Teruntuk Orang yang Terlewatkan

askell
Jalan Pulang
Published in
3 min readMay 21, 2017
Photo by Andrew Neel on Unsplash

Mulanya, yang paling pelik dalam upaya memahami diri adalah jujur; kemudian menerima kejujuran itu. Barangkali buah kejujuran itu adalah rasa pahit atau busuk, apa pun bisa. Orang mesti menerima sesuatu yang “busuk dan pahit” itu sebagai bagian dari diri.

Kata para bijak, janji paling busuk adalah janji pada diri sendiri yang teringkari, dan bohong paling hina adalah bohong pada diri sendiri. Sayang, orang melulu melahap kebohongannya sendiri, ilusi diciptanya; semata untuk perasaan nyaman dan aman, yang semu dan sesaat. Kepalsuan yang memabukkan.

Bohong barangkali sebuah bentuk proteksi diri, dari segala yang gelap dan suram, apa pun itu. Mekanisme menghindari kenyataan dan hidup dalam khayal tak berbatas. Boleh jadi pembohong membohongi karena terlampau sering dibohongi, atau di masa lalu, pembohong ini menyisakan sakit yang belum sembuh. Mereka berjalan dalam sunyi menjauhi kerumunan, merasa diri tak patut dicinta, sampai di titik yang tak mampu lagi terbendung “sudah cukup,” kata mereka. Topeng dan dusta tak apa jadi wajah mereka, asal jiwa yang porak-poranda tertutupi, dan sakit terhindari.

Seorang pembohong haruslah pandai. Supaya orang tak tahu dustanya, dan yang paling utama agar dirinya sendiri tak tahu. Dari luar mereka akan terlihat kuat, garis wajahnya tegas dan kaku, dan jadilah mereka dusta itu sendiri. Hari demi hari.

Tatkala perban dibuka dan luka lama telah terobati, para pembohong ini belajar berjalan lagi. Menyusur jalan asing dan belum terlewati, menerka apa lagi yang menanti di sepanjang jalan dengan sikap hati-hati. Kadang, langkah diambil dengan setengah sadar, setengah mati, seringnya lagi mereka tak menemukan arti. Satu pegangan mereka, bagaimana mereka tetap berjalan aman dengan dalih “kebohongan” dengan apa dan siapa saja yang mereka temui di jalan.

Sepanjang jalan mereka temukan banyak “saung” untuk mengaso. Tempat berteduh sekaligus tempat mengobati luka lama yang biasanya akan kembali setelah lama berjalan. Di tempat ini mereka bisa menyandarkan diri, berhenti sejenak mengenang jauh langkah yang mereka ambil dan banyak orang yang mereka temui lantas harus berpisah.

Tapi jangan harap mereka menepi, tentu tidak, mereka terus jalan dengan awas melewati setiap saung di tepi jalan. Sesekali melirik sebelum hilang di ujung mata. Kebohongan telah jadi diri mereka, tak sadari dirinya dan ingkari keberadaan saung-saung ini di antara mereka dan dunia. Begitupun, mereka rindu untuk berbagi rasa, mereka ingin saling merengkuh, mereka butuh menyejukkan jiwa dan mereka perlu segera menyatu.

“Saung” adalah mereka yang terlewatkan. Mereka yang seharusnya disambangi dan dijaga, diupayakan, mereka adalah “sang jelita”. Mereka tebar senyum tulus pada para pembohong dengan harapan, merekalah tempat berlabuh para pembohong ini. Mereka adalah obat, dan para pembohong adalah luka yang tak sadar akan lukanya hingga menolak untuk diobati.

Demi waktu, maka berjalan teruslah pembohong ini, meninggalkan titik di ujung mata. Dia tanggalkan rasanya, dan tinggalkan senyum tulus yang bertengger di wajah “sang jelita”. “Sang jelita” tak lantas beranjak, kaki-kakinya terpaku di bumi, menunggu kalau-kalau para pembohong akan berbalik dan memeluknya, sekadar menoleh pun tak apa. Karena sang jelita tahu jalan para pembohong masih panjang, di sepanjang jalan akan banyak saung-saung yang serupa, yang juga menawarkan hal serupa.

Teruntuk kau “saung-saung” yang terlewatkan, perlu kau tahu kau taklah terlupakan, para pembohong ini telah menjadi kebohongan itu sendiri dan tak menyadari dirinya serta keberadaan dirimu di antara mereka dan dunia. Mereka adalah luka yang berjalan di atas bumi, yang sering mendambamu lantas takut terhadapmu, yang sering pandang kau dalam jarak aman mereka, agar supaya sorot mata dan jiwamu tak meluluh-lantahkan tembok kebohongan dan menguliti kulit mereka. Karena kebohongan adalah tameng mereka.

Tapi tenang saja jelita, mereka tak jahat. Mereka hanya belajar berkata tidak dan berkata ya pada diri mereka sendiri

Originally published at nefelibataxx.wordpress.com on May 21, 2017.

--

--