Bangun Impian, Perekrutan dan Bekerja Bersama untuk Masa Depan

Tentang menemukan partner co-founder yang krusial bagi kelanjutan startup

Mereka bilang tantangan pertama yang harus diselesaikan oleh sebuah perusahaan yang baru berdiri adalah tentang tim. Merekrut tim adalah hla yang paling mendasar tetapi paling rumit yang harus dihadapi oleh sebuah perusahaan. Dan saya, saat ini merasa fase pencarian tim inilah yang sedang saya hadapi.

Mendirikan sebuah agensi sejujurnya adalah impian saya sejak masih kuliah. Dan saya memiliki keberanian untuk mewujudkannya di awal tahun 2019 ini. Saya memutuskan untuk mendirikan TEKNOIA Creative di bulan Januari, sendirian dengan modal berupa domain teknoia.com yang sekitar tiga tahun sebelumnya sudah saya miliki.

Permulaan TEKNOIA

Saya tidak memiliki produk, saya tidak memiliki gambaran seperti apa pasar yang bisa saya tuju dengan agensi ini. Satu hal yang saya ketahui dan sadari adalah, di Indonesia ada banyak sekali website yang terbengkalai karena tidak memiliki konten yang layak dan tidak digunakan secara maksimal. Dan saya ingin mengambil peluang ini melalui jasa digital marketing yang fokus pada pengembangan konten.

Premis masalah yang berusaha diselesaikan terdengar sederhana, tetapi menawarkannya pada pasar adalah hal yang lain. Nyata-nyatanya tidak banyak pebisnis di Indonesia yang menyadari bahwa website mereka harus dikelola dan dirawat dengan selalu memperbarui konten. Sehingga saya harus melakukan edukasi terlebih dahulu sebelum kemudian menjual jasa yang saya tawarkan.

Photo by Edwin Andrade on Unsplash

Melakukan edukasi tentu saja membutuhkan konten. Saya menulis di sini adalah salah satu upaya edukasi tersebut. Saya menulis artikel dan berharap tulisan saya banyak menjadi referensi bagi mereka yang ingin mengetahui banyak hal tentang dunia inovasi, teknologi dan pemasaran.

Tentu menulis konten artikel hanya akan efektif untuk audiens yang melakukan pencarian melalui mesin pencari. Ini mudah, saya hanya perlu menulis, kemudian mempublikasikannya di website. Namun sumber pembaca dari sudut ini sangat sedikit jumlahnya dan cenderung tidak memiliki efek viral.

Sementara di Indonesia, untuk sebuah konten dikenal dengan baik membutuhkan upaya yang tepat sesuai dengan tempat di mana para pembaca berkumpul. Jawabannya adalah di sosial media. Saya kemudian harus mampu untuk menyebarkan konten yang sudah saya tulis melalui sosial media.

Sialnya, sosial media sangat dipengaruhi oleh tampilan visual. Artinya konten yang saya tulis harus memiliki visual yang menarik, atau video yang meyakinkan. Padahal saya bukanlah orang yang mahir dalam bidang tersebut, sehingga saya harus merelakan agar konten yang saya tulis hanya menggunakan visual yang seadanya atau gratisan.

Bukan superman

Photo by TK Hammonds on Unsplash

Sampai di sini, saya kerap kali merasa bahwa saya membutuhkan seorang partner untuk membantu saya dalam hal produksi konten visual. Keinginan yang mungkin sering bertabrakan dalam diri antara apakah benar saya membutuhkan partner atau saya hanya harus lebih giat untuk memproduksi visual.

Argumentasi dalam diri akhirnya terhenti pada titik saat saya menyadari, apabila saya mengerjakan seluruhnya (menulis dan membuat visual) sendirian, saya akan kewalahan dan kualitas akan menurun. Jelas saya bukanlah superman yang bisa segalanya sendirian.

Jika saya memaksakan, tujuan untuk mengedukasi pasar tidak lagi bisa tercapai dengan optimal karena semuanya dikerjakan secara setengah-setengah tanpa keahlian yang matang.

Dari ilustrasi kesulitan yang saya hadapi ini saja, sudah terlihat bahwa untuk menjalankan fungsi yang optimal dibutuhkan lebih dari satu orang untuk mengerjakan. Sehingga rasanya tidak salah jika saya kemudian sedikit tertekan ketika harus bisa menemukan orang yang tepat untuk berjalan bersama di bawah bendera TEKNOIA atau apapun itu nantinya.

Sebenarnya, TEKNOIA berangkat dari impian sederhana yang ingin membuat internet menjadi ruang yang lebih baik dengan konten-konten yang berkualitas. Saya pribadi ingin ruang internet akan ada banyak sekali sumber-sumber informasi yang kredibel, otoritatif, dan positif agar setiap penggunanya bisa memaksimal potensi diri untuk kehidupan yang lebih baik. Visi inilah yang selalu berusaha saya ingat dan camkan setiap saat.

Namun dalam konteks mencari tim atau partner kerja, tentu saja saya harus bisa mengomunikasikan visi dengan lebih jernih dan jelas. Karena tanpa partner atau tim yang memiliki visi sama, apapun yang dilakukan TEKNOIA tidak akan bisa tercapai.

Di sinilah tantangan awalnya, bertemu dengan orang yang memiliki visi yang senada dan serupa itu ibarat mencari semut di malam hari. Ada, tapi sangat sulit untuk ditemukan karena tersamarkan oleh situasi. Saya tidak akan pernah tahu siapa saja orang yang cocok dengan visi tersebut kecuali dengan berinteraksi dengan setiap orang yang saya temui.

Mencari jodoh

Semenjak saya memiliki tujuan untuk merekrut co-founder, saya kini selalu melihat orang lain sebagai orang potensial yang bsia saya ajak. Saya berusaha untuk membaca arah pikirnya dan bagaimana sudut pandangnya. Hampir seluruh gerak gerik dan aktivitasnya saya evaluasi, dan apakah ia memiliki ketertarikan terhadap narasi visi yang saya ceritakan.

Bukan berarti saya berusaha untuk memata-matai seseorang, ini adalah sebuah cara untuk menemukan “jodoh” dalam hubungan profesional. Jika para pakar pun mengungkapkan bahwa co-founder adalah ibarat seperti jodoh, saya boleh bilang setuju dengan ungkapan tersebut.

Saya sendiri saat ini alhamdulillah sudah memiliki istri dan tahu benar tentang bagaimana pengalaman “merekrut” istri agar mau menerima visi berkeluarga yang saya miliki. Prosesnya kurang lebih adalah sama. Saya harus beradu argumen, saya harus mengevaluasi karakter, saya juga harus melihat bagaimana sikapnya terhadap situasi dan terhadap saya sendiri. Semua diperhatikan secara hati-hati sampai akhirnya saya memutuskan untuk melamarnya untuk menjadi pendamping hidup.

Photo by Rémi Walle on Unsplash

Proses yang sama sepertinya juga terjadi dalam membangun tim dalam startup apalagi ditingkatan pendiri atau founder. Menemukan jodoh adalah misteri yang harus bisa dijawab.

Bahkan dalam referensi yang saya temukan untuk artikel ini, mengungkapkan bahwa Steve Jobs (pendiri Apple) pun berkata bahwa 10 orang pertama yang berdedikasi sangatlah krusial untuk keberlangsungan projek atau perusahaan.

Namun menemukan tim untuk perusahaan tentu saja memiliki perbedaan mendasar dalam hal motif bila dibandingkan dengan mencari jodoh pendamping hidup. Dalam mencari jodoh, tentu motif ekonomi yang transaksional berusaha tidak menonjol dan sebisa mungkin diminimalisir karena motif utamanya adalah cinta.

Sementara dalam membangun perusahaan, motif paling mendasar adalah motif ekonomi, motif untuk bekerja memperoleh penghasilan. Aspek inilah yang selanjutnya menjadi batu sandungan untuk menggaet partner. Dengan kata lain saya harus bisa menjamin bahwa ketika seseorang bergabung dalam tim, mereka harus bisa mendapatkan jaminan kesejahteraan yang cukup selama mengerjakan pekerjaan.

Bagi saya yang membangun perusahaan tanpa modal dan hanya bermodal kuota internet dan kreatifitas serta laptop bekas, tentu ini bisa menjadi masalah besar. Bagaimana mungkin saya merekrut tim jika saya tidak bisa menggaji mereka. Sejujurnya inilah mengapa saya lebih memilih untuk mencari co-founder dibandingkan dengan mencari pegawai. Mencari pendiri dimaksudkan agar saya bisa benar-benar berbagi visi dan mampu berjalan bersama membangun perusahaan tanpa sepenuhnya karena motif ekonomi.

Sebagai pendiri tentu saja motif semangat dan gairah visi akan mengimbangi motif ekonomi. Sehingga ketika perusahaan dalam situasi sulit, orang-orang di dalamnya akan tetap berusaha untuk bertahan. Ya, secara teori seperti itu. Saya pun tidak tahu pasti apakah hal tersebut bisa terjadi.

Satu hal yang pasti, saat ini saya memang terus mencari.

Dalam beberapa teori pengembangan bisnis model startup digital, kombinasi tiga peran pendiri biasanya yang paling populer dikenal. Kombinasi antara hustler, hipster dan hacker adalah istilah yang paling sering digunakan.

Saya pun mengamini bahwa TEKNOIA berusaha untuk memiliki tiga peran tersebut dalam jajaran pendirinya. Saya sendiri mungkin bisa digolongkan sebagai hustler, dengan sedikit kemampuan hipster dan hacker. Tentu saya bisa mengerjakan tiga peran tersebut, tetapi lagi-lagi tidak mungkin itu dilakukan jika menginginkan sebuah perusahaan yang tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang.

Saking kewalahannya saya, saya dengan berat hati harus meminta tolong istri saya, Gita Prayitno untuk berperan sebagai hipster yang banyak memproduksi konten visual dari TEKNOIA, TEKNOIA Creative maupun yang terbaru, Class for Content Creators (CFCC).

Sementara ini, memang kebutuhan untuk tiga unit bisnis tersebut bisa terpenuhi berkat peran istri. Namun mempekerjakan istri dalam bisnis menurut saya adalah hal yang dilematis dan sangat tidak ideal. Saya tentu saja akan kesulitan jika performa istri menurun, sementara saya pun tidak bisa memberikan upah yang pantas dari hasil kerjanya.

Selain saya terdorong untuk tidak ingin mengeluarkan biaya (mumpung istri sendiri yang mengerjakan), saya juga tidak terlalu bisa mengira-ngira berapa harga yang pantas. Berbeda halnya jika ada orang lain yang secara profesional bekerja untuk pos-pos yang dibutuhkan dalam sebuah perusahaan.

Lalu siapa kira-kira yang harus digaet?

Pencarian tanpa akhir

Photo by Andrew Ridley on Unsplash

Saya pernah mengajak seorang teman untuk menjadi salah seorang pendiri dari TEKNOIA. Saya mengerti pengalaman dirinya, setidaknya ia cukup aktif dalam sebuah komunitas di Surabaya. Namun ternyata tidak sampai enam bulan ia menyatakan tidak ingin terlibat lagi dalam aktifitas TEKNOIA. Padahal baru satu projek saja yang saya bagi kerjakan dengan dirinya.

Kecewa? Pasti, tetapi saya berusaha paham bahwa memang saya belum bisa menjanjikan apapun untuk karir dan kehidupannya di masa depan. Sehingga wajar jika dirinya memilih untuk sesuatu yang lebih terjamin.

Saya pun sempat curhat pada sahabat saya, Bagus Berlian yang seorang ahli inovasi bisnis lulusan Mcquarie Graduate School di Australia tentang mencari talen yang memang sangat sulit. Ia bahkan pernah bercerita bahwa saat kita bercerita tentang impian pada orang lain dan mereka mau bergabung dengan kita, akan ada orang lain yang masih saja berkata bahwa kita memperalat atau menipu seseorang hanya untuk kepentingan diri sendiri.

Sungguh, menggaet tim adalah sesuatu yang tidak mudah jika kita hanya bermodalkan visi. Namun saya percaya modal visi adalah sebaik-baiknya modal dalam sebuah perjuangan. Sebab ketika seseorang mau untuk bergabung karena visi, saya yakin dirinya akan mau untuk berjuang bersama mewujudkan visi yang telah dipercaya bersama.

Berbeda halnya jika, menggaet tim karena modal uang yang banyak. Saya mungkin tidak akan kesulitan untuk merekrut tim jika saya mampu untuk mendatangkan pemodal besar yang bisa digunakan untuk membangun sebuah tim. Saya tinggal membuka lowongan, melakukan seleksi, kemudian menentukan gaji dan mempekerjakannya semaksimal mungkin. Tetapi jelas, karena motif tim yang hadir adalah ekonomi, ketika perusahaan mengalami kesulitan, akan kecil kemungkinan orang itu akan bertahan dan turut membantu.

Sumber daya manusia ternyata memang serumit ini, dan saya bersyukur saya mendapatkan kesempatan untuk mengalaminya sebagai seorang pendiri perusahaan lebih awal dari orang lain yang sering kali masih terjebak pekerjaan yang tidak ia sukai.

Memang saat ini ada banyak rintangan yang harus dilewati, ada banyak orang yang harus ditemui, dan ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Tapi saya jelas tidak boleh menyerah sampai di sini.

Bekerja bersama untuk masa depan

Saya menulis artikel ini bukan untuk menggurui apalagi mengeluhkan diri. Artikel ini adalah salah satu cara untuk menemukan partner dengan visi yang sama itu berdasarkan panduan menemukan co-founder yang ditulis oleh Entrepreneur.

Lewat artikel ini saya benar-benar ingin berbagi apa yang sedan saya alami bersama TEKNOIA sembari membuka informasi bahwa saya sedang mencari orang-orang yang memiliki visi untuk membuat internet menjadi ruang bersama yang sangat bermanfaat dan berarti.

Itulah mimpi, mimpi yang saya berharap tidak hanya saya yang memiliki tetapi juga digotong dan dibawa bersama-sama dengan kolega, sahabat dan keluarga. Sejujurnya saya tidak terlalu perduli dengan bendera, apakah saya harus mempertahankan TEKNOIA mati-matian? Tidak. TEKNOIA hanyalah sebuah kendaraan untuk visi yang saya miliki. Jika memang ada kendaraan lain yang memiliki visi yang sama dan mampu bekerja dengan lebih baik untuk mewujudkan visi tersebut, bisa saja saya bergabung di bawah bendera tersebut.

Sebab bagi saya, bekerja bersama untuk sebuah visi lebih penting dari pada nama untuk diri sendiri. Inilah yang saya maksud dengan berbagi impian untuk masa depan. Layaknya menemukan jodoh yang akan berkerja dan bermain bersama untuk visi yang lebih besar di waktu yang akan datang.

Jadi, apakah orang yang memiliki visi besar itu adalah Anda?

Bagi Anda yang tertarik untuk berdiskusi tentang konten, informasi, dan pemasaran dengan saya, Anda bisa langsung menghubungi saya melalui sosial media yang saya miliki. Saya sangat terbuka dengan diskusi dan obrolan-obrolan produktif setiap saat.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.