Tentang Penciptaan

askell
Jalan Pulang
Published in
3 min readApr 5, 2021
Photo by Birmingham Museums Trust on Unsplash

Saya belum banyak bikin apa-apa, walau kesini saya semakin sadar, semakin saya tak menghasilkan suatu karya, apapun itu, semakin besar beban di pundak ketika berjalan dan semakin sesak dada saya rasanya.

Untuk beberapa lama, saya menganggap kreativitas hanyalah janji-janji kosong yang tak menawarkan kepuasan batin dan tubuh. Semakin berat muatan hati dan pikiran, semakin besar dorongan untuk mencipta, atau mungkin melampiaskan?

Namun, ekspresi membutuhkan penguasaan, dan ini butuh waktu dan tekad, tapi yang paling penting mungkin adalah kesabaran dan keikhlasan. Ekspresi bisa menjadi candu, dan mereka yang larut dalam candu itu, pada titik tertentu akan memeras segenap dirinya untuk hancur dan lebur bersama proses ekspresi itu, entah dalam artian baik atau buruk. Barangkali, karena itu banyak seniman menembak kepalanya sendiri.

Melihat kembali ke belakang, memaknai ulang proses kreatif dan mengalami langsung, saya belajar kembali tentang arti sebuah penciptaan.

Belakangan ini, saya suka duduk-duduk di depan rumah, belajar untuk ndak ngapa-ngapain. Duduk saja, berjam-berjam sejak fajar sampai matahari naik di langit. Memperhatikan warna langit dan tekstur awan. Lalu membandingkannya dari hari ke hari.

Saya belajar itu dari Thoreau; ia selalu menyediakan satu kursi untuk keheningan, dan mengibaratkan kelembaman sebagai upaya manusia untuk tetap sadar sepanjang hari.

You must live in the present, launch yourself on every wave, find your eternity in each moment. Fools stand on their island of opportunities and look toward another land. There is no other land; there is no other life but this.

Sebelumnya, saya jarang sekali melihat awan dan langit, bahkan saat-saat saya pergi mendaki atau main-main ke alam sekalipun.

Terlalu banyak keterburuan dalam cara-cara saya mendekati hidup, dan segalanya ditimbang dengan untung-rugi semata. Proses kreatif menjadi sebatas upaya memenuhi permintaan pasar, dan produksi digenjot sedemikian rupa hingga pipi kempot dan kulit menempel di tulang.

Sering pada saat-saat tenang dan damai seperti itu, akan ada dorongan tak sadar dalam diri yang ingin menyeruak ke luar; ayo dong bikin sesuatu dari keindahan di atas itu, sapatau dapat banyak likes atau claps..

Dulu, saya tak pernah sadar atau mendengar, ada semacam suara seperti itu dalam diri. Mungkin karena terlalu banyak gerak dan grasah-grusuh, sehingga mencipta menjadi sebuah proses mekanis yang menghilangkan rasa. Proses mencipta tak lain dari mekanisme permintaan dan penawaran saja, sementara proses mengalami kenyataan benar-benar terputus.

Kata-kata puitis, indah, sublim, istilah-istilah yang sulit dimengerti…semuanya kering, cuma kata-kata kosong tak bersuara. Orang menjamur dalam kamar seminggu, mengunci semua pintu, tahu-tahu melahirkan syair-syair hebat dan megah tentang kehidupan..ah, bukankah hidup harus dialami langsung, manis dan boroknya?

Sekarang, suara-suara sayup itu lebih jelas terdengar, mungkin karena saya menyediakan ruang. Di saat-saat itu, saya jadi bisa berdialog; Belum bisa, saya masih belum kosong..belum bisa ikhlas ngalami.harus belajar lagi.

Keindahan, sesuatu yang diperas orang lewat usaha-usaha mencipta. Filsafat membedahnya dalam estetika, gerakan dan aliran seni sepanjang sejarah menubrukkan diri demi sebuah klaim tentang arti sebuah keindahan; orang-orang mencari keindahan, mengkonsepsinya, menerjemahkannya, merombak…padahal, ia ada di sana. Di mana-mana. Mungkin, lebih sering, perkara yang indah tak ada kaitannya dengan keindahan itu sendiri.

Mungkin, bila kehidupan adalah sebuah karya, maka sejatinya sang Maha Seniman adalah yang Maha Kreatif. Ia mencipta kehidupan seperti mencipta karya seni. Barangkali, proses penciptaan adalah juga proses mengalami. Semakin dalam seseorang mengalami, semakin hidup suatu karya. Ekspresi diri hanyalah upaya seseorang untuk menyalurkan energi penciptaan itu dalam sebuah bentuk atau medium tertentu, upaya untuk mengalami kekosongan atau kesunyataan, upaya untuk menyelaraskan diri pada Sang Maha Kreatif.

Semakin tinggi level ekspresi, semakin larut dan lebur orang di dalamnya. Ini beban berat, karena artinya orang menulis untuk menulis, membaca untuk membaca, dan mengalami hidup untuk hidup itu sendiri.

Tak ada air yang bisa memaksa benih tumbuh, begitu pula tak ada tanah yang cukup subur untuk menumbuhkan pohon dalam waktu semalam. Mungkin karena itu, proses penciptaan membutuhkan kesabaran, atau keikhlasan. Barangkali, mereka yang memilih jalan ini, harus belajar lebih dalam untuk mengalami.

Juga ikhlas mengalami, bahwa terkadang, ada cerita-cerita atau puisi-puisi yang memang tak akan pernah lahir dari tangan-tangannya; seperti anak hilang yang tak pernah lahir dari rahim kediriannya..

Makassar, 3/4/21

--

--