Alasan-Alasan Mengapa Konsumen Tidak Peduli dengan Produkmu

Ketahui alasannya agar tidak terburu-buru merasa produkmu buruk

Salah satu hal yang cukup sulit dilakukan dengan benar dalam sebuah bisnis adalah mengembangkan sebuah produk. Setiap pebisnis pasti mengerti hal ini dan itulah mengapa produk selalu dikembangkan dengan biaya yang mahal agar dapat berhasil dipasaran. Sayangnya, produk yang perusahaan sudah buat susah payah sering kali tetap tidak diminati oleh konsumen. Pertanyaannya tentu saja, mengapa?

Konsumen nyatanya kerap kali tidak peduli dengan produk yang ditawarkan pada mereka. Bukan karena produk tersebut dibuat dengan buruk atau tidak berkualitas tetapi karena kerap kali produk yang ditawarkan tidak menyentuh emosi dari konsumen.

“Lho? Kok emosi? Produk kan tentang fitur yang hebat dan bermanfaat. Mengapa harus memperhatikan emosi konsumen?”

1. Perilaku konsumen itu sangat emosional saat memilih produk

Disukai atau tidak, konsumen adalah manusia juga. Manusia menurut Daniel Goleman dalam bukunya Thinking Fast and Slow adalah makhluk yang mengambil keputusan berdasarkan emosi yang sangat subjektif sifatnya.

Para konsumen bisa saja menolak produkmu hanya karena mereka tidak senang dengan sales yang berinteraksi dengan mereka misalnya. Atau mereka menolak produk karena konsumen belum pernah mendengar kabar tentang produk yang kamu jual.

Sebaliknya, konsumen juga bisa saja membeli sebuah produk hanya karena produk tersebut direkomendasikan oleh rekan, teman, atau keluarganya. Mereka juga bisa saja membeli sebuah produk hanya karena merasa warnanya menarik. Mereka pun bisa saja membeli produk hanya karena produk tersebut lucu dan menggemaskan, tidak ada fitur atau manfaat yang benar-benar berarti.

Singkatnya, sebenarnya para konsumen membeli karena mereka merasa produk yang mereka beli adalah produk yang benar. Kata kuncinya adalah pada rasa sesuatu yang sangat irasional. Seorang profesor dari Harvard, Gerald Zaltman bahkan mengatakan bahwa keputusan pembelian itu 95 persen dilakukan dari alam bawah sadar (subconscious).

Namun kamu sebagai sebuah brand tidak bisa terjebak dengan menganggap konsumen adalah orang yang lugu dan bodoh terkait dengan produk yang kita tawarkan. Sebab mereka bisa jadi sudah melakukan riset dan bertanya-tanya tentang produk yang ditawarkan. Mereka mencari informasi selengkap mungkin. Jikapun konsumen tidak melakukan riset, mereka akan bertanya pada orang-orang disekitar mereka.

Tujuannya dari mencari informasi seperti ini adalah untuk membuat konsumen lebih familiar pada produk tertentu. Mereka menjadi tahu apa kelebihan dan kekurangan sebuah produk. Mereka bisa sangat memahami produk tersebut lebih dari tim sales.

Uniknya meski telah melalui fase logis yakni riset dan mencari informasi yang lengkap dan detail, keputusan pembelian konsumen tetap bias dengan melibatkan emosi. Seperti yang saya sebutkan di atas, konsumen bisa saja tertarik hanya karena hal-hal yang sebenarnya tidak benar-benar terkait dengan produk. Salah satunya adalah cerita.

2. Konsumen itu seperti kamu, lebih suka dengan cerita daripada produk

Melalui cerita konsumen akan lebih terbuka dengan brand karena cerita adalah metode untuk menguak emosi psikologi seseorang. Itu kenapa brandmu harus bisa menguasai kemampuan bercerita (storytelling). Lewat cerita brand akan bisa membangun sebuah skenario experience (pengalaman) yang bisa didapatkan oleh konsumen saat membeli sebuah produk.

Penelitian yang dilakukan oleh Herskovitz dan Crystal misalnya yang menemukan bahwa brand yang mampu membangun relasi emosional pada konsumen akan sulit untuk diabaikan.

Penyebabnya adalah karena cerita dari brand bisa membangun sebuah imaji ataupun citra diri berdasarkan kisah yang mereka percayai. Itu mengapa brand-brand yang memiliki konsumen loyal akan dianggap seperti sebuah gaya hidup yang tidak bisa dipisahkan.

Nike misalnya, dengan cerita bahwa semua orang bisa melakukan apapun yang mereka inginkan, Nike mengajak kamu untuk “Just do it”. Saat kamu membeli sepatu Nike baru, saya yakin kamu akan merasa bisa melakukan apa yang kamu ingin lakukan. Seakan ada keyakinan yang timbul akibat produk yang dibeli.

Padahal produknya sendiri tidak berkorelasi dengan aktifitas yang dilakukan. Sepatu yang dibeli ternyata untuk pertemuan membahas projek terbaru, atau pertemuan untuk mengegolkan sebuah program atau bahkan yang terkait dengan olahraga secara langsung seperti maraton.

Sepatu tidak bisa memberikan energi lebih pada performa penggunanya, memang ada teknologi-teknologi di dalam sebuah sepatu. Tapi ingat, konsumen itu emosional dan mereka tidak terlalu peduli dengan fitur. Mereka hanya peduli dengan benefit pengalaman yang bisa mereka dapatkan dari sebuah brand.

3. Penilaian konsumen itu keji, mereka melihat brand dari siapa orang-orang di dalamnya

Layaknya sebuah cerita klasik, orang jahat akan berkumpul dengan orang-orang jahat. Orang baik akan berkumpul dengan orang baik. Dan layaknya cerita, brand juga bisa mendapatkan predikat yang sama.

Konsumen lagi-lagi bertindak irasional. Konsumen bisa saja menilai brand kamu berdasarkan peniliaiannya pada orang-orang yang ada di perusahaan. Seperti sales misalnya yang akan menjadi pintu masuk interaksi antara calon pembeli dengan produk.

Mereka akan menilai apakah mereka ingin memiliki relasi dengan orang yang terkait dengan brand. Memiliki cerita yang sama dan juga berbagi pengalaman sebagai pengguna produk. Jika ternyata sales produk bahkan tidak menggunakan produk yang dijual tentu pembeli tidak akan percaya dengan cerita apapun yang dibangun oleh brand.

Jangankan sales, para influencer pun juga mendapatkan penilaian yang sama. Para influencer akan dinilai apakah mereka otentik (jujur, terbuka, dsb) tentang sebuah brand. Itu sebabnya brand juga harus memperhatikan bagaimana tindak tanduk seorang influencer karena mereka menjadi bagian dari brand.

Sentimen konsumen seperti ini tentu saja terderngar seperti tidak adil, namun begitulah perilaku konsumen. Mereka membangun persepsi sendiri sesuai dengan kemampuannya. Tidak semua orang membangun persepsi yang sama memang, tetapi brand harus tetap mengantisipasi dengan membangun cerita yang benar-benar baik.

4. Egois, konsumen cenderung hanya peduli dengan kepentingannya sendiri

Lagi-lagi karena sisi emosional konsumen, brand harus menghadapi sikap egois. Disebut egois karena konsumen itu sangat senang dengan personalisasi. Mereka senang untuk membeli produk untuk kepentingannya sendiri. Itu kenapa brand harus bisa memahami kebutuhan konsumen secara pribadi (personal).

Contoh paling mudah adalah, konsumen sangat senang jika mereka diberi diskon ketika ulang tahunnya berlangsung. Konsumen merasa diperhatikan oleh brand dan mereka mendapatkan keuntungan yang mungkin tidak didapatkan oleh orang lain di momen itu. Karena momen ulang tahun adalah momen yang sangat pribadi.

Tidak heran jika kemudian dalam artikel yang menarik, disebutkan bahwa konsumen itu tidak membeli produk tetapi mereka membeli versi yang lebih baik dari dirinya sendiri. Konsumen lebih mementingkan bagaimana dirinya bisa menjadi lebih baik. Ini mengapa brand harus bisa menjelaskan keuntungan-keuntungan apa yang bisa didapatkan saat konsumen membeli.

5. Kabar baiknya, masih ada cara untuk membuat konsumen peduli dengan produkmu

“Dari tadi kok bahasnya konsumen jahat terus kepada brand, apa tidak ada kabar baiknya?”

Tentu ada, kabar baiknya adalah brand harus bisa melakukan beberapa hal yang bisa memanfaatkan karakter-karakter konsumen di atas. Beberapa caranya adalah sebagai berikut:

- Berikan pelayanan konsumen yang menakjubkan

Pelayanan konsumen yang biasa saja tidak cukup, brand harus bisa memberi pelayanan yang sesuai dengan harga dan nilai. Sebab konsumen ingin dirinya diperhatikan dan mendapatkan pengalaman bersama brand dengan baik.

- Ceritakan terus menerus kisah dari brand

Buatlah para konsumen menjadi pahlawan dari hidup dan aktivitas hidupnya dengan melibatkan brandmu. Caranya tentu saja harus bisa membuat kisah brand menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan konsumen. Salah satunya adalah dengan membangun cerita brand yang aspiratif dan inspiratif.

- Buat program penghargaan

Karena konsumen itu hanya peduli pada kepentingannya sendiri bukan berarti brand bisa mengabaikan para konsumen. Brand bahkan harus bisa memberikan program penghargaan atas partisipasi konsumen terhadap brand.

Penghargaan yang diberikan bisa sangat beragam, bisa mulai hanya diberi produk tambahan, bonus, atau bahkan berupa hadiah.

- Gunakan sosial media untuk menjalin relasi

Konsumen ingin bisa menjiwai cerita brand yang dipercayainya, itu sebabnya konsumen membutuhkan inspirasi dan aspirasi dari orang-orang lain yang menggunakan brand yang sama. Melalui sosial media, brand bisa membangun relasi tersebut dengan konten-konten yang relevan dengan kehidupan konsumen.

Nah bagaimana? Sudah mengertikan kenapa konsumen tidak peduli dengan produkmu. Setelah mengetahui alasan-alasan konsumen tidak peduli dengan brand kamu bisa menjadi lebih tenang dan tidak gelisah ketika konsumen tidak membeli ataupun tidak loyal.

Sebab bisa jadi alasan sebenarnya adalah karena brand kamu tidak benar-benar bisa menjawab “sisi-sisi tidak” terlihat dari perilaku konsumen. Dengan melakukan beberapa program dan perbaikan terhadap cerita dan konten, brand kamu bisa kembali dicintai dan dipedulikan oleh konsumen.

Semoga bermanfaat ya. Sampai jumpa di pembahasan #inspirasimarketing selanjutnya.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.