Pendapatan Menurun Drastis, Pelaku Industri Harapkan Bisnis Kembali Normal di Awal September

Tika Widyaningtyas
SurveySensum
Published in
4 min readMay 19, 2020

Jakarta, 20 April 2020 — Sebulan terakhir, 74 persen perusahaan di Indonesia mengatakan bisnisnya sangat terganggu sejak merebaknya COVID-19 di Indonesia. Sekitar 62 persen di antaranya mengakui pendapatan perusahaannya menurun drastis. Mereka berharap situasi ini akan pulih setidaknya pada awal bulan September 2020. Sentimen tersebut tercermin pada hasil riset SurveySensum COVID-19 Industry Sentiment Tracker pada 27 Maret hingga 6 April 2020.

“Sentimen pelaku industri memang lebih skeptis dibanding konsumen. Sementara konsumen berharap COVID-19 tuntas di akhir Mei, para pebisnis memperkirakan situasi ini akan kembali normal setidaknya 5 bulan dari sekarang, yaitu di awal bulan September,” ungkap Rajiv Lamba, CEO SurveySensum & NeuroSensum di Jakarta, 20 April 2020.

Survei yang dilakukan terhadap pelaku industri lintas sektor tersebut menunjukkan bahwa penurunan pendapatan dialami oleh perusahaan di sektor apapun. Setidaknya 54 persen perusahaan FMCG pun turut mengalami penurunan pendapatan meski tak sebesar sektor lain.

Pangkas Anggaran, Penerimaan Tenaga Baru Dihentikan

Rajiv menjelaskan para pelaku industri telah melakukan berbagai strategi untuk melakukan penghematan, terutama dengan memangkas sejumlah komponen anggaran perusahaan. Salah satu komponen anggaran yang dipangkas adalah sumber daya manusia.

Riset yang dilakukan dengan mewawancarai CEO, VP, direktur, hingga manajer ini mengungkapkan bahwa 56 persen perusahaan berhenti merekrut karyawan baru hingga waktu yang belum ditentukan. Bahkan 10 persen perusahaan terpaksa melakukan pengurangan karyawan untuk mengurangi beban operasional perusahaan. “Meski demikian, ada 34 persen perusahaan yang masih menerima tenaga baru, namun terbatas pada posisi-posisi penting saja,” tutur Rajiv.

Selain sumber daya manusia, perusahaan pun memangkas anggaran promosi dan periklanan. Sebanyak 55 persen perusahaan memotong anggaran promosi Below The Line (BTL) termasuk pemasangan billboards dan iklan-iklan di luar ruangan. Pemotongan anggaran promosi Above The Line (ATL) termasuk iklan televisi dan radio juga dilakukan oleh 33 persen responden bisnis.

Tak berhenti di pemotongan anggaran iklan, 42 persen perusahaan menunda berbagai kegiatan aktivasi dan kampanye penjualan produk-produk mereka. Sebagai efek domino, anggaran riset pemasaran pun jadi sasaran penghematan 24 persen perusahaan.

Transaksi Digital, Sebuah Normal yang Baru

Rajiv memaparkan, “Pemangkasan anggaran di berbagai pos periklanan dan pemasaran tidak hanya untuk penghematan tetapi juga perubahan strategi perusahaan. Dengan situasi seperti sekarang di mana konsumen mengurangi aktifitas di luar rumah, para pelaku industri harus lebih fokus pada eksistensi dan promosi di dunia digital. Transaksi di dunia digital baik melalui e-commerce, media sosial, maupun layanan pesan instan akan menjadi normal yang baru bagi industri di hampir semua sektor.”

Untuk menghadapi normal baru ini, SurveySensum COVID-19 Industry Sentiment Tracker menangkap sejumlah strategi yang dilancarkan para pelaku industri di berbagai sektor. Strategi paling utama adalah mengoptimalkan fokus pada penjualan di e-commerce. Hal ini telah dilakukan oleh 59 persen perusahaan responden SurveySensum.

Guna meningkatkan penjualan di berbagai platform digital, 51 persen perusahaan tak canggung menaikkan anggaran promosi di media digital. Selain itu, 28 persen perusahaan mengubah rantai pasok mereka supaya produk mereka dapat menjangkau konsumen secara langsung hingga di pintu rumah konsumen.

Meski sejumlah perusahaan memangkas anggaran BTL, 20 persen pelaku industri melakukan sebaliknya. Mereka menaikkan anggaran beriklan di TV. “Pertimbangannya, saat ini banyak konsumen berdiam di rumah. Ketika banyak waktu luang di rumah, mereka akan lebih sering menonton TV. Para pemilik merek melihat hal tersebut sebagai sebuah kesempatan untuk hadir mengisi ruang keluarga konsumennya,” papar Rajiv.

Dunia digital tidak hanya dimanfaatkan para pelaku industri untuk pemasaran tetapi juga untuk menjaga keamanan karyawan. Seperti yang diungkapkan responden bisnis SurveySensum dari berbagai departemen seperti pemasaran, manajemen, media, hingga keuangan ini mencatat 77 persen perusahaan telah memberlakukan aturan Work from Home atau Kerja di Rumah.

Sekitar 51 perusahaan juga menerapkan pembagian tim kerja dan shift untuk mengurangi banyaknya karyawan di kantor. “Strategi pembagian tim seperti ini biasanya dilakukan oleh industri atau divisi yang memang tidak memungkinkan Working from Home,” tambah Rajiv, “Untuk mendukung iklim digital di dalam perusahaan sekaligus memfasilitasi penerapan Working from Home, 46 persen responden bisnis SurveySensum meningkatkan infrastruktir digital perusahaan.”

Pelaku Usaha Diharapkan Lebih Berempati dan Tidak Serakah

Di tengah situasi yang tidak menguntungkan bagi sebagian besar konsumen, pelaku usaha diharapkan lebih berhati-hati dalam memasarkan produk. Di satu sisi, pelaku usaha memang harus tetap mempertahankan konsistensi identitas merek, namun di sisi lain konsumen tidak ingin para pemilik merek mengeksploitasi COVID-19 untuk mempromosikan produknya.

“Saat ini kita semua khawatir, cemas, sehingga para pelaku usaha diharapkan lebih menunjukkan simpati dan empatinya. Konsumen memahami bahwa pelaku usaha harus menjual produknya ke mereka, namun sebaiknya dengan cara yang lebih halus. Tidak bisa serta merta mengatakan ‘Anda harus minum ini supaya tidak tertular COVID-19’.”

Rajiv menuturkan,“Tunjukkan bahwa merek Anda ikut berkontribusi positif melawan COVID-19 misalnya dengan kegiatan sosial. Bisa juga dengan ikut mengedukasi konsumen bagaimana beradaptasi dengan situasi saat ini. Buktikan bahwa merek Anda ikut memperbaiki situasi dari sudut pandang yang lebih optimistis.”

Kegiatan aktivasi dengan tujuan mendukung masyarakat, mengedukasi konsumen mengenai kesehatan, higienitas dan kebersihan memang menjadi sangat penting. Untuk itulah pelaku usaha harus memahami perubahan perilaku konsumen secara terus-menerus. Dengan demikian para pelaku usaha dapat lebih cermat mengidentifikasi mana sajakah kanal pemasaran yang dapat memberikan ROI (Return on Investment) tinggi.

Lebih lanjut Rajiv menekankan kepada pelaku usaha untuk semakin mengoptimalkan keberadaan produknya baik di pasar online maupun offline. Hal ini terutama berlaku bagi produsen kebutuhan pokok, kesehatan dan higienitas yang masih akan terus menjadi incaran konsumen.

Fokus meningkatkan pertumbuhan penjualan online mutlak harus dilakukan mengingat konsumen pun mulai terbuka dengan pilihan berbelanja online. Oleh karena itu pelaku usaha perlu melakukan optimalisasi UI/UX dari aplikasi maupun webseite e-commerce.

--

--