Mentari Berpesan

dua makna yang tak sama

askell
Jalan Pulang
2 min readDec 6, 2018

--

Kemarin, aku dititipi pesan oleh sang mentari; bila nanti aku rindu, hendaknya aku tak mencari sisa-sisa hangatnya pada purnama malam sang bulan. Karena, kendati sama-sama bersinar terang, bulan dan mentari tak pernah sama. Barangkali, katanya, sinar bulan mampu hanyutkan aku dalam ketenangan, sedangkan sinarnya sendiri terlalu menyilaukan dan sering bikin sakit mata.

Mentari bilang; bila kelak aku tak lagi muncul di ufuk timur, dan yang tersisa dari dunia hanya kelam, tak perlu takut pada gelap. Karena biar pun sinarnya hilang, cobalah meraba gelap dengan tangan-tanganmu; siapa tahu, kau bakal temukan dirimu yang hilang sewaktu aku masih setia menemanimu.

Sekarang sedang malam. Mentari telah pergi sejak sore tadi. Aku coba menerka, apa besok mentari masih akan menyingsing, atau tak lagi datang padaku. Dan aku ditinggal pada ingatan terakhir dengannya — perbincangan senja, mencoba menyeruput suatu makna dalam secangkir kopiku, sambil menanti dia perlahan-lahan tenggelam, tersenyum dan hilang.

Memang aku tak jarang tak senang padanya; pada kemilau sinarnya, aku sering berpaling. Kadang aku menutup mata, begitu lesu untuk menyambutnya — alam mimpiku berhias bunga-bunga, mekar dan mengharum, lebih menawan dari kilauan mentari di pagi hari — sehingga terpaksa dia yang harus sambut aku; dia tak punya pilihan.

Namun isyaratnya yang datang tiba-tiba, tanpa sebab, bikin aku kembali merenungi jauhnya langkah kaki yang telah aku ambil, warna-warna yang telah kutoreh pada kanvas kehidupanku. Hingga hari ini, aku tak pernah benar-benar sadar, bahwa sekalipun sinarnya mampu menyakitkan, tapi sinar itu pula mampu tumbuhkan segenap potongan-potongan kehidupan yang dilingkupinya, menjadikan potensi masing-masing mahluk mewujud.

Demikian pula aku yang tak mampu melihat tanpanya. Pun barangkali, aku tak dapat terus hidup tanpa melihat cahayanya.

Namun sesal tak kunjung datang, dalam saat-saat terakhir aku melihat terangnya. Ya aku tahu, aku dan dia tak pernah serupa, tak tercipta dari yang sama — substansi dan hakikat. Aku melihatnya, sekaligus tak mampu meraihnya. Bila mentari tak lagi datang, dan aku bakal hilang dalam gelap, kusyukuri setiap detik yang terlewati bersamanya; panasnya kulit yang memunculkan bulir peluh serta keluh, gelisahnya hati yang sesak, dan renjanaku pada kehilangannya di ujung barat. Aku telah temukan cahayaku sendiri dalam gelap; ada hal-hal yang berada di luar kuasa, atau hal-hal yang lepas dari genggaman.

--

--