Berubah Iklimnya Bingung Petaninya

Elis Siti Toyibah
Tanijoy
Published in
3 min readJan 3, 2018

Perubahan iklim adalah salah satu fenomena alam dimana terjadi perubahan nilai unsur-unsur iklim baik secara alamiah maupun yang dipercepat akibat aktivitas manusia di bumi (Nurdin, 2011).

Topik mengenai perubahan iklim masih kalah menarik jika dibandingkan dengan topik yang membicarakan kehidupan seorang publik figur yang tengah naik daun atau tengah dirundung isu panas. Padahal perubahan iklim bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Ada fakta yang menunjukan bahwa banyak perubahan terjadi secara alamiah dan sebagai akibat dari aktivitas manusia di bumi. Secara singkat iklim ini dapat dikatakan sebagai rata-rata cuaca. Nilai rata-rata dari kondisi unsur-unsur cuaca pada jangka panjang merupakan gambaran dari kondisi iklim dalam satu daerah. Jika ada perubahan pada nilai rata-rata tersebut apalagi jika dalam jumlah besar, maka dapat dikatakan sebagai fenomena perubahan iklim.

Salah satu faktanya adalah keteraturan antara musim hujan dan musim kemarau di Indonesia sekarang sudah tidak bisa diprediksi secara akurat. Pada masa musim kemarau yaitu antara bulan maret sampai september, ternyata terjadi hujan lebat beberapa hari berturut-turu sehingga mengakibatkan banjir besar di beberapa wilayah. Hal tersebut terjadi pada tahun 2013 di Kecamatan Sidareja, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Sebanyak 270 warga dari empat desa, terpaksa harus mengungsi karena rumah mereka terendam banjir. Kerugian secara materi seperti pada peristiwa di atas, bahkan adanya korban jiwa dapat terjadi sebagai dampak negatif dari perubahan iklim.

Selain ketidak teraturan musim hujan dan kemarau, peningkatan suhu yang terus terjadi juga merupakan salah satu fenomena lainnya dari perubahan iklim. Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan 2016 sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Suhu atmosfer Bumi rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode sebelum Revolusi Industri 1850–1899. Itu memicu anomali atau ketidak normalan iklim di dunia, termasuk Indonesia (Sumber: kompas.com).

Fenomena perubahan iklim dipercepat oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih guna lahan. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous Oksida (N2O). Gas-gas tersebut bersifat seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas sehingga terjadi peningkatan suhu udara di bumi. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah pemanasan global.

Berbicara mengenai perubahan iklim serta dampaknya, Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dinas Pertanian dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang sangat serius terhadap sektor pertanian. Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional karena berpengaruh pada berbagai aspek, diantaranya aspek sumberdaya, infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani. Pengaruh tersebut dibedakan atas dua indikator, yaitu kerentanan dan dampak. Secara harfiah, kerentanan (vulnerable) terhadap perubahan iklim adalah kondisi yang mengurangi kemampuan (manusia, tanaman, dan ternak) dalam menjalankan fungsi perkembangan, pertumbuhan dan produksi serta reproduksi secara optimal akibat adanya perubahan iklim. Sedangkan dampak adalah gangguan atau kondisi yang menimbulkan adanya kerugian maupun keuntungan baik secara fisik, sosial serta ekonomi yang disebabkan oleh peristiwa perubahan iklim.

Kesejahteraan petani yang terpengaruh oleh perubahan iklim dapat dilihat dari adanya penurunan pada pendapatan petani. Jika pada zaman dahulu petani di Pulau Jawa masih bisa menggunakan sistem Pranata Mangsa (ketentuan musim atau semacam penanggalan yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian, khususnya untuk kepentingan bercocok tanam atau penangkapan ikan), kini sistem tersebut sudah tidak relevan lagi untuk digunakan akibat anomali cuaca. Sehingga pendapatan petani menjadi terpengaruh oleh perubahan iklim melalui penurunan produktivitas tanaman. Penurunan produktivitas tersebut diakibatkan oleh penurunan areal yang dapat diolah sebagai akibat dari kekeringan maupun kebanjiran. Hal tersebut menyebabkan penurunan efektivitas penyerapan hara serta peningkatan penyebaran hama dan penyakit. Adanya penurunan efektivitas dan peningkatan jumlah hama penyakit akan semakin meningkatkan jumlah biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani sehingga berpengaruh pada penurunan pendapatan petani yang terjadi secara berkelanjutan, bahkan bisa mengakibatkan gagal panen.

Adanya sekolah lapang iklim (SLI) maupun penyuluhan atau pemberdayaan kepada petani dapat menjadi upaya positif untuk meningkatkan daya adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Sehingga petani tak lagi bingung menghadapi perubahan iklim dan tetap bisa bercocok tanam untuk meningkatkan kesejahteraannya.

--

--

Elis Siti Toyibah
Tanijoy
Writer for

Professional Storyteller, Ventriloquist, Real mom