Menilik Kerja Sains Terbuka Kala Pandemi

Muhammad Rifqi Febrian
Phinisi.tech
Published in
10 min readJun 27, 2020
3D printer menjadi salah satu alat yang banyak digunakan oleh komunitas atau individu DIY untuk membuat APD. Sumber: zmproh3d/unsplash

“Data sharing, collaborative research, and open source design are all being harnessed to combat COVID-19. Therefore, is there any point to keep it closed from public in the future (especially in public issue)?”

Krisis yang diakibatkan pandemi coronavirus tidak diragukan lagi telah menjelaskan pentingnya keterbukaan sains terhadap masyarakat. Walaupun saat ini sudah ada beberapa langkah sementara dalam membuka sains supaya masyarakat dapat mengakses informasi vital, namun tentunya kita tidak boleh lagi kembali pada konsep science as usual (atau dengan kata lain sains tertutup).

Implikasi Keterbukaan dalam Penanganan Coronavirus

Coronavirus yang pertama kali muncul pada pasar makanan laut dan unggas di China akhir tahun 2019 lalu, telat menyebar lebih dari 200 negara, membunuh lebih dari 400.000 manusia, dan telah menyakiti lebih dari jutaan manusia dalam hitungan bulan. Beruntung pada 11 januari, sebuah tim yang dipimpin oleh Zhang Yong Zhen di Shanghai Public Health Clinical Center di Cina berhasil menyebarkan genome pertama dari SARS-CoV-2 Virus. Setelah itu volume data meningkat dengan pesat dan membantu ilmuwan serta pihak terkait diseluruh dunia untuk memiliki gambaran yang lebih jelas terhadap permasalahan yang akan dihadapi.

MIT E-Vent Unit 002 saat uji coba. Salah satu ventilator dengan rancangan yang terbuka untuk publik. Source: e-vent.mit.edu

Semangat keterbukaan ini mendorong persebaran informasi yang cepat dan solidaritas kolektif yang kuat melalui kolaborasi pengembangan pengetahuan secara aktif. Kejadian ini menciptakan dan mengembangkan beberapa sumber data terbuka seperti Nextstrain, The Human Coronaviruses Data Initiative, the COVID-19 OPEN Source Dashboard, dan sebagainya. Aktivitas juga berkembang pada aspek publikasi ilmiah seperti yang dapat terlihat pada CORD-19, LitCovid ataupun Outbreak Science Rapid PREreview. Selain itu terdapat juga platform publikasi ilmiah dalam bentuk pre-print seperti yang terlihat oleh bioRxiv dan medRxiv. Melalui kanal-kanal itu, ilmuwan saling menyebarkan pengetahuannya sehingga setiap wilayah di berbagai belahan dunia dapat mencegah, meminimalisir, dan menanggulangi dampak dari pandemi secara lebih baik.

Akses terhadap sumber pengetahuan secara terbuka juga mendorong komunitas Do It Yourself (berikutnya disingkat DIY) untuk bergerak dan membantu penyelesaian permasalahan pandemi. Sebagai contoh, banyak dari komunitas DIY membantu dalam pembuatan peralatan krusial bagi pekerja medis dan juga pasien. Seperti aktivitas yang terlihat pada sebuah facebook grup bernama Open Source COVID19 Medical Supplies, dimana mereka memiliki 70000 anggota yang cukup aktif dalam pembuatan alat pelindung diri berdasarkan desain yang disebar secara terbuka. Contoh lainnya adalah penyebaran desain frame secara terbuka untuk pelindung wajah yang dibuat oleh Prusa Research. Hal ini mendorong komunitas DIY untuk ikut membuat pelindung wajah dengan memanfaatkan referensi yang diberikan oleh Prusa Research. Atau contoh lainnya seperti pemanfaatan open source ventilator yaitu OpenLung ventilator yang dibuat oleh kolaborasi grup di Toronto, Canada dan Dublin serta MIT Emergency Ventilator oleh MIT di Cambridge yang jadi referensi beberapa pembuat ventilator di berbagai negara.

Aktivitas Bapak Singgih S Kartono dalam pembuatan faceshield. Source: Laman Instagram singgihskartono

Selain itu, inisiatif dan inovasi baik dalam skala individu ataupun komunitas DIY dalam negeri juga tidak kalah menarik. Mulai dari pembuatan alat pelindung diri, ventilator, pintu yang dapat dibuka dengan siku, dan sebagainya. Sebagai contohnya adalah aktivitas yang dilakukan oleh Bapak Singgih melalui pembuatan faceshield untuk pedagang di Temanggung yang tiap hari harus berinteraksi dengan banyak orang. Desain faceshield ini juga disebar oleh Bapak Singgih melalui akun instagramnya sehingga dapat ditiru oleh individu atau komunitas lainnya.

Walaupun tentunya kita menyadari bahwa pembuatan alat oleh individu/komunitas DIY tidak sepenuhnya sempurna karena ditemukan beberapa kasus dimana alat pelindung diri tidak memenuhi standar kesehatan. Namun bila disertai dengan kontrol klinis yang tepat, solidaritas kolektif ini dapat menjadi bukti konkret bahwa keterbukaan mengambil peran krusial dalam melawan COVID-19 serta memiliki kemampuan dalam meningkatkan kecepatan penyelesaian permasalahan.

Jangan Kembali Pada Model Lama

Pada Januari lalu, Wellcome Trust, sebuah badan amal penelitian menyebut coronavirus sebagai ancaman yang signifikan dan mendesak untuk kesehatan global. Wellcome Trust juga mengumpulkan para ilmuwan, pemberi dana, penerbit dan entitas lain yang terlibat dalam sistem komunikasi ilmiah untuk memastikan temuan penelitian dan data yang relevan terhadap wabah ini untuk dibagikan dengan cepat dan terbuka. Hal ini sebagai upaya agar masyarakat dapat teredukasi dengan baik terkait respon terbaru terhadap pandemi. Penandatangan ini dilakukan oleh penerbit dominan seperti Elsevier, Springer Nature dan Taylor & Francis, serta beberapa kelompok pemberi dana lain disertai juga dengan komunitas ilmuwan. Penandatangan ini menyatakan komitmen bersama untuk membuat semua penelitian dan data terkait wabah agar terbuka dan sesegera mungkin dimasukkan pada repositori preprint untuk bagian-bagian yang belum dilakukan peer review dan pada platform jurnal untuk artikel yang telah ditinjau.

Kerjasama keterbukaan itu merupakan langkah maju dan layak diapresiasi. Berdasarkan Web of Science (WOS), terdapat sekitar 13.818 artikel yang sudah di publikasikan dengan topik coronavirus sejak 1960-an. Namun lebih dari setengahnya (51,5%) masih tertutup. Sebagai contoh, tiga paper tentang COVID-19 yang diterbitkan oleh Lancet edisi 15 Februari mengandalkan 69 makalah berbeda yang diindeks WOS, dimana sekitar 70%-nya terdapat pada kumpulan 13.818 makalah coronavirus. Salah satu referensi tertuanya adalah tahun 1988 yang menggarisbawahai fakta bahwa meskipun virus corona mungkin baru, namun penelitian tentang virus ini sebenarnya menarik pada benang panjang literatur penelitian lama yang sayangnya sering tertutup.

Selain itu, 13.818 artikel coronavirus ini juga ternyata mengutip lebih dari 200.000 artikel — mulai dari virologi hingga kanker dan dari kesehatan masyarakat hingga genetika dan keturunan. Hal ini menunjukkan mengapa menutup sebagian artikel tidak menyelesaikan permasalahan. Bahkan jika seluruh artikel tentang topik coronavirus dibuat terbuka, ini bisa jadi masih belum cukup untuk mengatasi krisis mengingat sifat interdisipliner dari penelitian biomedis.

Seperti diketahui juga bahwa basis pengetahuan sains jauh lebih luas daripada satu topik tunggal. Setiap pengetahuan tersebut terkoneksi dengan pengetahuan lainnnya. Melihat pengetahuan hanya melalui artikel yang secara langsung relevan dengan kebutuhan pengetahuan tersebut bisa jadi membutakan penelitian terhadap pengetahuan lain yang bisa jadi terbukti penting. Obat untuk penyakit juga seringkali datang dari kombinasi baru beberapa bidang penelitian. Jika tujuan membuka penelitian adalah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan melayani masyarakat, semua penelitian harus terbuka, dan bukan hanya sebagian saja.

Persentase dari referensi yang disitasi oleh coronavirus papers, berdasarkan spesialisasi dari jurnal yang disitasi. NSF field and subfield classification 1988–2018.

Dalam penandatangan pernyataan Wellcome Trust, peserta juga sepakat untuk mengambil prinsip keterbukaan tidak hanya pada wabah sekarang melainkan juga situasi krisis lain di masa depan. Sebagaimana disebutkan “where there is a significant public health benefit to ensuring data is shared widely and rapidly”. Pernyataan ini secara implisit mengamini bahwa harga mahal yang harus dibayarkan untuk membuka riset serta monopoli yang terjadi terhadap pengetahuan dalam bentuk apapun merupakan ancaman besar pada sektor public health. Pernyataan ini walaupun baik, namun sejatinya juga perlu dipertanyakan kembali untuk memperoleh pendefinisian yang lebih baik. Dalam pernyataam tersebut apa sebenernya yang kita sebut sebagai “public health benefit”? Apakah jumlah masyarakat yang meninggal karena pneumonia (dimana vaksinnya telah ditemukan) di berbagai negara berkembang tidak tergolong sebagai “public health benefit” untuk senantiasa membuat riset terus terbuka?

Maka dari itu, penyediaan akses terhadap pengetahuan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pengentasan permasalahan publik adalah penting. Karena kita sadari keterbukaan telah menunjukkan keuntungan besar dalam penyelesaian permasalahan. Dengan keterbukaan ini, sistem sains akan berkembang cepat dengan aktivitas persebaran riset yang pesat melalui preprint server, kolaborasi terbuka, diskusi, hingga pemodelan genome virus. Akan sangat disayangkan bila sistem sains tidak berubah dan justru kembali ke model lamanya.

Monopoli Pengetahuan (Sebuah Opini)

Science in HD/Unsplash

Sains terbuka juga perlu diartikan sebagai pembebasan terhadap monopoli pengetahuan yang berkaitan dengan kepentingan publik baik melalui pembebasan kekayaan intelektual ataupun lainnya. Pada kasus ini penulis ingin mencoba mengambil studi kasus pada paten vaksin. Ada sebuah pertanyaan yang muncul dalam benak penulis, ditengah keadaan pandemi apakah etis bila monopoli vaksin dilakukan karena kepemilikan kekayaan intelektual? Kita tentunya mendengar berita mengenai EU (European Union) yang membuat ajuan resolusi mengenai open patent pool yang ditolak oleh beberapa negara maju seperti US, UK, dan beberapa lainnya. Ataupun cerita lainnya mengenai patent pool yang dibentuk oleh WHO, dimana ajuan tersebut mendapatkan beberapa perlawanan balik oleh perusahaan-perusahaan farmasi. Kejadian ini tentunya dapat membawa resiko terkait keselamatan manusia karena bisa jadi askes vaksin (terutama kepada negara yang menunggu impor vaksin) terganggu karena adanya barrier melalui monopoli pengetahuan tersebut.

“We need vaccines and treatments that will work for the world, and any advances must be available to all countries equally, without exception.”
— Alex Harris, The Head of Global Policy at Wellcome Trust.

Hak paten sendiri merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual. Hak ini menciptakan insentif yang salah satunya berupa monopoli sementara terhadap sebuah invensi atau inovasi yang dibentuk pada pasar. Melalui kemampuan monopoli ini, pemegang paten memiliki hak ekslusif untuk memproduksi dan menjual penemuannya. Atau mereka dapat juga memilih untuk melisensikan penemuan tersebut. Beberapa industri farmasi tentu berargumen bahwa paten digunakan untuk memulihkan biaya riset. Namun sistem ini sesungguhnya sangat mungkin digantikan dengan biaya riset yang ditanggung oleh publik melalui pajak pemerintah ataupun skema lainnya.

Dalam beberapa bacaan, pembebasan monopoli kepentingan publik sebenarnya cukup memungkinkan terutama pada kasus vaksin. Alih-alih dikuasai oleh perusahaan yang nantinya menjual vaksin dengan harga mahal ternyata produksi vaksin flu berjalan secara terbuka melalui GISRS selama 50 tahun. Ahli dari seluruh dunia tiap dua tahun sekali bertemu untuk berdiskusi dan menganalisis data terbaru terkait jenis flu yang muncul dan memutuskan jenis mana yang perlu dimasukkan dalam vaksin. Jaringan ini terdiri dari 110 negara yang didanai hampir seluruhnya oleh pemerintah (dan sebagian lagi oleh Yayasan). Apa yang dilakukan oleh GISRS ini dilambangkan oleh Amy Kapczynski dari Yale Law School sebagai sains terbuka. GISRS dianggap cukup berhasil dalam memberikan perlindungan kesehatan secara konkret karena fokusnya pada perlindungan nyawa manusia dibandingkan menghasilkan keuntungan secara maksimal. Contoh lainnya adalah pada The Human Genome Project yang diatur oleh the Bermuda Principles.

Melihat kepentingan dan kemendesakan pembuatan vaksin terutama pada saat ini, tentunya praktik monopoli terhadap pengetahuan perlu dihindarkan agar meminimalisir kerugian pada nyawa manusia. Perlu adanya pengedepanan kolaborasi dibandingkan dengan kompetisi. Melalui kolaborasi, penemuan dan pengembangan vaksin akan berlangsung lebih cepat melalui persebaran informasi yang luas. Kita juga perlu melihat pada fakta-fakta sejarah bahwa banyak masyarakat yang meninggal terkait penyakit yang bisa disembuhkan dengan vaksin. Walaupun ada argumen tentang ketakutan masyarakat terhadap vaksin itu sendiri-lah yang menjadi penyebab kematian, namun kita juga perlu sadari bahwa ada juga faktor akses terhadap vaksin juga menjadi penyebab kejadian ini masih terjadi. Sebagai salah satunya adalah monopoli vaksin PCV13. Vaksin yang diberikan terhadap anak kecil untuk melawan pnenunomia tersebut menelan biaya ratusan dollar karena merupakan properti sebuah perusahaan farmasi. Padahal jutaan anak kecil meninggal tiap tahunnya dikarenakan penyakit ini.

“The patent system for financing pharmaceutical research is an archaic relic of the medieval guild system. It survives by inertia; it is almost inconceivable that anyone would propose a system like this if we were designing one from scratch in the twenty-first century.”
— Dean Baker
.

Paten vaksin adalah salah satu contoh dari monopoli pengetahuan. Masih banyak contoh monopoli pengetahuan lainnya yang terjadi. Beberapa waktu ini mungkin kita juga mendengar tentang pengembangan riset kesehatan negara berkembang yang terhambat karena adanya paten pada bahan kimia yang menyebabkan sulitnya pengembangan riset di laboratorium pada negara berkembang tersebut.

Penulis sendiri sejujurnya tidak ada masalah terkait monopoli pengetahuan selama monopoli tersebut merupakan monopoli yang sifatnya private. Namun apabila itu berkaitan dengan nyawa manusia ataupun hal lain yang bersifat publik tentunya monopoli ini menjadi permasalahan besar mengingat resiko yang diberikan.

Maka dari itu, saat ini kita setidaknya dihadapkan pada dua skenario. Skenario pertama adalah kembali pada model bisnis sains yang lama yaitu mengandalkan perusahaan farmasi besar untuk memonopoli supply dari inovasi atau invensi yang dibuat yang nantinya punya cukup kemungkinan untuk menciptakan harga tinggi atau akses yang bisa jadi lebih sulit. Dimana nantinya apabila tidak terdapat intervensi publik yang kuat, akan ada resiko lebih banyak nyawa melayang karena kemampuan beli rendah. Atau memikirkan skenario baru, dimana terjadi penciptaan sistem baru yang terbuka dan terhindar dari monopoli pengetahuan terhadap kepentingan publik.

Penutup

Akhir kata, penulis merasa sebaiknya kita tidak kembali pada model bisnis sains seperti biasa (atau lama). Upaya yang dilakukan melalui perjanjian Wellcome Trust ataupun juga global patent pool atau model keterbukaan lainnya perlu dijadikan langkah maju dan diadopsi untuk menjadi model sains yang baru.

Manusia hari ini memerlukan adanya penyediaan infrastruktur dan sistem sains yang mendorong manusia untuk menjadi lebih resilient dan siap dalam menghadapi krisis di depan. Karena kita tentunya sadari, seperti yang beberapa ilmuwan prediksikan bahwa kita masih akan berhadapan dengan krisis iklim dan krisis pangan, atau bisa jadi ada wabah penyakit lainnya yang tiba-tiba muncul. Maka dari itu penulis merasa manusia perlu untuk mampu meruntuhkan tembok besar monopoli yang beresiko terhadap keselamatan manusia itu sendiri. Manusia perlu untuk mendorong keterbukaan pengetahuan dan mencari cara untuk keluar dari mahalnya harga penelitian (yang dibiayai publik/akumulasi penelitian publik/hak kekayaan intelektual untuk pengetahuan publik) atau kendala lainnya yang menyebabkan akses terhadap pengetahuan itu menjadi sulit.

Semangat keterbukaan kala coronavirus ini harus di kembangkan dan menjadi bahan pembelajaran serta pengalaman besar untuk mengadopsi skenario baru yang lebih baik dalam menghadapi krisis berikutnya. Karena dengan inilah salah satunya manusia dapat mengakselerasi penyelesaian permasalahan dan bertahan pada krisis-krisis yang terjadi.

Daftar Pustaka

[1] V. Larivière, F. Shu, and C.Sugimoto, “The Coronavirus (COVID-19) outbreak highlights serious deficiencies in scholarly communication,” 05 March 2020. LSE.

[2] M. Zastrow, “Open science takes on the coronavirus pandemic,” 24 April 2020. Nature.

[3] J. E. Stiglitz, A. Jayadev and A. Prabhala, “Patents vs. the Pandemic,” 23 April 2020

[4] R. V. Noorden, “Interdisciplinary research by the numbers,” Nature, vol. 525, no. 7569, pp. 306–307, 2015.

[5] Wellcome Trust, 31 January 2020. [Online]. Available: https://wellcome.ac.uk/coronavirus-covid19/open-data. [Accessed 20 May 2020]

[6] “Our World in Data,” Global Change Data Lab, November 2019. [Online]. Available: https://ourworldindata.org/pneumonia. [Accessed 22 June 2020].

[7] S. Newey, “The Telegraph,” The Daily Telegraph, 29 May 2020. [Online]. Available: https://www.telegraph.co.uk/global-health/science-and-disease/patent-pool-potential-covid-19-products-nonsense-pharma-leaders/. [Accessed 15 June 2020].

[8] Medecins Sans Frontieres, 6 February 2018. [Online]. Available: www.msf.org/msf-challenges-pfizer’s-monopoly-lifesaving-pneumonia-vaccine-south-korea. [Accessed 5 June 2020].

[9] B. Chu, Independent, 16 April 2020. [Online]. Available: https://www.independent.co.uk/voices/coronavirus-vaccine-uk-pharmaceutical-companies-patent-monopoly-a9467381.html. [Accessed 26 May 2020].

--

--