Michael, Fatimah, dan Sepotong Ikan Asin

(Ozi Gumetra)

Tanpa Nama
Tanpa Nama
4 min readJun 19, 2018

--

Arsip tanpanama.id 18 November 2017

Ozi dan kucing (Buk Kos)nya

Setahun berlalu. Kucing saya Michael (Bukan Michael Jarda pemred yang sudah tidak revolusioner itu :D) sepertinya sudah bisa move on dari Madonna (Bukan Madonna yang mbikin pemred die hard). Dia sekarang sudah mulai membuka hati dengan kucing-kucing baru. Perjalanan hidup memang tidak ada yang tahu. Siapa sangka, Michael yang dulu seleranya kucing-kucing yang sok keminggrisan sekarang pacaran dengan kucing kampung milik tetangga saya.

Beberapa bulan sejak putus dengan Madonna hidup Michael sepertinya memang seakan-akan sudah hancur. Dia jarang makan. Badannya kurus dan bulu-bulu di badannya sudah mulai rontok. Kasihan sekali saya melihat Michael waktu itu.

Saya sudah coba membawa permasalahan ini ke pengadilan kucing. Tapi tak ada solusi di sana. Michael tetap saja menjalani hidup dengan luka di dadanya. Tapi untunglah. Ada sosok Fatimah, kucing kampung berwarna kuning keemasan yang selalu menghibur Michael.

Setiap hari Fatimah membawakan potongan ikan asin untuk si Michael. Walaupun dia tahu kalau sebenanya Michael tak biasa makan makanan seperti itu. Tapi apalah daya, cuma itu kemampuan Fatimah untuk menghibur si Michael.

Hampir setiap hari Fatimah membawakan potongan ikan asin itu ke rumah. Ikan asin yang dibawa fatimah memang tidak ikan asin utuh. Terkadang hanya kepalanya saja atau kalau beruntung dia membawa ikan asin yang setengah utuh, masih ada dagingnya.

Pernah suatu waktu saya bertanya kepada Fatimah soal di mana sebenarnya dia dapatkan ikan asin yang dia bawa itu? Fatimah menjawab, dengan sedikit bercerita. Itu adalah ikan asin penuh perjuangan. Saya mendapatkannya dari mengemis kepada manusia.

Sebenarnya saya malu melakukannya. Saya harus mengibas-ngibaskan ekor saya, mengelus-ngeluskan bulu halus saya ke kaki orang-orang yang sedang makan. Memeong dengan lembutnya, hanya untuk mendapatkan sepotong ikan asin yang sebenarnya manusia tidak suka memakannya.

Saya pernah mendapat kabar dari seekor kucing di rumah makan. Dia bercerita, kalau sebenarnya ikan asin itu hanya pelengkap dalam menu makanan manusia kalau membeli nasi bungkus. Sama derajatnya dengan terong dan daun pucuk ubi.

Tapi entah kenapa, manusia pelit sekali untuk berbagi.

“Ketika mengemis makanan, tak jarang saya mendapatkan perlakuan kasar dari manusia yang saya temui. Untung-untung saya hanya ditendang, terkadang kalau sedang sial saya dilempari pakai sendal jepit atau pakai batu. Tapi untunglah kami punya banyak nyawa untuk hidup. Manusia mengira kami hanya punya tujuh nyawa. Tapi sebenarnya jumlah nyawa kucing tidak semuanya sama, ada yang 10,11,12 dan ada juga yang dibawah tujuh, tapi tidak kurang dari lima. Dulu pada zaman mesir kuno kucing-kucing bahkan punya 1000 nyawa. Setelah dilempari, terkadang kami sering mengejek manusia-manusia itu. Mereka lamban sekali. Gerakan mereka bahkan lebih lamban dari kucing-kucing yang sudah uzur. Tapi ya tetap saja, perlakuan itu membuat kami tidak nyaman.”

Kembali ke soal makanan, saya berpikir kalau manusia itu memang sangat aneh.

Kenapa tidak, mereka sering kali mempermasalahkan hal-hal yang tidak penting, tapi diam dengan sesuatu yang sebenarnya akan sangat mempengaruhi kehidupannya.

Contohnya saja ikan asin tadi, mereka begitu getol mengusir kami. padahal itu kan cuman ikan asin.
Entahlah, saya memang tidak begitu banyak tahu soal manusia.

“Ada juga yang membuat saya heran dengan manusia, mereka sering membanding-bandingkan kami sebagai seekor kucing. Manusia memang kaum pemecah belah. Mereka membuat kami seakan berkasta-kasta. Ada kucing dari keturunan priyai ada juga kucing kampung biasa. Padahal kan sebenanrnya tidak seperti Itu. Di dunia perkucingan kami semua sama, tidak ada batas antara ras, warna bulu, dan juga perawakan.

Tugas kami adalah memburu tikus, itu sudah kodrat yg diberikan tuhan kepada kami. Kenapa tikus? Entahlah, mungkin itu sama seperti agama di dunia manusia. Tapi yang terjadi sekarang manusia malah ikut campur dan membuat kami terkotak-kotak. Kucing dengan bulu lebat dan wajah lucu dianggap sebagai kucing yang punya derajat lebih tinggi dari kucing-kucing seperti kami.

Padahal itu kan hanya perbedaan ras. Manusia kemudian menghiasi mereka dengan bedak dan lipstik. Membuat mereka menjadi seperti badut lamban dan gendut. Apakah manusia peduli? Tidak. Manusia memang tidak pernah peduli.” Fatimah kemudian menghela nafas, pandangannya jauh menerawang.

Saya hanya terdiam mendengarkan ceritanya. Tak berani saya berkomentar banyak. Saya melihat kepala ikan asin yang sedari tadi tergeletak di lantai.

“Fat, apa kamu sudah makan?” saya bertanya kepada Fatimah.

“Saya sedang tak nafsu makan” jawab Fatimah singkat.

“Kau makanlah agak sedikit. Tak baik untuk kucing betina sepertimu tidak makan seharian” jawab saya sambil menyodorkan kepala ikan asin tadi.

“Untuk Michael tak usah kau pikirkan, nanti aku belikan ikan asin yang agak enak di pasar. Untukmu juga”

Fatimah menatap wajah saya, kemudian menyantap dengan nikmatnya kepala ikan asin tadi. Sejenak saya elus kepalanya, lalu pergi ke belakang.

Di perjalanan saya kepikiran kata-kata Fatimah. Apakah benar manusia sejahat itu? Jauh saya berpikir. Tiba-tiba saya mendengar si Michael memeong dari dalam kandang.

Terdiam saya sejenak.

Ternyata tidak hanya kucing yang tidak mengerti soal manusia. Manusiapun terkadang tidak mengerti dengan apa yang mereka perbuat.

Saya lepaskan Michael dari kandang. Saya beli nasi bungkus dengan sambal ikan asin versi doble. Kemudian kami menyantapnya bertiga dengan nikmat.

--

--

Tanpa Nama
Tanpa Nama

Tempat pengepulan abal2an. Kami mencintai karya tulis kamerad2 kami, sebab itu kami mengarsip seluruh kiriman dari alm tanpanama.id, karya ya harus diapresiasi.