4 Dampak Buruk Personalisasi Jika Tidak Memperhatikan Privasi

Photo by Thought Catalog on Unsplash

Teknologi internet saat ini semakin canggih dan semakin mudah untuk melacak perilaku seseorang. Kecanggihan ini kemudian meningkatkan perhatian masyarakat terhadap pentingnya privasi terutama yang berkaitan dengan pemasaran produk. Karena itu Brand harus mampu memperhatikan isu ini jika tidak ingin mendapat timbal balik yang buruk dari konsumen. Apa saja risikonya? Berikut adalah ulasannya.

Seperti yang kamu sudah alami saat ini, era internet memungkinkan seseorang ataupun perusahaan untuk melacak perilaku seseorang yang lain dengan sangat mudah. Caranya adalah dengan merekam setiap aktifitas digital yang ada pada alat-alat elektronik di sekitarnya seperti ponsel pintar dan laptop.

Teknologi ini tentu mendatangkan perhatian dari kalangan komersial. Karena mengetahui perilaku konsumen adalah sesuatu yang sangat berharga untuk memberikan produk sesuai kebutuhan. Dari kesadaran ini maka muncullah istilah personalisasi permasaran yang berupa penawaran produk sesuai dengan prediksi solusi apa yang dibutuhkan oleh calon pembeli.

Personalisasi ini tentu saja secara konsep sangat menarik, bayangkan bagaimana seseorang bisa mendapatkan solusi tentang apa yang ia butuhkan bahkan sebelum dirinya bisa menemukan jawabannya. Personalisasi juga bisa membantu seseorang untuk tidak lagi mengalami kebingungan dalam memilih produk.

Tidak ada lagi yang namanya bingung memilih dan menentukan. Karena semuanya sudah diprediksi oleh kecerdasan buatan dan disesuaikan dengan profil masing-masing orang. Kecerdasan buatan akan dengan mudah memetakan pola kebiasaan seseorang sesuai dengan kategori uniknya masing-masing, kemudian memberikan tawaran yang kira-kira cocok untuk orang tersebut.

Misalnya, saya ingin membeli sebuah laptop. Sebelum melakukan pembelian saya akan melakukan pencarian menggunakan ponsel pintar yang saya miliki. Saya mencari beberapa tipe yang sekiranya cocok dengan dana yang saya miliki.

Singkat cerita saya menemukan tiga produk dari tiga Brand yang menurut saya cocok. Namun sayangnya, saya memutuskan untuk tidak membeli salah satu dari ketiganya saat itu karena secara mendadak ada pengeluaran yang harus dilakukan. Alhasil rencana untuk membeli laptop tertunda.

Lalu apa yang terjadi?

Photo by Duncan Meyer on Unsplash

Ternyata beberapa hari kemudian secara tiba-tiba muncullah kembali iklan tentang produk laptop yang sempat saya favoritkan tersebut. Namun kini dengan tawaran yang lebih menggiurkan dengan gimmicik diskon, aksesoris dan juga perangkat lunak. Harganya pun menjadi sangat ekonomis dan saya menjadi kembali tertarik untuk membeli.

Apakah saya kemudian membeli? Kamu tidak perlu tahu jawabannya. Karena membeli atau tidak membeli, kisah di atas sebenarnya hanyalah untuk menggambarkan bagaimana teknologi personalisasi bekerja sesuai perilaku konsumen.

Dalam hal keputusan pembelian tentu akhirnya tergantung pada keputusan yang dilakukan oleh konsumen. Tetapi untuk mencapai pembelian, calon pembeli akan terus menerus dipengaruhi oleh program marketing yang akan terus berusaha meyakinkan calon konsumen untuk membeli.

Apakah teknologi personalisasi seperti ini baik? Bisa jadi baik karena saya yang mulanya kesulitan untuk memilih menjadi mudah memilih Saya pun sebagai konsumen juga mendapatkan solusi yang tepat karena produk menjadi terjangkau.

Meski begitu menarik dan terdengar baik, nyatanya praktek personalisasi malah membuat konsumen ketakuktan pada Brand. Hal ini terungkap dari hasil survei Privacy Report yang dilakukan oleh SmarterHQ pada tahun 2019. Survei yang berusaha menemukan apa respon konsumen terhadap teknologi personalisasi yang banyak diterapkan pada marketing tersebut menjelaskan bahwa konsumen sangat memperhatikan aspek privasi data saat berurusan dengan Brand.

Dalam laporan yang melibatkan 1.000 konsumen dari empat generasi usia, Gen Z, Millennials, Gen X dan Baby Boomer tersebut menemukan beberapa hal menarik tentang privasi yang harus Brand perhatikan.

Generasi Muda semakin mementingkan privasi

Berdasarkan hasil yang dipublikasikan SmarterHQ, dinyatakan bahwa Gen Z dan Millennials adalah generasi yang paling perhatian pada pentingnya privasi dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Angka persentasenya pun cukup tinggi yakni 47% Gen Z dan Millennials menganggap privasi adalah hal yang penting.

Privasi apa yang sebenarnya dianggap penting oleh kedua generasi tersebut? Jawabannya adalah terkait dengan data-data pribadi yang rawan untuk disalahgunakan.

Perhatian tersebut diungkapkan pada bahasan tentang hal-hal apa saja yang membuat mereka takut pada personalisasi pemasaran. Mereka mengaku terganggu dengan notifikasi yang tiba-tiba muncul menawarkan produk yang sebelumnya telah mereka lihat.

Generasi muda juga merasa ngeri dengan notifikasi yang mengingatkan kembali untuk membeli produk-produk yang rutin perlu dibeli seperti pasta gigi, sabun dan peralatan pribadi lainnya.

Sumber: SmarterHQ

Tidak hanya itu mereka juga mengaku risih dengan iklan yang menayangkan produk atau Brand yang sebelumnya pernah dilhat atau dicari.

Berdasarkan respon generasi Z dan Millennials tersebut terlihat bahwa personalisasi ternyata malah berpotensi untuk membuat takut calon konsumen.

Jika konsumen takut pada penggunaan data yang menyalahi batas privasi, apa yang akan terjadi?

Dampak Penyalahgunaan Data Privasi oleh Brand

Konsumen di era internet dan sosial media saat ini tidak seperti dahulu yang tidak memiliki kekuatan ketika Brand semena-mena pada mereka. Konsumen saat ini memiliki kekuatan yang tidak kalah besar untuk “membalas” kerugian yang mereka alami akibat Brand yang menyalahi batas-batas privasi.

Berdasarkan laporan SmarterHQ setidaknya ada empat dampak buruk personalisasi jika Brand tidak memperhatikan privasi konsumen:

Photo by Ben White on Unsplash

1. 68% konsumen akan menceritakan pengalaman menakutkan itu pada keluarga dan teman

Konsumen adalah pihak yang tidak akan segan-segan menyebarkan kabar pada orang di sekitarnya. Termasuk dalam hal mengabarkan pengalaman buruk yang ia alami ketika berinteraksi dengan Brand akibat personalisasi yang berlebihan.

Kamu bisa lihat persentasenya, ketika konsumen merasa terganggu dengan Brand yang memanfaatkan data pribadi berlebihan separuh dari konsumen akan menyebarkan cerita dengan orang terdekat. Cerita buruk yang dialami oleh kerabat dekat biasanya cenderung mudah menyebar dan diamini, sehingga pengalaman menakutkan konsumen kemungkinan besar akan memengaruhi keputusan pembelian.

2. 63% konsumen akan berhenti untuk membeli dari perusahaan

Jangan pernah berpikir bahwa konsumen yang kecewa masih akan kembali membeli Brand kamu. Karena nyatanya lebih dari separuh konsumen akan berhenti membeli produk dari Brand jika mereka mendapati personalisasi yang membuat mereka takut.

Berhenti membeli itu artinya mereka bisa saja menutup akun, tidak lagi mengunjungi toko, berhenti follow, dan banyak cara protes lainnya yang akan benar-benar menghentikan interaksinya dengan Brand. Jika sudah seperti ini, tentu Brand akan terkena dampak secara finansial.

3. 41% akan memberikan ulasan negatif

Cara untuk melampiaskan rasa frustasi pada Brand dari para konsumen salah satunya adalah dengan memberikan ulasan negatif. Ulasan negatif memiliki dampak tidak hanya saat ini tetapi juga di masa depan. Karena ulasan negatif akan mencegah calon pembeli baru untuk membeli produk yang Brand tawarkan.

Ulasan negatif juga kerap kali mencegah terjadinya proses rekomendasi yang padahal, sering mendatangkan konsumen baru. Itu kenapa ulasan negatif memiliki dampak yang luas biasa pada Brand.

4. 33% akan menceritakan pengalamannya di sosial media

Jika awalnya hanya bercerita di kalangan kerabat dan teman dekat. Selanjutnya adalah konsumen akan menceritakan pengalaman buruk di sosial media. Sosial media adalah jaringan audiens dan orang-orang yang asing, namun kerap kali menganggap rekomendasi yang diterima adalah valid.

Contohnya adalah seperti para selebritas atau influencer yang akan terus dilihat dan dipandang oleh penggemarnya termasuk perilakunya dalam menggunakan produk.

Cerita pengalaman buruk dengan Brand merupakan dampak terburuk dari reputasi perusahaan. Apalagi jika cerita yang disampaikan menjadi viral dan dilihat banyak orang. Brand yang dibangun bertahun-tahun bisa lenyap dalam waktu singkat.

Dari empat dampak buruk yang bisa dialami oleh Brand tersebut, SmarterHQ juga menjelaskan bahwa konsumen perempuan akan cenderung melakukan salah satu dari empat tindakan di atas. Persentasenya mencapai 15% dari konsumen perempuan akan langsung bertindak saat mereka dikecewakan. Jadi Brand memang harus lebih berhati-hati soal privasi untuk perempuan.

Nah, ketika sudah mengetahui kalau privasi adalah aspek yang penting bagi konsumen. Kira-kira apa yang harus dilakukan oleh Brand? Salah satu hal yang harus diperhatikan tentu saja penjelasan tentang bagaimana Brand menggunakan data yang mereka peroleh.

Brand perlu untuk menjelaskan setiap penggunaan datanya pada dokumen Kebijakan Privasi dan Panduan Pengguna. Leat dokumen ini konsumen bisa mempelajari dampak apa yang bisa timbul ketika konsumen memutuskan untuk membeli produk dari sebuah Brand.

Tentu menuntut konsumen untuk membaca dokumen legal bukan hal yang mudah. Tetapi ketika Brand sudah menyediakan dokumen tersebut, maka sebenarnya Brand sudah memiliki itikad baik untuk memberikan pelayanan yang baik pada konsumen.

Nah bagaimana? Apakah masih berani untuk menyepelekan kebijakan privasi? Semoga tidak ya karena generasi muda, terutama generasi Z adalah pasar potensial yang akan semakin berperan penting dalam perekonomian. Nielsen Indonesia bahkan menyebutkan bahwa Gen Z saat ini begitu mahir untuk memiliki pendapatan, itu semua berkat kemampuan mereka yang fasih dalam menggunakan perangkat teknologi internet dan sosial media.

Jadi jangan sampai ya Brand milikmu menyepelekan privasi hanya karena ingin melakukan marketing yang tidak sesuai etika privasi dan pariwara.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.