Dosa dan Kenikmatan

Analisis Ketaksadaran dan Filosofis Terkait Kecanduan, Konsumsi, dan Rasa Sakit Manusia.

askell
Jalan Pulang
12 min readApr 15, 2021

--

Photo by Isabella and Louisa Fischer on Unsplash

Pada suatu hari saya memutuskan berhenti ngudud, juga begadang, dan main hape. Kawan-kawan datang membawa tanya mengapa dan bagaimana. Saya bilang saya sudah bosan. Rokok tak lagi enak di mulut dan di perut, tak lagi mengobarkan panji kebebasan dan persaudaraan, sementara begadang dan hape menjadi paket yang berkomplot menjauhkan saya dari tidur enak dan nikmat. Tidur menjadi barang mewah, dan mimpi-mimpi lebih banyak menampilkan gambar-gambar jahanam ketimbang bidadari-bidadari surga. Saya sudah kebosanan dan kelelahan menjadi binatang malam. Saya mau jadi matahari pagi.

Mereka melongo keheranan. “Bagaimana bisa?” Kata mereka.

“Ya, berhenti saja. Siapa yang mencegah?”

Seorang pernah menceritakan sebuah anekdot, tentang pengalamannya ikut sebuah seminar atau kuliah dengan tema kesehatan. Narasumbernya seorang dokter, ia datang untuk memberi petuah medis dan praktis perihal problem yang dialami para peserta. Orang-orang menyambut dengan tanya, sampai tiba pada topik adiksi atau kecanduan; seseorang bangkit di antara kerumunan dan bertanya, “Dok, bagaimana caranya berhenti merokok?”

Yang ditanya meninggalkan jeda-jeda suara di udara, membiarkan hening menggema dalam kepala mereka yang hadir, dengan tenang ia menjawab; “Kalau soal itu, saya juga belum tahu caranya, belum bisa berhenti.”

Selang beberapa waktu, saya menemukan sebuah tajuk yang menyentil perhatian di layar laptop; Seorang suami menggorok leher selingkuhan istrinya saat mereka kedapatan sedang indehoi di sebuah ruangan karaoke. Saya membacanya, seperti pembaca yang langsung disentak pada adegan pembuka novel a painted veil; seorang istri yang kedapatan selingkuh oleh seorang suami, bagaimana selanjutnya?

Saya terus membaca sembari merasakan bulu roma di leher dan tubuh berdiri; selalu ada thrill membaca kisah-kisah semacam ini, walau saya tak pernah suka membaca atau menonton berita.

Ada semacam narasi tak sadar yang membalut berita; sang suami adalah malaikat, sang istri adalah perempuan lacur. Sang suami yang baik hati, taat ibadah, dan bertanggung jawab, keluar mencari nafkah untuk anak-anak di rumah yang masih kecil-kecil, ketika menemukan sang istri memadu kasih dengan lelaki lain.

Saya dibuat bergidik membaca tanggapan-tanggapan orang, ketika melihat bermacam rasionalisasi atas kejadian ini, pembenarannya pada yang satu dan penghakimannya pada yang lain; semua bersepakat, bahwa pisau itu telah menemukan leher yang tepat untuk digorok. Orang-orang mendukung, membela, dan ada pula yang memuji keberanian Sang Suami membunuh demi menjaga harga diri; sementara yang lain mencela dan mengutuk perbuatan sang istri, dan mensyukuri kematian sang perebut bini orang.

Saya makin ngeri, ketika saya mulai menyadar, bahwa saya menjadi satu dari orang-orang ini; menjadi hakim yang mengetuk palu. Ada kelegaan memuakkan yang mencuat secara tak sadar, atas tumpasnya sebuah nyawa manusia yang disepakati jahat. Saya tak lagi memikirkan dharma atau ajaran apa pun tentang keikhlasan, kebaikan, dan kasih sayang pada manusia lain.

Darah menjadi sah ditumpahkan, bila yang tumpas adalah lawan; sama sahnya seperti membantai kawanan musuh di medan laga.

Dalam kenikmatan ganjil merasakan kematian musuh itu, saya terbangun; ada seorang anak ditinggal seorang diri, ia akan tumbuh tanpa sosok pelindung dan teladan, karena Bapaknya masuk bui untuk waktu lama, dan Ibunya tak akan lagi menjadi orang yang sama setelah peristiwa itu. Anak, lagi dan lagi, menjadi korban atas ketidakmampuan orang tua berdamai dengan diri mereka sendiri.

Lalu saya menginsafi diri; saya pernah tersesat sekaligus menjadi seorang anak. Lantas mengapa saya bisa-bisanya membaca kisah tragis ini dengan begitu nikmat?

Perkara-perkara tak sadar ini, menempatkan saya pada kursi hening saya, dan menenggelamkan saya pada renungan-renungan yang bermula dengan pertanyaan-pertanyaan;

Bagaimana sesuatu yang berdosa membuat orang merasa begitu nikmat?Mengapa atas nama kenikmatan, orang rela menyakiti dirinya sendiri dan tega menyakiti orang-orang terdekatnya? Bagaimana kenikmatan menjadi sebuah candu yang menjatuhkan orang pada lubang gelap?

Photo by Europeana on Unsplash

Dalam hidup saya yang pendek dan berantakan, saya bersyukur pernah kenal dengan orang bernama Jung. Ia mengenalkan saya pada dunia-dunia gelap dan mahluk-mahluk penghuninya, dan senantiasa menemani saya bermediasi dengan penghuni-penghuni dunia ini. Ia juga yang mengajarkan saya cara membangun jembatan antara dua dunia yang berseberangan. Ia bilang, dengan jembatan ini saya bisa menghubungkan kembali tempat-tempat yang terputus dan menjelejahi berbagai tempat di dalam dunia immaterial ini.

Ia bercerita tentang cahaya, bayangan, dan tempat untuk pulang.

Kesadaran adalah cahaya, katanya, tempat-tempat yang tak disinari cahaya adalah kegelapan atau ketaksadaran. Untuk mengenali diri, cahaya kesadaran itu harus dibawa ke tempat-tempat gelap yang kadang berbau busuk dan tampak menjijikkan, lalu berkenalan dengan penghuni-penghuni gelap yang sering ditakuti dan dihindari tersebut. Hanya dengan begitu, orang menjadi utuh dan menyatukan jiwa yang terbelah.

Lalu ada lagi orang lain yang hebat juga. Namanya Epicurus; Ia menginspirasi sosok besar dan kontroversial, Karl Marx, tentang kenikmatan dan upaya-upaya manusia untuk mencapai eudaimonia, kebahagiaan atau kepenuhan hidup lewat kesederhanaan dan persaudaraan.

Pada waktu-waktu yang sesak itu, ketika saya praktis gagal menjadi seorang Stoik; menginternalisasi hukum-hukum rasional alam, tetap sadar dan tegar bagai karang diterpa badai derita; Epicurus menyambut irrasionalitas saya dengan pelukan hangat bak kawan lama yang terpisah;

“Sini,” katanya, “lupakan politik dan urusan-urusan yang merisaukan hati, setiap manusia bisa berbahagia bila ia punya sepotong roti, beberapa teman, kemampuan untuk menikmati dirinya dalam kesendiran dan keinginan untuk mencintai kehidupan.”

Perkenalan kembali dengan dua sahabat lama itu, pada remang-remang senja, memberi sedikit petuah-petuah hidup dan kejernihan tentang segala yang dosa dan yang nikmat.

Kebahagiaan Dalam Perspektif Epikurianisme

Photo by Eddie Kopp on Unsplash

Dosa dan kenikmatan, adalah dua konsep utama yang orang harus bersihkan untuk mengerti fenomena tak sadar ini. Mengapa sesuatu yang berdosa, di saat yang bersamaan bisa menjadi sesuatu yang memikat dan menawarkan kenikmatan?

Epicurus berbicara banyak tentang kenikmatan. Ia membangun jalan untuk mencapai eudaimonia, kebahagiaan atau kepenuhan hidup, dengan konsep dasar tentang kenikmatan dan rasa sakit;

Ia membagi kenikmatan menjadi dua; kenikmatan yang bersifat aktif menerima rangsangan atau sensasi inderawi yang ia sebut sebagai kenikmatan kinetic, dan kenikmatan yang sifatnya static atau kenikmatan yang timbul karena ketiadaan rasa sakit. Tujuan manusia, bagi Epicurus, adalah kebahagiaan yang dicapai dengan membebaskan diri dari rasa sakit pada tubuh dan penderitaan pada pikiran.

Kenikmatan itu baik, maka penuhilah dia. Tapi, jauhkan diri dari segala yang mendatangkan sakit, terutama sakit pada jiwa dan pikiran, karena rasa sakit mendatangkan penderitaan. Berbahagialah untuk hari ini, cintailah kehidupan, ikhlaskan yang tak menjadi milikmu, dan tinggalkan yang bukan jalanmu; bersyukurlah atas nikmat-nikmat sederhana yang hidup berikan.

Hedonisme Epikurean, atau pencarian kenikmatan, tidak sama dengan pandangan jaman sekarang tentang mengejar kenikmatan yang sifatnya sesaat, mewah, dan sensual. Epicurus memperingati orang menjauhi jenis kenikmatan “sementara” dan di luar diri, yang pada buntutnya membawa orang pada sengsara dan derita yang lebih besar.

Hedonisme adalah terkait dengan upaya-upaya sadar manusia untuk mencapai kenikmatan yang sifatnya batiniah, sederhana, dan berkesinambungan. Kenikmatan tertinggi yang mampu dicapai manusia, secara tubuh dan pikiran, adalah kenikmatan katastematic, atau kepuasan batiniah.

Kalau Epicurus hidup di jaman sekarang, mungkin ia akan geli melihat muda-mudi yang suka main tik-tok dan foya-foya, melabeli diri sebagai “kaum hedon”…

Kenikmatan adalah jalan; kondisi mental dengan bermacam spektrum rasa dan konotasi. Rasa nikmat memberi kepuasaan pada tubuh dan jiwa; perasaan enak, sedatif, dan nyaman. Mereka yang mengalami katastematic, atau kepuasan batiniah, hidup berbahagia dan berkecukupan. Sikap hidup ini melahirkan sebuncah rasa syukur dan cinta yang khidmat pada kehidupan.

Orang yang benar-benar nikmat dalam makna tertingginya, tak merisaukan kiamat atau terikat pada kehidupan. Yang ada adalah sekarang, bukan penyesalan pada hari kemarin atau ketakutan akan hari esok. Jalan ini adalah bagi mereka yang mampu “mengalami” langsung dan menerima kehidupan sebagaimana adanya. Seniman, adalah sejenis manusia yang diberi bakat untuk menikmati hidup dengan dalam.

Bagi Epicurus, ketakutan adalah penyebab terbesar atas rasa sakit dan penderitaan manusia. Rasa takut yang tak ditanggulangi, atau terkendali, menyebabkan manusia sakit dan tak mampu menikmati hidup.

Ketika orang merasa sakit, segala yang terlihat seringnya tak lagi terasa nikmat. Lalu, orang akan memeras diri untuk mencari cara-cara baru, fantasi-fantasi liar, atau impian-impian muluk untuk memuaskan jiwa yang kekurangan rasa nikmat itu, yang telah mati rasa dan menjerit kesakitan.

Kenikmatan bisa menjadi candu dan pelipur lara bagi jiwa yang sakit, namun salah-salah, yang nikmat justru memberi ruang untuk pelampiasan sebuah jiwa yang terbelah. Pandangan tentang dosa dan ketakutan, menyusup pada cara-cara orang menikmati hidup; karena malu, takut, menyesal dan merasa bersalah, secara tak sadar orang kemudian mengejar atau melampiaskan rasa nikmat itu secara sembunyi-sembunyi atau merugikan diri sendiri.

Represi Tak-Sadar dan Dosa-Dosa Manusia

Photo by Stefano Pollio on Unsplash

Dalam banyak pandangan tentang kehidupan, dosa dan kenikmatan kerap dileburkan dalam satu konsep yang sama untuk menjelaskan sebuah peristiwa atau fenomena. Perselingkuhan adalah dosa besar, namun bagian-bagian tak sadar dalam diri tetap tergiur dan menginginkan kenikmatan yang ditawarkan oleh sensasi sembunyi-sembunyi untuk mendapat kenikmatan. Sesuatu yang kotor, menjadi sesuatu yang paling nikmat, sekaligus sesuatu yang tak berani orang akui atau sadari.

Sin is a term used to describe either an action that is prohibited in religious ethics or law, or a fallen state of being.

Dosa adalah konsep rumit dan unik untuk masing-masing agama, keyakinan, atau aliran pemikiran yang ada di dunia. Cakupan dosa menjadi sangat luas dan kompleks karena terkait dan terhubung dengan beragam konsep lain yang diterjemahkan berbeda oleh masing-masing agama atau aliran. Dalam satu aliran atau agama saja, konsepsi perihal dosa bisa berbeda bagi masing-masing orang, kelompok atau sekte tertentu.

Dalam tradisi berpikir agama monoteistik, pandangan tentang dosa terkesan keras dan tegas. Dosa adalah simbol kejatuhan manusia ke dalam jurang immoralitas. Iblis dan Setan menjadi simbol pembangkangan atas hukum atau kebenaran, sementara Adam dan Hawa melukiskan cerita arketipe tentang terusirnya manusia dari surga; sebuah tempat yang bisa diibaratkan sebagai kondisi kenikmatan katastematic dalam Epikureanisme, atau kepuasan batiniah.

Kendati dipahami berbeda dan dikonsepsikan beragam oleh berbagai aliran kepercayaan dunia, dosa memiliki pola atau struktur kemiripan; pembangkangan atas kebenaran atau hukum Tuhan akibat kepongahan dan ketidakmampuan manusia menghadapi gelapnya. Iblis dikutuk selamanya berada di Neraka karena kepongahan atau kesombongan menganggap diri lebih tinggi dari Adam, dan lebih mengetahui kebenaran dari Tuhannya sendiri. Sementara Adam terusir ke dunia karena ketidakmampuannya menghadapi Iblis atau “kegelapan” dalam dirinya.

Dosa membuat orang takut akan kemurkaan Tuhan. Menuntut orang menjauh, sekaligus menikmatinya atau menghasratkannya dengan diam-diam. Dosa adalah segala yang mendekatkan manusia pada kejatuhan diri. Sementara Iblis dan pasukannya, harus dilawan dan dihadang, bila perlu ditekan dan dimusnahkan dari diri.

Hinduism does not view sin as a crime against God, but as an act against dharma — moral order — and one’s own self.”

Dalam tradisi berpikir agama-agama timur di Himalaya, dosa dikaitkan dengan konsep Karma; sebuah hukum yang mengatur kehidupan dan mengikat mahluk-mahluknya dalam hubungan sebab dan akibat, tindakan dan konsekuensi. Sosok Iblis tak populer, bahkan tak dikenali dalam masyarakat Himalaya, seperti konsepsi dalam agama-agama samawi. Tak ada mahluk hina yang menggoda manusia menjauhi Tuhan. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sesuai dengan karmanya, tindakannya. Konsepsi terkait Karma, kemudian menghapus pandangan tentang dosa yang menyebabkan kemurkaan Tuhan.

Dalam tradisi spiritual timur, orang berdosa adalah mereka yang menjauhi jalan, moral kehidupan, atau hukum kealamian. Dalam Buddhisme bahkan tak ditemukan padanan atau makna terkait dosa. Tak seperti pada tradisi berpikir agama monoteistik yang menganggap dosa sebagai pembangkangan atau kepongahan manusia, dan mereka yang berdosa harus bertobat; bagi tradisi pemikiran di Himalaya dosa hanyalah ketidaktahuan, dan untuk menghapus dosa orang harus mencari tahu atau menjadi sadar.

If the mind initially reacts by moving towards the mental object, seeking it out, or attaching to it, the experience and results will be tinged by the lobha kilesa (greed, lust or rāga, attachment). Unpleasant objects or experiences are often met by aversion, or the mind moving away from the object, which is the root for hatred and anger to arise in relation to the object.

Represi barangkali metode paling ampuh membelah jiwa manusia. Di satu sisi manusia mendamba kenikmatan, sedangkan di sisi seberang pandangan tentang dosa membuat orang takut dan menekan pikiran-pikiran yang terkait dengannya.

Kita belajar bahwa dosa dalam tradisi agama moneteistik berasal dari kepongahan, kesombongan, dan monopoli kebenaran. Sementara dari tradisi timur, kita tahu dosa hanyalah ketidaktahuan manusia. Dari kedua pandangan tentang dosa tersebut orang bisa menarik sintesis, bahwa kejatuhan manusia pada lubang hitam adalah karena orang menjadi pongah, sombong, dan menganggap dirinya lebih benar lalu menghakimi orang lain. Orang yang berdosa sesungguhnya adalah orang yang menganggap dirinya tahu, padahal ia tak tahu apa-apa. Upaya manusia untuk keluar dari dosa itu yaitu dengan mencari tahu, menjadi sadar, atau menghadapi apa yang dianggap gelap dan ketidaktahuan itu.

Pada level psike, ketidakmampuan orang untuk “mengerti dan berdamai” dengan ketidaktahuannya atau ketaksadarannya, dosa-dosanya atau “hal-hal yang dianggapnya dosa”, menciptakan mekanisme pertahanan diri dengan merepresi segala hal yang dianggap ancaman bagi jiwa. Dosa-dosa dan yang berkaitan dengannya; pikiran-pikiran, hasrat, keinginan-keinginan, ditolak oleh kesadaran dan mengendap dalam alam ketaksadaran manusia.

Dalam Psikologi ketaksadaran, dikenal prinsip keseimbangan. Jiwa terdiri dari dua kutub berseberangan atau berkontradiksi yang harus didamaikan. Bila, satu aspek ditekan dan tidak diakui atau dihadapi, maka segala hal yang dihindari itu akan menjadi kompleks dalam ketaksadaran; subpersonaliti dengan tatanan pikiran dan emosinya sendiri. Kompleks dalam jiwa yang tak mampu disadari manusia akan berujung kepada gejala-gejala seperti disonansi kognitif atau disintegrasi diri.

Perpecahan dalam diri menyebabkan orang kehilangan kendali sadarnya, orang memiliki pikiran-pikiran yang saling bertentangan, atau melakukan tindakan-tindakan yang tak dikehendaki oleh hati atau pikirannya. Bagi Epicurus, kondisi kejiwaan seperti ini, adalah kondisi yang menjauhkan orang dari kebahagiaan atau kenikmatan batin yang ingin diraih itu, karena orang melakukan apa yang tak dikehendaki nuraninya.

Ketaksadaran dan Kelaparan Besar

Photo by Milad B. Fakurian on Unsplash

Ada sebuah lubang tercipta, di relung terdalam yang menghisap kesadaran hilang di dalamnya. Lubang ini meminta lebih dan lebih banyak lagi; meminta orang mengisi perut yang belum kenyang atau hasrat yang belum terpuasi. Orang mengkonsumsi semakin banyak, berharap dengan begitu lubang ini akan menutup pada suatu hari dan rasa lapar di perut dan jiwa terpenuhi. Sebaliknya, orang makin lapar, dan lubang itu semakin dalam dan melebar.

Saat orang tak lagi mampu memberi pengertian pada gelap dan terang, orang akan mencari perlindungan pada hal-hal di luar dirinya, dengan harapan ia akan melupakan segala yang membuat dadanya sesak.

Orang bukan lagi mencari kenikmatan untuk memuaskan batin, mencapai kebahagiaan atau kepenuhan hidup. Rasa lapar dan lubang dalam diri menghasratkan sesuatu yang lain. Manusia lalu memeras segenap dirinya untuk mencari kenikmatan-kenikmatan sesaat dan secepatnya, untuk membuatnya lupa dengan rasa sakit, kelaparannya, dan lubang di dadanya.

Semakin besar represi, atau kenikmatan yang ditekan dalam sebuah dosa, semakin kuat dorongan tak sadar untuk memenuhinya dan melampiaskannya. Orang yang tak mampu menjernihkan kedua konsep tentang yang dosa dan nikmat, cenderung menekan aspek penting yang dibutuhkannya dalam hidup, atau makna yang terkandung pada apa yang diidentifikasi sebagai dosa. Lubang yang tercipta dari represi diri mendorong orang jatuh pada pelampiasan untuk mengisi dan mengkonsumsi kenikmatan material dan sensual lebih banyak.

Adiksi atau kecanduan, dengan macam-macam wajah, hanyalah mekanisme untuk melarikan diri dari segala yang serba membebani jiwa. Lewat rokok, bokep, seks, alkohol, juga ide-ide mentereng tentang kebajikan dan perjuangan, seringnya adalah upaya-upaya tak sadar manusia untuk sejenak melupakan binatang dalam dirinya yang dengan pelan terus menggerogoti usus dan jantung manusia.

Lalu manusia merasa berdosa dan kotor, menenggelamkan diri pada sesal dan sembunyi dalam gelap, berbisik lirih tentang perubahan dan disiplin di kemudian hari, untuk kemudian kecewa karena esoknya ia kembali melakukan hal yang sama. Orang tak pernah tahu, dan kehilangan daya mencari tahu, bagaimana memutus lingkaran setan ini.

Dalam Sudut Gelap

Photo by Cherry Laithang on Unsplash

Barangkali selama ini, kita salah dalam melihat atau menyikapi segala yang kita sebut dosa. Tanpa sadar, ketika kita melabeli dosa pada sesuatu atau orang lain, kita menjadi pendosa pula pada diri sendiri. Mungkin segala yang dianggap kotor dan nista itu, hanyalah kekurangan pengertian atau kekeliruan kita sebagai manusia yang sering salah.

Manusia kehilangan kendali diri, karena membiarkan kesadarannya jatuh ke dalam lubang gelap. Orang tak lagi mengolah pikir dan rasa, mencoba mengerti atau melihat melampaui segala yang kita sebut dosa. Menghindar dan mengutuk dari jauh sudah cukup. Kita menutup diri dengan jubah bersih, dan menghiasinya dengan macam wewangian, sedangkan badan kita kotor dan tubuh kita berbau karena kita lupa membersihkannya.

Kita berhenti menerangi yang gelap dalam diri dan menjernihkan pikiran-pikiran yang keliru. Nyali kita ciut pada yang gelap dan pikiran menjadi kerdil, lalu kita bersembunyi pada ajaran tentang kesucian. Kita tak lagi bisa berdialog sebagai manusia dengan hati dan pikiran terbuka, karena manusia telah menjadi setan dan iblis di mata kita.

Dengan tak acuh, kita membakar jembatan dan memonopoli kebenaran, lalu pada ujung masing-masing kita berteriak tentang kebenaran sendiri-sendiri. Akhirnya, suara-suara yang sampai di telinga orang adalah suara kebencian dan penghakiman.

Iblis dan kawan-kawannya, barangkali hanya seorang anak yang merasa diabaikan, disepelekan, dan tak diberi kasih sayang oleh Sang Ayah yang telah membawanya ke dunia yang kejam; begitu pula Kain, atau Caleb dalam novel East of Eden yang tak pernah dianggap karena saudaranya lebih tampan atau lebih baik darinya.

Mungkin setan hanyalah mahluk-mahluk sedih dan pemurung; anak-anak yang terbuang dari kehidupan keras lalu menyembunyikan diri dalam sudut-sudut malam gelap yang dingin, karena dalam terang mereka akan dibenci, dicaci dan dihinakan. Mungkin, mereka yang hidup dalam gelap, hanya tersesat sebentar karena mereka belum punya tempat pulang, atau tak tahu jalan untuk pulang.

Mungkin, dengan belajar memeluk gelap, gelap melepaskan jeratannya pada jiwa kita yang kering kerontang, dan menginjinkan manusia menjalani hidupnya, dengan lebih baik, penuh dan berbahagia.

Makassar, 12/04/21.

--

--