Menyapa Rezim Pembangunan(isme)
Oleh: Nurdin Hamzah Hidayat
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dikuras pikiran dan perhatiannya oleh isu sektoral yang berbau politik-agama hingga keseksian Alexis yang baru saja ditutup oleh gubernur DKI Jakarta baru-baru ini.
Begitu pula dengan arah media yang menghanyutkan kita ke dalam isu yang tidak membangun pada zaman rezim pembangunanisme ini.
Kita mengetahui bahwa hampir di setiap rezim memiliki program unggulan dan pencapaian untuk mencapai kepuasaan pemilih (publik).
Begitu pula Jokowi-JK dengan “Nawacita”-nya yang di dalam pencapaian itu kita dapat melihat dengan mata telanjang bahwa pemerintahan hari ini membangkitkan mimpi-mimpi lama yang terpendam di daerah-daerah tertinggal.
Namun, kita seharusnya juga tersadarkan oleh utang luar negeri antara kesepakatan bilateral itu yang menimbun harapan jargon “Revolusi Mental” itu sendiri.
Dalam era pembangunan, infrastruktur “kerja cepat” menjadi sebuah kekuatan. Modal untuk menggenjot perkembangan ekonomi rakyat di daerah melalui jalur bebas hambatan, seperti: tol, kereta cepat, dan mimpi yang dikhayalkan yakni tol laut.
Di samping itu tentu ada alasan politis di belakang semua itu mengingat kesempatan memimpin hanya dua periode saja; itu pun jika terpilih dalam pemilihan yang akan datang.
Kita dapat melihat “bahwa” — seakan-akan — modal besar dari akad utang luar negeri menjadi hal lumrah bagi pemerintah.
Pemerintah hari ini mengekspansi diri dengan alasan-alasan “memperluas kesempatan kerja”, “memperbesar pemasukan devisa negara melalui Tax Amnesty” — yang secara undang-undang telah diatur secara terstruktur.
Dengan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, menjadikan kita sebagai masyarakat pelaku ekonomi untuk lebih rasional. Kemudahan infrastuktur hanya menjembatani para pemilik modal besar hingga menyingkirkan para pemodal kecil. Kita seakan menemui persaingan baru yang bisa dikatakan “tidak seimbang” itu.
Hari ini kita menemui cara pikir tidak rasional yang mengarahkan kita untuk terus menjunjung kesejahteraan — “bukan” kebahagiaan.
Pemerataan pembangunan tidak melihat kekuatan otoritarian daerah, tidak pula melihat kemampuan sumber daya manusia. Hanya mengarah pada sumber daya alam untuk dieksploitasi habis-habisan.
Hal ini terang, bahwa elit politik gagal paham bahwa “amanat menyejahterakan masyakat hanya dengan memanfaatkan kekayaan alam secukupnya” — Elit tidak melihat risiko-risiko bakal terjadinya bentrokan horizontal antara masyarakat bermodal dengan masyarakat tidak bermodal, yang sama-sama berada di zona persaingan baru.
Mestinya sebagai negara yang mempunyai kekayaan alam kita tidak perlu terlalu condong pada pemerataan pembangunan saja.
Alangkah baiknya kita menguatkan sektor-sektor industri kecil yang nyata belum terakomodasi dengan baik. Hal ini agar ada kesiapan untuk bertahan melawan kehendak investasi asing, memutus mata rantai distribusi hasil tani, serta memperkuat koperasi kerakyatan.
Indonesia harus segera menyadari dan bergerak lebih cepat.
Apakah ini menjadi peran pemerintah saja?
Tidak! Ini adalah peran individu-individu yang sadar bahwa negeri agraria ini harus menjadi negeri makmur bukan hanya subur, dan bisa bersaing dengan merobohkan dinding pemilik modal, serta ikut serta dalam mempertinggi peradaban.
Politik perekonomian menjadi poros “pembangunan sosial” bukan “pembangunan insfratruktur” saja.
***
(*) Nurdin Hamzah Hidayat saat ini aktif sebagai Anggota Gerakan Mahasiswa Petani SPI.
Ikuti tulisan lain dari Hamzah dalam blog Selebaran Rakyat.