tentang manusia

askell
Jalan Pulang
Published in
1 min readOct 15, 2018

untukmu, jelita yang matanya tak lagi tersenyum padaku.
aku paham gelisahmu; apa yang terjadi
di dalam kepala ku;

ada binatang dalam diri ini, sayang.
yang begitu liar dan beringas;
terus merongrong moral dan idealku,
hingga lumpuh kaki ini untuk berdiri
dan aku dilahapnya perlahan.

kadang kurasa,
hewan lebih baik dari manusia;
potongan terkecil dari kehidupan,
dari ibu semesta, yang hidup sederhana
dan tanpa keluh.
sekadar hidup untuk hidup,
itu saja cukup.

tapi, aku, kau dan mereka..mana bisa semaunya
ada kesadaran yang menjagal manusia untuk hidup;
memompa pertanyan
tak habis-habisnya,
tak mampu terjawab,
hingga loyo kita jadinya.

berapa kali manusia menolak menjadi manusia?
malah jadi tuhan atau setan;
tunjuk kafir yang di sana atau di situ
menumpahkan darah dulu supaya mencecap surga

apa hal, sayang?

menjadi bebal dan lincah lebih baik, sayang
paling tidak, boleh kita mencinta dengan cara yang dangkal,
mungkin bukan cinta,
tapi apa perlu dan perduli bila bukan,
bila kepala begitu bebal dan hati begitu masai.

jadi, biarlah! biarlah kita menjadi mereka
tak perlu lagi berpusing, tak perlu lagi pertanyaan, bila itu maumu
tak ada lumpur, yah, semua tanah..semua tanah.
maka terkutuklah orang-orang
yang keluar dari lumpur,
dan memilih jadi santo tanpa gereja,
memalingkan wajah ke pada yang “indah dan baik”
walau dunia terlingkupi gelap-terang.

--

--