Agile via Scrum

Filipus Tian
TahuBulat
Published in
2 min readFeb 2, 2017
source: www.google.com

Beberapa waktu lalu saya dengan beberapa teman berdiskusi, tidak lain topiknya seputar Scrum. Satu topik yang kembali muncul adalah mengembangkan bisnis dengan Agile.

Saya ingat sekali sebelumnya ada seorang entrepreneur muda — CEO, yang bertanya kepada saya.

“Bro, apa hubungannya Scrum dengan bisnis sih?”

“Loe tau Agile gak?”, tanya saya.

“Sempet baca sih, tapi belum begitu paham”

Gagal paham ini agak menakutkan buat saya, karena ketika bicara Bisnis dan Agile, kesan yang timbul seperti sesuatu yang sangat susah untuk dicapai. Setidaknya itu yang saya tangkap dari pembicaraan kami saat itu.

Salah seorang teman lain pernah berkata, “Di Indonesia mah susah mau pake Scrum, budaya kerjanya beda dengan barat. Gimana mau Agile”.

Menarik. Saya beberapa kali saya nye-kram (baca: pakai scrum) dengan orang barat memang beda dengan orang Indonesia. Asumsi sementara, saya setuju budaya kerja yang berbeda bisa menjadi faktor kegagalan. Tapi kita bahas nanti saja — kalau ilmu saya sudah sampe sana, untuk pengenalan bisa baca artikel dibawah ini.

“Bro, itu webnya agile cuma gitu?”

“Lu buka agilemanifesto.org bukan?”

“Iya, itu web benerannya?”

“Iya, emang cuma gitu webnya”

“Kok jelek amat ya bro hahaha”

Kesan itu juga yang pertama saya dapatkan saat buka agilemanifesto.org pertama kali. Setelah baca, baru saya tambah bingung tapi setelah pelajari baru ngeh. I often think about the purpose of Agile and I believe the purpose is the condition. What kind of condition? Take a look of the agile value.

Alternatif dari waterfall.

Lalu jika Agile adalah kondisi, tujuan yang ingin dicapai maka Scrum adalah kendaraan yang digunakan. Make sense?

Jika kita ingin ke Jakarta, banyak sekali transportasi yang bisa dipakai. Bahkan 1 jenis transportasi saja bisa menawarkan berbagai keunggulan. Contoh pesawat, pengalaman tiap orang bisa berbeda dalam menggunakan 1 maskapai, ada yang bilang memuaskan, ada yang kecewa. Kepuasan dan kekecewaan adalah sudut pandang tersendiri.

Banyak sekali kendaraan yang bisa dipakai untuk menuju Agile. Scrum yang paling populer karena sifat simplicity dan flexibility, but remember Scrum is easy to learn, but difficult to master, many people said that.

Singkatnya jika perusahaan anda — mau tidak mau, dituntut untuk Agile maka anda tidak bisa mengharapkan menggunakan cara yang sama seperti dulu.

Baru-baru ini saya baca sebuah pertanyaan: Is Agile a noun or adjective?

Nah loh.

--

--

Filipus Tian
TahuBulat

Co-founder Kreasi X. Trainer and coach Adaptiva.co.id Member of Yayasan Indonesia Tangkas Beradaptasi