The World After Coronavirus: Secercah Harapan Masa Depan tentang Sains, Teknologi, dan Inovasi

Farhan Hadi Taskaya
Phinisi.tech
Published in
12 min readMay 27, 2020

--

Elegant Trifles. Made by Auguste Toulmouche

Membayangkan di tengah masa pandemi COVID-19 tanpa adanya gawai yang mampu menghubungkan manusia berjauhan secara daring, menyediakan hiburan berupa Netflix dan Spotify, dan membuat pesanan makanan dengan ojol? Pasti sangat sulit sekali.

Pertumbuhan sains, teknologi, dan inovasi menyebabkan kemudahan-kemudahan yang dirasakan manusia dan kita patut bersyukur akan hal tersebut. Dalam waktu yang sangat singkat, kita mungkin dapat merasakan kendaraan otomatis. Big data dan artificial intelligence (AI) membawa kita ke dalam penemuan-penemuan mutakhir yang tidak terbayangkan sebelumnya.

But who really benefits from these innovations?

Sains dan teknologi berperan dalam menentukan arah perubahan sosio-ekonomi di masa depan sebagaimana dikemukakan ekonom John Kenneth Galbraith, “Masa depan masyarakat adalah satu, yaitu sains dan teknologi akan menentukan arah dan perubahan sosio-ekonomi.”

Dalam analisisnya terhadap World Economic Forum-Global Competitiveness Index 2010–2011, Sener dan Saridogan (2011) menyimpulkan bahwa negara-negara dengan kebijakan dan strategi ekonomi berbasis sains-teknologi-inovasi memiliki superioritas dan keuntungan kompetitif berkelanjutan. Superioritasnya tidak hanya pada tingkat daya saing global, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang ditujukan bagi penciptaan kekayaan dan kesejahteraan. Senada dengan Sener dan Saridogan, OECD (2000) menyebutkan bahwa kemajuan di bidang sains dan teknologi merupakan faktor penting pendorong kinerja perekonomian.

Perkembangan teknologi-inovasi berkaitan erat dengan ketimpangan. Teknologi telah meningkatkan produktivitas, mempercepat pertumbuhan ekonomi, memungkinkan berbagi pengetahuan dan informasi dan meningkatkan akses ke layanan dasar. Namun, itu juga menjadi penyebab ketidaksetaraan. Banyak negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses terhadap teknologi-inovasi akan terus jatuh lebih jauh dibelakang.

Berapa banyak dari kita yang pada akhirnya benar-benar akan mendapat keuntungan dari Revolusi Industri 4.0 yang kita dengar dari berita, yang didukung dengan kemajuan terobosan terkini dalam robotika, AI, bioteknologi, machine learning dan Internet of Things (IoT)?

Pada saat sebelum pandemi, hanya segelintir orang dan perusahaan swasta yang dapat menikmati kemajuan teknologi, sisanya hanya menjadi penonton ditengah gencarnya kemajuan teknologi. Ekosistem kekuasaan teknologi bahkan dikaitkan erat dengan struktur kekuasan feodal dan secara paralel dengan struktur kekuasaan dan kebebasan kita saat ini. Dalam konsep umum feodalisme, kelas penguasa yang tergolong kecil (lords) menggunakan berbagai sistem politik dan ekonomi yang halus dan terbuka untuk mengeksploitasi nilai-nilai yang dibangun oleh kaum dari kelas produsen (peasants). Pemilik teknologi mendapat keuntungan secara eksklusif dan memberikan pengetahuan paling sederhana tentang teknologi tersebut kepada para pengguna teknologi. Hal ini bahkan bisa disebut sebagai de facto feudal society.

Semua rasanya berubah setelah virus corona menyerang. Hegemoni kerajaan penguasan teknologi tidak bisa berdiri sendiri dalam menghadapi pandemi ini. Di masa pandemi ini semua kemajuan teknologi dikerahkan untuk mengalahkan satu musuh bersama: COVID-19. Para ilmuwan dan insinyur berbondong-bondong menggunakan teknologi-teknologi baru, yang sebelumnya tidak tersedia secara bebas sebelum masa pandemi. Alat-alat seperti supercomputers, aplikasi perangkat lunak, virtual reality, big data, dan machine learning sekarang digunakan bersama-sama untuk mengalahkan virus Sars-CoV-2.

Dengan kecepatan yang belum terjadi sebelumnya, para ilmuwan memulai percobaan, dan berbagi data yang mereka dapatkan dengan mengungkap rahasia dari patogen. Hal ini merupakan sebuah tindakan yang tidak biasa dan menjadi budaya baru dalam menghadapi keadaan darurat kesehatan secara global.

This is really new. Lots of people (in science) still try to hide what they’re doing, don’t want to talk about what they’re doing, and everybody out there is like: This is the case where we don’t worry about egos, we don’t worry about who’s first, we just care about solving the problem. The information flow has been really fast.” — Karla Satchel, Profesor mikrobiologi-imunologi Northwestern University Feinberg School of Medicine

Phylogenetic tree dari relasi virus corona. Diunduh dari NCBI

Monopoli Ilmu Pengetahuan The “Old” Normal

Mari sedikit membahas tentang realita penguasaan ilmu pengetahuan sebelum virus corona menyerang. Richard Florida (1999) dalam “The role of university: leveraging talent, not technology” menyebutkan bahwa peran dan fungsi perguruan tinggi di Amerika Serikat pada dekade 1980-an banyak mendapatkan kritik. Perguruan tinggi belum termanfaatkan untuk kepentingan peningkatan daya saing industri dan memacu pertumbuhan ekonomi. Bahkan Presiden Universitas Harvard waktu itu, Derek Bok, menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki mandat untuk beraliansi lebih dekat dengan industri untuk meningkatkan produktivitas. Sejak itu mulailah didirikan pusat riset di berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat. Tujuannya, menarik pendanaan dari sektor industri dan perusahaan yang mengelola transfer teknologi untuk mengkomersialisasikan hasil inovasi perguruan tinggi.

Perkembangan ini dipicu oleh persaingan internasional yang semakin intensif antara produk Jepang dan produk Amerika Serikat, terutama di sektor otomotif dan elektronik. Pemerintah Amerika Serikat yang tadinya menerapkan model laissez-faire [1] melakukan perubahan kebijakan, antara lain, membolehkan kerja sama industri dalam melakukan penelitian dan pengembangan produk bersama.

Untuk menarik perguruan tinggi agar semakin terlibat dalam riset aplikasi teknologi, diterbitkan kebijakan yang disebut Bayh-Dole Act pada 1980. Kebijakan ini berdampak pada peningkatan pendanaan riset dan pengembangan yang bersumber dari sektor industri dari 2,6% menjadi 7,1% pada periode 1970–1997. Pemberian hak paten kepada perguruan tinggi juga meningkat tajam. Pada 1974, 100 universitas riset memperoleh 177 hak paten dan meningkat menjadi 408 pada 1984. Satu dekade kemudian, hak paten meningkat menjadi 1.486. Sejalan dengan peningkatan secara eksponensial pemberian hak paten, perguruan tinggi juga menerima peningkatan royalti yang cukup besar.

Berbagai pusat riset bersama yang dilakukan perguruan tinggi dan industri juga meningkat tajam. Pada 1990, pendanaan untuk kegiatan riset dan pengembangan pada pusat riset bersama mencapai sekitar US$ 4 miliar yang melibatkan 12 ribu dosen dan lebih dari 22 ribu peneliti doktoral.

Perkembangan ini membawa pendidikan tinggi semakin jauh meninggalkan misi utamanya, yaitu menghasilkan lulusan yang berkualitas dan pengetahuan baru sebagai landasan pengembangan teknologi. Perlindungan paten dan hak cipta yang kuat menghasilkan sentralisasi yang berlebihan, menghambat inovasi dalam proses tersebut.

Pergeseran peran dan fungsi perguruan tinggi ke dalam sektor komersial menimbulkan dampak negatif. Perguruan tinggi dilibatkan dalam kegiatan bisnis sektor industri untuk melakukan investasi terhadap inovasi teknologi yang dikembangkannya. Perguruan tinggi rentan terseret dalam permainan modal ventura berisiko tinggi. Dampak lain yang ditimbulkan adalah isu pembatasan keterbukaan.

Dunia sains menghendaki pengetahuan baru disebarluaskan secara bebas dan dipublikasikan. Ilmuwan dan peneliti lain diharapkan mereplikasi atau memverifikasi temuan baru tersebut. Sebaliknya, dunia inovasi teknologi menghendaki pembatasan agar pesaing tidak mendapatkan akses terhadap teknologi baru yang dikembangkan. Dua perilaku yang bertentangan ini membuat informasi ilmiah yang dibutuhkan bagi manfaat sosial dan ekonomi secara luas menjadi terkendala.

Pada awal abad ke-21, Amerika Serikat menghadapi tantangan perubahan yang berlangsung cepat di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Amerika Serikat melakukan reposisi dalam dunia yang semakin kompetitif dengan memanfaatkan teknologi, daya saing global, dan perubahan geopolitik.

Slaughter dan Rhoades dalam “Academic Capitalism” (2004) menyebut hal ini dalah rezim dimana ilmu pengetahuan dikomodifikasi menjadi produk dan jasa dengan maksud menghasilkan keuntungan ekonomi untuk perguruan tinggi, perusahaan swasta, dan negara. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan akan cenderung mengabaikan fungsi-fungsi lainnya yang dapat dipenuhi oleh ilmu pengetahuan; seperti mengatasi tantangan sosial atau memenuhi hak-hak dasar warga negara. Alih-alih dalam membangun masyarakat yang inklusif, pengetahuan dijadikan alat untuk membuat pasar. Alhasil, terjadinya masyarakat yang terpecah belah menjadi individu-individu yang merasa didemoralisasi dan tidak berkuasa secara sosial.

Queen Mary’s Psalter (Ms. Royal 2. B. VII), fol. 78v. Diunduh dari Wikipedia.

Fase baru kapitalisme dalam bentuk sistem inovasi global akan menghasilkan jejaring global dari pusat-pusat penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga riset yang telah memiliki reputasi internasional dengan perusahaan global sebagai motor penggerak. Sebagian besar gugus jejaring ini akan berada di negara-negara maju berpendapatan tinggi dan sebagian lagi berada di negara-negara berkembang berpendapatan menengah atas. Dengan demikian, episentrum kapitalisme fase baru ini akan tetap berada di negara-negara maju.

Global Solidarity dalam Sains, Teknologi, dan Inovasi — The “New” Normal

Andi Makmur Makka (2010) dalam Jejak Pemikiran B.J Habibie menyebutkan bahwa sejak pelantikan B.J Habibie sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada 1978, telah terjadi perubahan mendasar dalam kegiatan riset dan pengembangan teknologi di Indonesia untuk mendukung pembangunan. Lima belas tahun kemudian, sains dan teknologi diadopsi sebagai salah satu asas pembangunan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993.

Memperhatikan kondisi pengembangan sains dan teknologi di Indonesia yang tertinggal dibanding bangsa lain, Habibie mengemukakan konsep transformasi industri yang disebut sebagai “mulai dari akhir dan berakhir di awal”.

Berdasarkan konsep tersebut, pengembangan industri di Indonesia dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. menciptakan produk teknologi berdasarkan lisensi utuh;
  2. menciptakan produk teknologi bersama negara industri lain;
  3. menciptakan produk teknologi dengan mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem mutakhir yang berkembang menjadi suatu produk baru;
  4. menciptakan produk teknologi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sendiri (kembali ke awal).

Menurut Habibie, proses transformasi industri ini memiliki unsur-unsur satuan mikro evolusioner yang dipercepat (micro accelerated evolution unit, MAEU). Lebih lanjut Habibie mengemukakan bahwa dalam melakukan inovasi tidak mungkin melakukan sesuatu dari awal. Sulit bagi kita mencari teknologi baru yang sudah ditemukan negara maju, karena tidak mungkin mengejar ketertinggalan yang cukup jauh.

Dalam sejarah manusia, inovasi selalu dibantu oleh penemuan-penemuan sebelumnya. Tidak ada satu inovasi yang dapat berdiri sendiri. James Watt dalam menemukan mesin uap pada 1769 terinspirasi dari memberbaiki model mesin uap Thomas Newcomen, yang Newcomen ciptakan 57 tahun sebelumnya, dam telah dibuat sebanyak seratus lebih di Inggris pada waktu Watt memperbaikinya salah satunya. Mesin Newcomen sendiri dibuat berdasarkan mesin uap yang dipatenkan Thomas Savery dari Inggris pada 1698, yang sendirinya didahului oleh gagasan-gagasan ilmuan Belanda Christiaan Huygens dan orang-orang lain. Ciptaan terkenal Thomas Alva Edison berupa bola lampu pijar yang tercipta pada malam 21 Oktober 1879 adalah hasil peningkatan dari banyak bola lampu pijar lain yang dipatenkan oleh penemu-penemu lain antara 1841 dan 1878. Serupa dengan itu, pesawat terbang berawak dan bermesin ciptaan kakak-beradik Wright — Orvile dan Wilbur, didahului oleh peluncur berawak tanpa mesin ciptaan Otto Lilienthal dan pesawat bermesin tanpa awak ciptaan Samuel Langley. Kesimpulannya adalah: sains, teknologi, dan inovasi ini berkembang secara kumulatif, bukan sebagai tindakan-tindakan mandiri terisolasi.

Krisis yang dunia rasakan di tengah pandemi COVID-19 ini membuat kita merefleksikan ulang perkembangan sains dan teknologi. Laju perkembangan sains dan teknologi berjalan semakin cepat sedangkan kapasitas manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut relatif terbatas atau lebih lambat. Pada gilirannya, hal itu akan menimbulkan resistensi terhadap perubahan itu sendiri.

Dunia terus berubah ketika kita sedang menjalaninya, maka sesungguhnya dari perubahan adalah perubahan itu sendiri. Kita sedang menyaksikan suatu perubahan penataan Kembali yang tidak bisa dianggap kecil, tetapi suatu perubahan dalam sekala besar dan meliputi hal-hal yang sangat mendasar dari masyarakat; struktur, kelembagaan, dan nilai-nilainya yang mengalami perubahan secara menyeluruh dalam suatu masa kehidupan, sehingga kita tidak akan dan tidak dapat kembali ke pola lama dari kehidupan dan masyarakat.

Science for All. Diunduh dari OECD

Dalam keadaan darurat global saat ini, penemuan ilmiah telah berkembang jauh lebih cepat dari sebelumnya. Genom lengkap SARS-CoV-2 diterbitkan hampir sebulan setelah pasien pertama dirawat di rumah sakit Wuhan, sebagai akses terbuka pada The Lancet. Ini merupakan salah satu itikad baik dalam penyebaran ilmu pengetahuan yang luas jika dibandingkan dengan penundaan lima bulan dalam kasus wabah SARS pada tahun 2002–2003, Sebagian besar keterlambatan ini disebabkan oleh pemadaman informasi pada bulan-bulan pertama epidemi SARS.

Pelajaran utama dari wabah sebelumnya telah menggarisbawahi pentingnya berbagi data dan publikasi untuk memerangi penyakit ini. Beberapa poin penting yang disampaikan OECD (2020) adalah sebagai berikut.

  1. Membangun dan memelihara kepercayaan antara pihak-pihak yang berbagi data penelitian.
  2. Timbal balik dari berbagai data penelitian.
  3. Kolaborasi antar sektor yang inklusif, berdasarkan pada peran dan tanggung jawab masing-masing.
  4. Penciptaan sistem kesiapsiagaan dan respons yang sesuai dengan semua penyakit menular yang muncul dengan infrastruktur teknis pendukung yang tepat serta hak akses dan tanggung jawab seluas-luasnya dari pemangku kepentingan.
  5. Memiliki mitra kolaborasi internasional terpercaya sebagai penasihat eksternal dan pusat rujukan
  6. Mengatasi hambatan untuk berbagi data penelitian, dengan solusi yang memperhitungkan kompleksitas dan akar permasalahan dari hambatan penyebaran informasi terkait data penelitian.

Pada Januari 2020, 117 organisasi — termasuk jurnal, Lembaga pendanaan, dan pusat pencegahan penyakit — menandatangani penyataan berjudul “Sharing research data and findings relevant to the novel coronavirus outbreak”, berkomitmen untuk menyediakan akses terbuka langsung untuk publikasi yang diulas secara bersama, setidaknya selama pandemic berlansung, untuk membuat temuan penelitian tersedia melalui preprint servers. Hal ini dilakukan untuk segera berbagi hasil penelitian dengan World Health Organisation (WHO). Pada bulan Maret diikuti oleh inisiatif the Public Health Emergency COVID-19, yang diluncurkan oleh 12 negara [2] pada tingkat kepala penasihat sains atau yang setara, menyerukan akses terbuka untuk publikasi dan akses terbuka untuk machine-readable terkait data COVID-19. Hal ini menghasilkan komitmen yang lebih kuat pada penerbit-penerbit terkait.

Open COVID Pledge diluncurkan pada April 2020 oleh koalisi internasional ilmuwan, pengacara, dan perusahaan teknologi, dan menyerukan kepada para penulis untuk membuat semua Intellectual Property (IP) tersedia secara gratis dan tanpa sitaan untuk membantuk mengakhiri pandemi COVID-19 demi mengurangi dampak penyakit. Beberapa penandatanganan termasuk Intel, Facebook, Amazon, IBM, Sandia National Laboratories, Hewlett Packard, Microsoft, Uber, Open Knowledge Foundation, the Massachusetts Institute of Technology, dan AT&T. Penandatanganan ini menwarkan lisensi bebas royalti pada penggunaan IP untuk tujuan mengdiagnosis, mencegah dan mengobati COVID-19. Inisiasi-inisiasi Open Science yang dirasakan sekarang adalah salah satu contoh global solidarity untuk mengatasi permasalahan kolektif yang dirasakan seluruh dunia, yaitu melawan habis pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19 telah menjadi momentum penting untuk menguji risiko dan manfaat Open Science; sebuah gerakan yang telah banyak didiskusikan dikalangan komunitas riset global. Gerakan ini menyerukan sebuah temuan-temuan ilmiah yang terbuka secara cepat dan gratis, yang merupakan penolakan terhadap cara-cara lama dalam melakukan dan mempublikasikan penelitian. Kita harus memutuskan untuk tidak kembali ke business-as-usual, yang perlu dilakukan dalah rencana dalam menyiapkan infrastruktur dan sistem keterbukaan ilmu pengetahuan untuk krisis saat ini dan untuk krisis di masa yang akan datang.

Perang manusia terhadap COVID-19 mengingatkan kembali bahwa kita butuh untuk menghumanisasi dari lini-lini produksi yang krusial. Krisis kesehatan ini membawa kesadaran kepada masyarakat bahwa terdapat permasalahan dalam keadaan sistem riset yang saat ini berlasung; bahwa pentingnya penanganan ini jauh melampaui dunia akademis yang diracuni oleh permasalahan politik dan bisnis. Permasalahan-permasalahan tentang kemanusiaan yang belum terselesaikan sampai sekarang perlu menjadi permasalahan kolektif bagi seluruh bangsa, sama halnya ketika kita tertekan disaat krisis akibat pandemi COVID-19. Pemberian akses pengetahuan haruslah diberikan tanpa pandang bulu kepada mereka yang berada di garis depan dari sains, teknologi, dan inovasi. Kebutuhan mendesak akan keterbukaan akses ilmu pengetahuan dapat menyelesaikan masalah global seperti yang kita alami saat ini. Sangat disayangkan bahwa dalam kasus normal hanya banyak ilmuwan dunia hanya memiliki akses ke sebagian kecil dari informasi dan pengetahuan yang seharusnya tersedia bagi mereka.

Bayangkan jika global solidarity dalam sains, teknologi, dan inovasi ini berlanjut tidak hanya melawan COVID-19, tetapi untuk permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang lain. Insiasi global solidarity berupa open science memiliki potensi beasr untuk membawa manfaat pembangunan ekonomi dan sosial ke negara-negara yang kurang berkembang. Agar hal itu dapat terjadi, diperlukan upaya besar untuk memberdayakan manusia dan menjalin kerjasama antar pemerintah dan sektor swasta agar perkembangat teknologi bisa menjadi manfaat untuk seluruh manusia, bukan hanya segelintir orang. Akses akan sains, teknologi dan inovasi yang tersedia bagi seluruh umat manusia akan mengeluarkan potensi kreativitas dan kecerdikan manusia. Jika kita dapat mengubah tren yang lama (the “old” normal), kita dapat meningkatkan kualitas hidup setiap orang yang berinteraksi dengan sains, teknologi, dan inovasi.

Humanity needs to make a choice. Will we travel down the route of disunity, or will we adopt the path of global solidarity?Yuval Noah Harari

Di bawah lingkungan kebijakan yang tepat, potensi teknologi untuk mengurangi ketimpangan dalam peluang sangat besar. Inovasi teknologi telah berkontribusi pada terobosan besar dalam menyediakan akses ilmu pengetahuan kepada masyarakat termiskin. Teknologi panel surya di rumah telah menyediakan akses listrik ke jutaan rumah tangga di Bangladesh, selain itu teknologi ini memberikan kesempatan kerja kepada 140.000 orang. Teknologi digital telah memperluas akses ke pendidikan dan pelatihan, termasuk ke universitas-universitas terkemuka di dunia, melalui kursus online terbuka besar-besaran. Platform e-commerce online telah memungkinkan produsen kecil untuk menjual produk mereka di seluruh dunia dan mengembangkan usaha-usaha kecil baru di daerah pedesaan. Di Cina, misalnya, lebih dari 1.300 “Taobao Village” menghasilkan barang-barang yang masing-masing bernilai lebih dari US $ 1,5 juta dalam perdagangan tahunan. Di India, sistem inklusi keuangan berbasis teknologi telah memberikan akses keuangan kepada 1,2 miliar orang hanya dalam enam tahun. Selain itu, teknologi dapat mendukung gerakan untuk demokrasi dan keadilan sosial. Kampanye media sosial #MeToo melawan pelecehan dan penyerangan seksual telah memberikan suara kepada wanita di seluruh dunia.

Layaknya perubahan iklim yang semakin menggangu dunia ini dan menjanjikan gangguan global yang semakin banyak, COVID-19 bertindak sebagai momen brutal yang muncul secara tiba-tiba. Jika perubahan iklim adalah keadaan darurat yang bergerak lambat, virus corona adalah keadaan darurat yang bergerak secepat kecepatan cahaya. Hal ini menunjukan kepada manusia keterbatasan dari ekonomi global yang terobsesi dengan monopoli ilmu pengetahuan dan keyakinan baru muncul: kembali ke the “old” normal seharusnya tidak menjadi tujuan manusia setelah virus corona ini berakhir.

Referensi

AIPI (2017), “Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Menuju Indonesia 2045”, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, ISBN 978–60261626

Makka, A. M., “Jejak Pemikiran B.J. Habibie”, Mizan (2010), ISBN
978-9794336052

OECD (2020), “Enhanced Access to Publicly Funded Data for Science, Technology and Innovation”, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/947717bc-en

OECD. “Science, Technology and Innovation in the New Economy”. Policy brief. 2000.

Prijambodo, Bambang, “Teori Pertumbuhan Endogen: Tinjauan Teoritis Singkat dan Implikasi Kebijaksanaannya”, Jurnal Perencanaan Pembangunan No. 03 Desember 2013.

Şener, Sefer, dan Ercan Sarıdoğan. “The Effects of Science-Technology-Innovation on Competitiveness and Economic Growth.” Procedia-Social and Behavioral Sciences 24 (2011):815–28. doi:10.1016/j.sbspro.2011.09.127.

Schumpeter, Joseph A, “From Capitalism, Socialism and Democracy”. New York: Harper, 1975.

Notes

[1] abstain oleh pemerintah untuk ikut campur dalam kerja pasar bebas.

[2]Australia, Brazil, Canada, Germany, India, Italy, Japan, New Zealand, Korea, Singapore, the United Kingdom and the United States of America.

--

--