Ruang dan Waktu Sendiri

askell
Jalan Pulang
Published in
4 min readApr 23, 2020

Besok puasa. Pandemi korona membuat lebaran tahun ini bakal berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada tarwih di masjid, tak ada sholat Ied, tak ada prosesi saling maaf-memaafkan.

Semua tak ada bedanya bagiku. Bulan puasa datang, ataupun pandemi korona melanda dunia; aku masih sama seperti kemarin. Tak ada yang berubah dari keseharianku atau kehidupanku secara lebih luas. Aku tetap anak sederhana yang berusaha mempertahankan kebebasannya/kewarasannya serta kebenaran yang diyakininya.

Apakah aku begitu tak bersimpati dengan kemanusiaan?

Tidak juga. Aku bersimpati dengan caraku sendiri; dengan tak keluar rumah—yang tak begitu berbeda dulu dan sekarang—dan tidak menenggelamkan diri dengan berita-berita yang menebar kegelisahan. Abai adalah caraku bersimpati. Hidupku sedari dulu begini—hening dan bebas—karenanya aku berkontribusi membuat dunia lebih baik dengan tak mengurusi persoalan yang bukan urusanku dan tetap berada di jalanku sebagaimana mestinya. Akhirnya, setiap orang menjalani peran yang tak bisa mereka tampik.

Alih-alih bicara soal korona atau harga sembako yang melonjak di pasar menjelang bulan puasa, aku lebih suka berbicara tentang kucing-kucing yang berkeliaran di sekitar rumahku.

Lingkunganku adalah ekosistem hewan dan manusia dengan strata dan sistemnya sendiri. Semua bekerja dalam kesederhanaan yang saling melengkapi. Pukul enam kucingku akan mengeong dan mengaruk-aruk pintu kamarku, pertanda dia ingin memenuhi panggilan alamnya dan bercengkrama dengan kawan-kawannya di luar. Ketika kubuka pintu rumah, kucing-kucing tetangga akan mengeong keras menyambutku dan menuntut makanan mereka. Di jam sekian, akan ada perkelahian antara dua atau lebih kucing memperebutkan wilayah atau betina, dan tak lama akan muncul ibu-ibu yang mengusir kucing itu dengan sapu atau tongkat atau apapun yang bisa digunakannya.

Saat aku menulis ini, aku ditemani oleh seekor anak kucing betina yang kuperkirakan berusia lima-enam bulan. Dia berbaring di samping pintuku, dua meter dari tempatku menulis sekarang. Bulunya pendek berwarna cokelat muda dan putih. Dia punya saudari yang berwarna serupa tapi dengan motif totol-totol putih di badannya, seperti cheetah. Mereka berdua saja mencari makan, tak ada induk atau bapaknya. Keduanya begitu ketakutan pada awalnya, tak ingin didekati. Setelah beberapa lama diberi makan, akhirnya mereka mengurangi jarak aman mereka dariku. Perlahan dari lima meter menjadi tiga lalu satu meter. Terkadang mereka mengijinkan aku mendekat tiga puluh senti dari mereka. Satu yang bertotol putih sudah sering kuelus-elus bulunya; walau masih mengeong ketakutan ketika aku melakukannya.

Kenapa aku lebih suka berbicara tentang kucing daripada manusia?

Kalian tidak tahu, binatang jauh lebih mirip manusia dari yang bisa kalian bayangkan. Kalau kalian perhatikan setiap dari kucing-kucing itu punya keunikan dan personalitas sendiri-sendiri; laiknya kita manusia. Dan mereka, kita lebih banyak dapat belajar dari mereka daripada yang mampu didapatkan dari manusia dan peradabannya. Karena hanya memiliki insting, mereka tak pernah menyimpang atau melawan kodrat kediriannya. Manusia sungguh lain; kau bisa beri dia kebenaran di depan wajahnya, dan mereka akan lebih memilih lumpur dan kotoran mereka sendiri.

Dengan binatang kita bisa berhadap-hadapan sebagai mahluk Tuhan yang setara; dengan manusia kita mesti pandai-pandai memilih topeng yang sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan situasi. Kita tak akan pernah membenci kucing atau semut yang menggigiti kita, tapi dengan entengnya akan mengutuki dan mendendam orang lain yang tak sengaja melakukan kesalahan.

Tentu saja takdir manusia dan binatang beda, tapi kebanyakan manusia tak mampu menanggung konsekuensi dari kesadaran yang dimilikinya. Kesadaran; sesuatu yang membedakan kita dari semua mahluk. Kesadaran; yang dijadikan alat legitimasi kebinatangan dalam diri.

Aku melihat dua ekstrem dalam diri manusia. Sering juga manusia memilih satu ekstrem untuk melenyapkan yang lain; akal-indera, ruh-tubuh dsb. Bila terlalu nyaman, seringnya manusia memilih tinggal di satu tempat. Ketika bertinggal terlalu lama kesadaran bakal datang merongrong dengan pertanyaan yang mengganggu kemapanan eksistensi seseorang. Sebagian orang dalam keadaan ini akan melempar kesadarannya ke dalam tong sampah dan menenggelamkan/melupakan diri dalam kebinatangannya. Sebagian yang lain mendengar bisikan itu dan memenuhi panggilannya.

Kesadaran adalah daya yang menggerakkan kaki-kaki kita—bathin kita—untuk menyingkap bagian-bagian terdalam diri dan relung-relung tergelap jiwa kita. Kesadaran memberi tahu kita bahwa banyak yang belum kita tahu; dan dia bakal terus mendorong kita mencari tahu sampai kita hilang, tersesat, hanya untuk ditemukan kembali oleh kebenaran; bahwa penerimaan pada ketidaktahuan adalah kebenaran dan penerimaan pada gelap adalah kebebasan. Hanya dengan itu kita bisa keluar dari pekatnya kegelapan jiwa.

Orang bilang bahwa kebenaran akan membebaskanmu. Tapi mereka tak tahu bahwa kebenaran memiliki banyak aspek. Mengetahui kebenaran adalah satu hal; mengalami kebenaran adalah hal lainnya. Kau boleh tahu banyak hal, tidak lantas membuatmu bertindak benar. Mengetahui kebenaran tidaklah cukup. Orang mesti mengalaminya; merasakannya dengan seluruh tubuh dan inderanya.

Dan itulah perjuangan terberat setelah keluar dari kegelapan jiwa, menemukan ada kegelapan duniawi yang melingkupi kita, kemanapun kita melangkahkan kaki. Kita hanya mampu berpegang dan berpegang saja, kendati badai godaan dan ujian silih berganti datang mencobai kita.

Hidup ini, seperti kita berjalan di udara malam terbuka, dengan sebatang lilin di tangan, untuk menerangi jalan kita yang gelap, dan kita mesti menjaga api kesadaran itu tetap menyala di tengah angin malam yang kelam dan menderu.

Tentu saja ini hanya satu metafor. Kau mungkin bakal kaget bila kubilang ada begitu banyak metafora untuk melukiskan kehidupan. Kehidupan ini, adalah metafor itu sendiri. Dan kita hanya berusaha mengintrepetasinya dengan bahasa yang mampu kita pahami.

Makassar, 23 April 2020.

Habis baca Walden. Jadi sok Transendentalis dan naturalis.

--

--