Kegondrongan

dan jalan-jalan lain yang ditempuh manusia

askell
Jalan Pulang
7 min readApr 1, 2021

--

Photo by Amit Gaur on Unsplash

Sudah dua tahun saya tak mengunjungi tukang cukur. Rambut saya sudah panjang melebihi bahu. Saya tak pernah meniatkan untuk memanjangkan rambut. Hanya saja, dua tahun belakangan ini orientasi fungsi sadar saya benar-benar saya fokuskan ke dalam diri. Serius. Imbasnya, hal-hal yang sifatnya di luar diri, benar-benar saya kesampingkan.

Selama beberapa tahun memanjangkan rambut, ada fenomena tak sadar yang sering saya lakukan, yang baru belakangan saya benar-benar renungkan; ada waktu-waktu dimana saya menyukai rambut panjang saya dan membiarkannya tergerai bebas, ada waktu-waktu dimana saya merasa risih dan tak nyaman.

Saya baru sadar dan benar-benar merenungkan ini, setelah saya mendapat kabar yang kurang enak. Dengan lincah, tangan saya bergerak di luar kesadaran diri. Diambilnya seikat rambut karet berwarna merah, bekas bungkusan nasi padang dekat rumah, lalu diikatkatnya dengan tangkas pada rambut saya, dua kali, seperti model rambut Buddha Gautama. Tak ada yang tahu persis bagaimana model rambut Buddha Gautama sebenarnya, tapi saya kekurangan referensi praktis model rambut, dan rambut model Gautama yang paling tepat melukiskan bagaimana saya biasa mengikat rambut saya — visualnya silah dicek di Google.

Kesadaran perihal rambut ini datang secara intuitif, tiba-tiba saja, ketika saya mengikatnya di depan cermin. Saya sadar, bahwa waktu-waktu dimana saya paling dibuat stress, occupied, atau sibuk terkait masalah-masalah sehari-hari atau perihal keduniawiaan, atau saat berhadapan dengan orang lain, saat itu itu pula dengan refleks tangan saya mengambil ikat rambut dan jari-jari saya menari untuk menyimpulnya di rambut saya. Saat keluar rumah, saat menulis, saat bekerja atau melakukan sesuatu, saat-saat mau bayar barang ke mbak-mbak indomaret, atau saat sedang mendaki dan di depan saya ada tanjakan tajam, saya pasti menghela nafas dan mengikat rambut.

Sementara, saat-saat saya duduk ndak ngapa-ngapain dan merasa benar-benar bebas, damai dan kosong di hati, saat itu saya akan membiarkan rambut saya tergerai bebas. Belakangan, saat-saat itu lebih sering terjadi, dan barangkali kesadaran itu datang karena lebih sering terealisasi. Dalam kondisi seperti itu, saya benar-benar menyukai rambut panjang saya; apalagi ketika rambut-rambut itu menempeli pipi atau menutupi sebagian wajah saya.

Fenomena ketaksadaran yang banal ini, membuat saya merenungi arti rambut dan kegondrongan. Jangan salah! Rambut atau bulu punya arti lebih dalam dari sekadar sebagai fungsi estetis. Bagi hewan, rambut atau bulu punya fungsi biologis. Hewan-hewan yang hidup di hemisfer bumi bagian atas, bisa bertahan hidup dalam kondisi ekstrem karena memiliki bulu sebagai penghangat. Orang-orang Sami di Lapland, Skandinavia, bertahan hidup dalam cuasa paling brutal dan dingin mencapai minus 30 derajat celcius, di alam liar hanya karena memanfaatkan bulu-bulu reindeer.

Photo by Boston Public Library on Unsplash

Banyak kebudayaan dunia yang menempatkan rambut sebagai bagian integral dalam ritual dan tradisi spiritual atau keagamaan. Orang-orang asli Amerika, misalnya, memanjangkan rambut karena percaya rambut menandakan perhubungan dengan keilahian atau Mother Earth, dan membiarkan rambutnya tergerai bebas sebagai isyarat energi kehidupan yang mengalir. Di beberapa ritual, orang-orang ini akan memotong rambut panjang saat kehilangan anggota keluarga atau saat sedang berkabung. Mereka memotong rambut dalam suasana khidmat dan suci, lalu membawanya ke alam untuk dikubur atau dibakar. Setelah itu, mereka membiarkan kembali rambut mereka memanjang sebagai awal baru. Bagi mereka, memanjangkan rambut adalah manifestasi fisik hubungan antara alam dan manusia, atau manusia dengan kehidupan manusia lain.

Di Himalaya, para Sādhu, petapa atau orang suci dalam ajaran Hindu, membiarkan rambut-rambut di tubuh mereka tumbuh dengan lebat dan liar. Sementara mitologi Samson dalam tradisi Israel, barangkali paling sering dirujuk sebagai cerita yang melibatkan rambut. Dalam mitologi tersebut, rambut panjang menandakan kekuatan keilahian yang diberikan Tuhan pada Samson. Oleh restu ilahi, Samson memiliki kekuatan fisik di dunia dan mengalahkan musuh-musuh Tuhan. Ketika rambut itu kemudian dipotong oleh kekasihnya, Delilah, setelah mendapat imbalan seribu seratus koin perak, hilanglah kekuatan Samson. Kalau misal bayangan ini terlalu jauh, mungkin bisa dilihat fenomena sehari-hari yang dekat dengan kita; kebiasaan atau kultur populer dalam lingkungan tertentu; seniman identik dengan rambut panjang; anak Mapala terkenal dengan kegondrongannya; rocker juga banyak yang gondrong. Karakteristik ini paling banyak ditemui di lingkungan atau bidang-bidang kehidupan, yang menilai tinggi kebebasan dan kreativitas.

Sejujurnya, saya bukannya tertarik pada pengagungan rambut panjang sebagai bagian kultural lingkungan tertentu, atau terlebih pada klaim-klaim pseudosaintifik yang mengatakan rambut panjang memberikan kemampuan ekstrasensori bagi pemiliknya. Bukan itu. Saya melihat, fenomena rambut dipanjangkan sebagai sebuah pola atau fenomena tak sadar yang terjadi di banyak kebudayaan dunia. Sebagai sebuah cerita, menarik sekali.

Masyarakat Modern dan Stigma Pria Berambut Gondrong

Photo by Bill Fairs on Unsplash

Dalam masyarakat modern yang dibangun dengan tradisi rasional, segala bentuk kegondrongan terkesan berantakan, amburadul, sembrono, tidak indah dan menunjukkan kesuraman atau ketidakpastian akan hari depan. Ibu-ibu ndak suka anak gadisnya bergaul dengan begundal-begundal gondrong. Di dunia kampus, mahasiswa yang hendak sidang skripsi tidak dibolehkan bila belum memotong rambutnya dengan pendek dan rapi terlebih dahulu.

Dala kehidupan sosial, Modernitas mensyaratkan hubungan manusia dalam kehidupan didasarkan pada nilai-nilai rasional; segala tertata rapi, sistematis, terstruktur, mekanistis, dan kaku. Pandangan ini mengubah relasi antara manusia dan alam, menjadi manusia dan kota. Pandangan modern melihat segala sesuatu dalam dualitas yang tegas, tak ada area abu-abu di antaranya, segala sesuatu harus benar atau salah, baik atau buruk, hitam atau putih.

Pandangan tentang kegondrongan, dan konotasinya yang negatif dalam masyarakat, bisa menjadi tanda atau renungan bersama, sudah sejauh mana masyarakat telah memilih satu tujuan atau arah perkembangannya.

Dalam psikologi ketaksadaran, Carl Jung, seorang psikiater dan psikolog yang memperkenalkan psikologi analitik, mengajukan konsep Anima dan Animus. Anima adalah kualitas feminin dalam tubuh seorang laki-laki. Sebaliknya, animus adalah kualitas maskulin dalam tubuh seorang perempuan. Sebagai sebuah Arketipe, atau struktur dasar penyusun kehidupan, energi feminin dan maskulin sama sekali tidak sempit dan terikat maknanya pada jenis kelamin atau gender tertentu.

Maskulinatas adalah energi primordial yang sifatnya rasional, padat, dingin, kaku, terstruktur dan sistematis. Energi maskulin memberi tatanan dan disiplin dalam kehidupan baik dalam level individu atau masyarakat. Karena itu, dalam sains pendekatan dan metode ilmiah bersifat terstuktur, sistematis, berjarak dari objeknya dan dingin — tidak melibatkan emosi. Dalam pemerolehan ilmu secara obyektif, fungsi rasio untuk memilih, membeda, menggolongkan dan menganilisis sangatlah penting untuk terbebas dari bias informasi dan kekaburan konsep.

Feminitas adalah energi yang sifatnya cair dan kreatif. Energi feminin memberi pengertian karena menggunakan pendekatan rasa dalam memandang kehidupan. Bila maskulintas menjadi wadah, maka feminitas merupakan air yang mengaliri permukaannya dan menghidupkan mahluk-mahluk di atasnya. Kedua energi ini, bersifat komplementer dan selalu berusaha menyeimbangkan diri. Dominasi satu aspek energi atas kehidupan, dalam level personal atau masyarakat, akan menyebabkan ketidakseimbangan.

Barangkali, tidak heran kalau perempuan di setiap kebudayan identik dengan rambut panjang, karena hampir di setiap kebudayaan dan masyarakat, sepanjang sejarah, perempuan memerankan fungsi feminin dalam masyarakat. Sementara para pria lebih sering menjalankan fungsi maskulin dalam politik untuk mengatur masyarakat. Ini bukan perkara benar atau salah, tapi ini menjadi kesadaran yang sifatnya sensibel, dirasakan dan dialami. Tentu, penyempitan makna ini kurang tepat. Karena kedua gender atau jenis kelamin memiliki kedua energi dan kualitas dalam diri mereka. Satu gender atau jenis kelamin mungkin didominasi aspek tertentu dalam kesadarannya, namun dalam ketaksadarannya, ia memiliki aspek yang berlawanan. Setiap orang, laki-laki atau perempuan harus mampu membangkitkan dan menyeimbangkan kedua kualitas energi ini dalam dirinya. Ketidakmampuan dalam menyeimbangkan aspek feminin dan maskulin, menyebabkan represi yang akan berujung pada simpton-simpton atau pelampiasan destruktif.

Sekarang, pertanyaan yang sebaiknya dikembalikan pada diri masing-masing, masyarakat kita sudah sejauh mana menyeimbangkan dirinya? ataukah aspek satu telah sedemikian mendominasi yang lain?

Barangkali, dengan pemahaman ini, kita bisa melihat fenomena kegondrongan, pada laki-laki, sebagai sebuah simbol. Zaman orde baru, kegondrongan menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat yang didominasi rambut cepak dan rapi. Sebagai sebuah jalan, kegondrongan berusaha mengembalikan hubungan-hubungan yang telah terputus dalam kehidupan sehari-hari, yaitu hubungan-hubungan yang sifatnya cair dan kreatif. Mungkin mereka yang memilih gondrong, sudah bosan dengan konsepsi tentang kelelakian dan maskulinitas. Mungkin juga, dalam konteks spiritual, kegondrongan menjadi simbol hubungan vertikal dengan Yang Kuasa, dan rambut gondrong adalah upaya untuk menghubungkan kembali hubungan yang telah terputus karena perkara-perkara duniawi yang banal, dingin dan mekanistik.

Sebenarnya, kalau membicarakan rambut, dalam perspektif ketaksadaran, filosofis atau spiritual, fenomena kepala plontos atau orang-orang yang tak berambut juga menarik untuk ditelisik. Biksu-biksuni memilih untuk membotaki kepala mereka sebagai simbol sebuah jalan. Dalam tradisi spiritual di Himalaya, pemisahan tradisi berpikir Hinduisme dan Budhisme ditandai dengan perbedaan konsep mendasar tentang diri. Budhisme, tidak mengenal konsep diri yang sejati atau Atman seperti dalam filsafat Hinduisme. Karena itu tidak ada pula konsep penyatuan atau penghubungan antara Atman dalam diri dan Brahman dalam semesta. Budhisme mengenal konsep Sunyata, atau kekosongan; sebuah kondisi transendens akibat ketidakterikatan pada materi.

Bila Hinduisme, dan rambut panjang, merupakan jalan rasa, barangkali Budhisme bisa dianalogikan sebagai jalan akal. Budhisme mengambil pendekatan yang sangat rasionalistik dengan menghilangkan rambut sebagai sumber perhubungan antara diri dan alam atau keilahian.

Bila keberadaan rambut ibarat jalan, jalan apapun yang dipilih pemiliknya haruslah menjadi upaya sadarnya dalam mencari pengertian yang lebih dalam itu. Jalan apapun itu, adalah pengalaman paling intim dan personal, ndak boleh dihakimi orang. Orang boleh saja gondrong, plontos, atau punya model rambut kekinian; cepak dan undercut, siapa yang tahu isi hatinya?

Manusia seharusnya tak dinilai dari seberapa panjang ukuran rambut di kepalanya, atau sebanyak apa rambut ditubuhnya, melainkan dengan pertanyaan seperti; sudah seberapa sering bibir itu menyunggingkan senyum pada orang lain? atau mungkin sudah seberapa terang mata itu memancarkan sinar atau kejernihan jiwa pemiliknya?

Makassar, 31/03/21

--

--