat antara jalanku dan jalanmu, atas momen-momen yang tetap berwarna dalam ingatanku — sekalipun aku tak tahu artinya apa. Yang aku tak bohong, aku menyesali waktu yang salah dan aku menyesali aku yang tak merasa apa-apa. Tapi demi sebuah kenangan suci tentangmu, kuputuskan menulis jujur tentangmu.

Barangkali aku dikutuk seperti Mersault yang mati rasa, atau para Aurelianos dalam seratus tahun kesunyiannya Gabo, tak mampu mencintai orang lain selain dirinya sendiri — membuatnya mendekam dalam sudut-sudut kesunyain, dipasung oleh penderitaan.

Aku mengingatmu tak lebih seperti lalu lalang orang yang kemarin kupapasi di pinggir jalan, yang wajahnya kupandang sepersekian detik sebelum kembali berpaling. Bukannya tak penting, namun hanya saja semua begitu absurd di mataku. Di tempat aku berdiri sekarang, aku telah sadar benar, bahwa ketika kita bertemu dan memutuskan berteman saat itu pula kita telah berjabat tangan untuk sebuah perpisahan. Dan inilah saatnya kupikir. Senyata itulah hidup bagiku.

Ditulis atas tantangan menulis topik manusia dan keterasingannya; terinspirasi dari Catatan Dari Bawah Tanah-nya Dostoyevsky dan Orang Asing-nya Camus.

--

--