Gangguan Psikologis Anak di Daerah Konflik
(Oleh: Nurdin Hamzah Hidayat*)
Indonesia tidak ramah anak. Hal ini dipicu oleh banyaknya konflik yang telah mengganggu perkembangan psikologis anak. Kita telah mengorbankan masa kecil mereka dengan memperbanyak konflik demi kepentingan corporate.
Dapat kita lihat dalam catatan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tercatat sebanyak 659 konflik terjadi sepanjang tahun 2017. Klasifikasi konflik agraria sepanjang tahun 2017 sebagai berikut: antara warga dengan swasta sebanyak 289 konflik, warga dan pemerintah 140 konflik, antarwarga 112 konflik, warga dan BUMN 55 konflik, warga dan aparat 28 konflik, pemerintah dan swasta 14 konflik, antarswasta 13 konflik, antarpemerintah 9 konflik. Pelaku kekerasan dalam konflik agraria sendiri adalah: polisi 21 kali, TNI 11 kali, preman 15 kali.
Meningkatnya kekacauan yang disertai kekerasan di berbagai daerah di Indonesia saat ini merupakan indikasi bahwa kekerasan tidak hanya terbatas di dalam rumah tangga saja, namun sudah menyasar ke kelompok-kelompok masyarakat yang bertikai di wilayah bersangkutan.
Kekacauan itu juga telah menimbulkan banyak korban yang merupakan orangtua bagi anak-anak, dengan bentuk: kriminalisasi sebanyak 369 kali, terdiri dari 351 laki-laki dan 18 perempuan, kemudian dianiaya sebanyak 224 kasus, terdiri dari 170 laki-laki dan 54 perempuan, lalu tertembak sebanyak 6 orang laki-laki, dan tewas sebanyak 13 orang laki-laki. Selain telah melanggar Hak Azasi Manusia, hal ini juga telah melanggar Hak Azasi Petani (HAP).
Dalam situasi yang menimbulkan frustasi seperti kesulitan ekonomi, rasa khawatir mengenai pekerjaan dan kehidupan ke depan, hingga seringnya kekerasan ditampilkan. Kekerasan yang ditampilkan itu dapat memberikan dampak akut atau kronik bagi tumbuh kembang anak, terhadap keluarga dan masyarakat.
Secara psikologis, ada dua dampak besar yang disoroti oleh Weibel:
- Pertama, kekerasan menjadi sesuatu yang normal. Dampak ini akan terlihat jelas ketika anak-anak tersebut mulai beranjak dewasa. Di mana beberapa anak akan lebih berani mengambil risiko akibat kehilangan batas-batas keselamatan. Ketika kekerasan sudah menjadi sesuatu yang lumrah, anak-anak akan cenderung mereproduksi kekerasan itu dalam kehidupan sehari-hari.
- Kedua, anak-anak yang hidup di tengah konflik berkemungkinan akan menanam rasa benci pada pihak yang berlawanan dengan orang tuanya. Timbulnya rasa benci berlebihan inilah yang memungkinkan adanya reproduksi kekerasan yang akan dilakukan anak itu ketika dewasa. Bisa saja dengan melakukan perlawanan atau meletakkan kebencian mendasar.
Kemudian, kemungkinan adanya traumatik dan rasa takut berlebihan pada aparat, pemerintah, dan lingkungan sekitarnya, yang tentu mengakibatkan tidak ada rasa berani untuk berinteraksi dan kehilangan kemampuan komunikasi untuk berinteraksi secara normal seperti anak-anak di luar daerah konflik.
Perubahan situasi dari biasanya anak-anak bisa bermain dan pergi bersekolah yang berubah menjadi ketegangan dan keterbatasan menyebabkan perubahan psikologis yang signifikan terhadap anak di wilayah konflik. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal sangat dipengaruhi oleh peran serta orang tua, guru, pendidik, dan lingkungan sekitarnya.
Jerit tangis perempuan atau ibu dari si anak akan membuat mereka menjadi korban akut seumur hidup di tengah konflik. Kebutuhan anak yaitu pemberian asuh, asih, dan asah akan membuat mereka menjadi sumber daya yang potensial.
Dengan demikian perlulah kiranya aparat, pemerintah, atau swasta mencermati hal ini agar tidak turut serta memperpanjang penderitaan dan kekacauan psikis anak di daerah konflik agraria.
Melakukan tinjauan sebelum mengambil kesepakatan atau tindakan adalah bentuk kedewasaan pihak-pihak yang merasa memiliki kepentingan, dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat atau warga di daerah yang memiliki harapan pada anak mereka untuk hidup damai .
Upaya pemerintah daerah sangat diperlukan dalam membuat rasa aman dan nyaman pada masyarakat daerah konflik dengan mencanangkan program yang dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara fisik maupun secara psikis. Keterlibatan pemerintah daerah melalui dinas terkait diperlukan selain peran orang tua, guru, atau lingkungan untuk memberikan rasa aman dan tidak melibatkan secara aktif pada situasi konflik yang berlangsung.
Selain itu, peran Organisasi Masyarakat (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO), dan Mahasiswa yang melibatkan diri dalam konflik tidak serta merta hanya membantu masyarakat untuk memenangkan sengketa saja, namun mulai memikirkan dampak yang terjadi pada anak, serta melakukan pemberdayaan yang aktif kepada anak-anak dengan memberikan kecukupan perhatian, ruang bermain, dan suasana aman.
Setidaknya kesadaran segala pihak sangat diperlukan. Kita tidak mungkin meniadakan kesempatan hidup yang nyaman untuk anak-anak, namun turut serta menjaga kesempatan dan kebebasan bermain dan belajar mereka.
Sekiranya, konflik yang masih berlangsung hendaknya tidak lagi mendahulukan gesekan fisik dan teror, namun melakukan mediasi yang dimediatori oleh pemerintah. Bukan malah menghadapkan masyarakat dengan aparat, atau masyarakat dengan swasta, yang mempergunakan preman untuk melakukan tindakan kekerasan yang tidak ramah pada memori anak.
Perlu kita sadari kembali bahwa anak-anak adalah harapan bangsa ke depan. Mereka mempunyai tanah dan bangsa ini, merekalah yang akan menjadi kekayaan alam tanah air ini. Kejernihan berpikir dan terlepas dari ketakutan serta kebencian berlebihan adalah tugas bagi kita sebagai pelaku dan orangtua mereka.
(*Penulis adalah pendiri komunitas literasi Aksara Berkaki, dan alumni Indef School Political Of Economy, ISPE-INDEF.)