Tentang Malam

askell
Jalan Pulang
Published in
1 min readApr 8, 2021

Malam ini bintang sedikit, sekalipun langit terbuka, bersih dan tak berselimut awan. Bulan sedang cembung di atas sana, menampilkan ¾ fase menuju purnama. Besok, barangkali sudah purnama, dan bulan menampakkan dirinya yang penuh dan sejati. Kalau bukan besok, mungkin besoknya lagi. Bagaimanapun aku tak tahu pasti soal bintang atau benda-benda langit. Astronomiku jelek; sekalipun aku tak pernah berhenti mengagumi malam-malam tenang dan benda-benda langit yang menghiasinya. Aku senang pada malam. Terutama pada malam-malam berbintang.

Kalau besok purnama, malam itu pasti malam yang bagus sekali untuk terbangun di tengah malam; lalu keluar rumah dan duduk-duduk menikmati angin dan kesunyian. Kurasa, di malam-malam tenang seperti itu banyak puisi yang lahir bagi para penyair; inspirasi bagi para seniman; kejernihan bagi para filsuf; dan barangkali jawaban bagi para pencari dan pendosa.

Aku sering terbangun di malam-malam seperti itu — bukan sebagai penyair atau filsuf; lebih sebagai pendosa, dan merasakan sensasi bebas yang sulit kurasakan di siang-siang yang panas dan lembab.

Malam tahu cara mendengarkan tanpa mencela. Langit tidak pernah menghakimi pikir yang sesat atau badan yang kotor. Keheningannya adalah telinga sabar yang menyerap semua sumpah serapahku, pikiran-pikiran kotorku, amarah dan ketakutanku. Saat semua manusia lain tidur, aku ditemani malam. Seperti malam ini. Malam mengosongkan aku.

Kau tahu, keheningan adalah sebuah suara, dan kita harus harus benar-benar kosong untuk mendengarkan suara itu. Suara itu mengalir lewat telinga menuju hati, menuju tangan-tangan yang menulis dan menjelma menjadi sebuah kata-kata.

Kau bisa dengar suara itu sekarang?

mungkin tidak,

mungkin besok iya.

Makassar. 06/05/20. 02.22 AM.

--

--