Bukan akhir dari Amerika

Tabloid Kontan
Tabloid Kontan
Published in
2 min readNov 14, 2016
Kemenangan Presiden Trump di luar dugaan pasar

Oleh: Thomas Hadiwinata

America, we hardly knew ye. Certainly i misjudged the country. Demikian ekspresi kekecewaan yang dicuitkan ekonom Paul Krugman via akun Twitter pribadinya, Rabu pekan lalu.

Melihat saat tweet itu muncul, kita bisa langsung menebak penyebab ekonom kondang itu merasa asing dengan negerinya, Amerika Serikat (AS). Ya, Krugman merasa kecewa sekaligus kaget dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS.

Krugman, seperti banyak analis politik, ekonom, aktivis, dan tentu politisi di Negeri Uwak Sam, menilai Trump sungguh figur yang tak polically incorrect sebagai presiden. Sepanjang hidupnya, Trump hanya berkutat di urusan bisnis. Sudah begitu, kiprah Trump sebagai pebisnis pun tak cemerlang. Empat perusahaannya pernah menyandang status bankrut.

Kehidupan pribadi Trump yang pernah tampil sebagai bintang sebuah reality show televisi itu juga jauh dari persyaratan pemimpin ideal. Lebih dari sekadar kawin cerai, Trump malah pernah dituduh melecehkan wanita.

Di masa kampanye, alih-alih mengubah penampilannya menjadi lebih jaim, Trump kian ugal-ugalan. Pernyataan kontroversial kerap ia lontarkan. Misal, ia pernah ingin melarang warga Muslim mengunjungi AS. Trump juga menyatakan perlunya tembok pemisah antara AS dan Meksiko, agar tenaga kerja dari Meksiko tak membanjiri negerinya.

Lalu, mengapa banyak warga AS tetap memilih Trump? Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah harapan akan perbaikan ekonomi. Kendati kerap ngomong ngawur, Trump mengusung kampanye yang rasional bagi negeri yang tengah mengalami masa pemulihan setelah krisis finansial 2008.

Dengan mengusung kampanye berjuluk Make America Great Again, Trump mengiming-imingi perbaikan kesejahteraan. Janji Trump ini yang dibeli oleh penduduk AS yang berpenghasilan rendah, dan mereka yang tinggal di kawasan pedesaan. Dua kelompok itu yang memberikan Trump keunggulan mutlak.

Trump juga lebih mudah melenggang karena sosok pesaingnya. Pengamat ekonomi Christianto Wibisono yang lama bermukim di Washington, menyebut Hillary Clinton bukanlah sosok yang menarik bagi warga AS.

Dengan statusnya sebagai istri mantan presiden, Hillary sulit menghilangkan cap sebagai bagian dari status quo. Bisa jadi, ini yang menyebabkan ia juga gagal mengungguli Trump di kelompok pemilih berusia muda.

Terpilihnya Trump sebagai Presiden AS ke-45 jelas mematahkan pandangan tradisional tentang pemilih AS. Sebelum Rabu kemarin, banyak yang percaya, masyarakat di sana akan memprioritaskan berbagai hal yang politically correct ketimbang urusan praktis.

Situasi ekonomi AS yang sedang tidak tentu arah, sedikit banyak, punya pengaruh bagi perubahan pertimbangan pemilih. Yang masih belum berubah dari gaya berdemokrasi AS adalah cara mereka menyikapi hasil pemilihan.

Setelah hasil pemilihan sementara memperlihatkan Trump melenggang ke Gedung Putih, pendukung Hillary jelas kecewa. Bahkan, ada pula yang menggelar aksi unjukrasa. Namun tak muncul ketegangan karena para baik Trump maupun Hillary sama-sama mengakui hasil pemilihan.

Ini sikap yang masih harus dipelajari oleh masyarakat kita, tak terkecuali para elite. Selain menunjukkan kebesaran hati, sikap menerima hasil itu juga sesuatu yang rasional. Kembali mengutip cuitan Krugman: It’s not the end of the story.

Sumber: Tajuk Tabloid Kontan, Link: http://analisis.kontan.co.id/news/bukan-akhir-dari-amerika?page=1

--

--

Tabloid Kontan
Tabloid Kontan

Akun resmi Tabloid Kontan, mengulas bisnis dan investasi lebih mendalam