Simak Cerita Dibalik Sayur yang Kamu Makan

Elis Siti Toyibah
Tanijoy
Published in
3 min readJan 16, 2018

“Ada peluh yang bercucuran, ada kerja keras yang tak henti dibalik makanan yang setiap hari kita nikmati.”

Pernahkah sekali saja saat berbelanja sayur mayur terlintas dalam pikiran bahwa dibalik sayur yang kita beli, ada cerita perjalanan yang panjang. Sayur itu tidak serta merta tumbuh dalam waktu sehari seperti sebuah sulap. Sayur itu tidak serta merta berjalan sendiri hingga sampai ke tangan para konsumen. Ada perjuangan yang membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang tak sedikit. Semua bermula dari langkah seorang petani.

Desa Sukawangi yang berada di wilayah pegunungan Kabupaten Bogor, didominasi oleh udara yang sejuk serta lahan pertanian yang terbentang luas. Setiap penduduk yang ada di sana hanya memiliki sedikit pilihan untuk mempertahankan hidupnya, yaitu dengan bertani, berdagang atau bekerja serabutan. Sebagian besar memilih untuk bertani di lahannya yang sempit, atau bekerja sebagai buruh tani di lahan milik orang.

Dokumentasi Tanijoy: Mang Majid saat memanen sawi putih

Mang Majid begitulah biasanya orang-orang memanggil namanya. Sudah puluhan tahun menjalani profesinya sebagai seorang petani. Tak terhitung jumlahnya jenis sayuran yang pernah beliau tanam. Semuanya beliau coba dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Meski pada kenyataannya hasil yang beliau peroleh tidak jauh berbeda.

Banyak petani di Desa Sukawangi lebih memilih untuk meminjam modal pada tengkulak. Hal ini akan membuat mereka semakin terjerat hutang karena biasanya hasil panen akan dibeli dengan harga yang sangat murah oleh para tengkulak tersebut. Lain halnya dengan Mang Majid, disaat petani lainnya beramai-ramai meminjam modal ke tengkulak, beliau lebih memilih untuk bekerja sebagai buruh tani jika belum punya modal. Hasil yang didapat saat menjadi buruh tani sebagian dikumpulkan oleh beliau untuk modal menanam di lahan miliknya sendiri.

Pengalaman dan kondisi alam menjadi pegangan bagi Mang Majid dalam menjalani perannya sebagai seorang petani. Ilmu pertanian melalui pendidikan maupun penyuluhan sama sekali belum pernah beliau dapatkan. Pada saat tanamannya diserang hama atau penyakit Mang Majid lebih sering pasrah dan tidak bertindak apa-apa. Penggunaan pupuk juga hanya sesekali saja disaat ada uang untuk membeli, itupun penggunaannya memakai dosis yang beliau kira-kira sendiri. Hasil panen sayur dari segenap usahanya pada saat menanam dan merawat selama berbulan-bulan dari pagi hingga petang menjelang, biasanya beliau jual pada tengkulak dengan harga ala kadarnya. Uang yang beliau peroleh hanya cukup untuk memperpanjang nafas. Tak jarang Mang Majid harus berhutang pada tetangga maupun kerabatnya untuk menutupi biaya kebutuhan hidup beliau beserta istri dan anak-anaknya disaat masa panen belum tiba. Peribahasa gali lubang tutup lubang sangat tepat untuk digunakan dalam menggambarkan hidup dari seorang petani seperti Mang majid.

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk masa depannya. Begitu juga dengan Mang Majid. Usianya yang tak lagi muda dan telah mencapai kepala lima, tidak membuat beliau gengsi untuk belajar. Saat ini Mang Majid sudah tergabung menjadi salah satu petani binaan Tanijoy, sebuah Usaha Sosial yang mengedepankan kesejahteraan petani sebagai tujuan utamanya. Kehadiran Field Manager atau manajer lapang Tanijoy di Desa Sukawangi membuat beliau bisa belajar banyak hal mengenai ilmu pertanian. Beliau menyadari bahwa ilmu yang didapat dari pengalaman masih belum cukup untuk mendukung kegiatan pertanian yang digelutinya. Sehingga beliau sangat terbuka untuk bertukar pikiran, berbagi ilmu serta berkolaborasi bersama Tanijoy dalam mewujudkan visi menyejahterakan petani terutama di Desa Sukawangi.

--

--

Elis Siti Toyibah
Tanijoy
Writer for

Professional Storyteller, Ventriloquist, Real mom