Ternyata Iklan Membuatmu Tidak Bahagia, Ini Penyebabnya.

Ketika iklan malah membuatmu merasa tidak memiliki kemampuan dan merasa lebih buruk dari orang lain

Photo by Robert Bye on Unsplash

Pernahkah kamu menemukan sebuah iklan barang yang kamu idam-idamkan sejak lama. Namun kamu hanya bisa melihatnya tanpa bisa membelinya dalam waktu dekat. Perasaan kalah dan sedih karena tidak bisa membeli ini adalah dampak dari iklan yang membuat kita merasa tidak bahagia.

Hasil penelitian yang mengungkap bahwa iklan ternyata membuat kita tidak bahagia ini dirilis dari Universitas Warwick yang melakukan survey pada 900.000 penduduk di 27 negara di eropa mulai tahun 1980 hingga 2011. Profesor Andrew Oswald dan tim penelitinya melihat data pengeluaran iklan di setiap negara tersebut dalam periode yang sama.

Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Prof. Oswald adalah ternyata ada konteksi antara kebahagiaan dengan tingkat iklan. Semakin tinggi pengeluaran iklan di sebuah negara dalam satu tahun, membuat masyarakatnya menjadi kurang bahagia.

Penelitian ini tentu saja menjadi kontroversi bagi brand yang mengandalkan iklan untuk mengenalkan produknya pada pasar. Namun Profesor Oswald memang telah melakukan penelitian terkait kebahagiaan selama 30 tahun lebih dan penelitian ini melihat sudut tingkat kebahagiaan kolektif yang terdampak akibat iklan.

Dampak iklan pada kebahagiaan

Penjelasan dari efek iklan ini sebenarnya sederhana. Bahwa iklan memberikan efek aspirasi pada orang yang melihatnya. Tentu jika aspirasi yang dihasilkan adalah membuat orang tergerak untuk melakukan kebaikan atau tindakan tertentu itu sesuatu yang baik. Namun bagaimana jika aspirasi yang dihasilkan lebih kepada rasa iri dan merasa tidak berdaya.

Seperti yang saya ilustrasikan di awal artikel ini. Saat kita melihat sebuah iklan makanan, barang mewah, barang bagus, barang idaman kita akan tergerak untuk membelinya. Masalahnya tidak semua orang memiliki kemampuan itu. Sementara orang lain yang mampu untuk menjangkau dan membeli produk tersebut akan terlihat lebih bahagia.

Apakah ini hanya karena seseorang tidak bisa menerima kondisi diri dan kemudian iri pada orang lain? Rasanya tidak. Terutama jika kamu perhatikan bagian merasa tidak berdaya untuk membeli sesuatu yang ada di iklan.

Perasaan tidak berdaya ini terjadi karena seseorang tidak memiliki sumber daya seperti uang. Atau lebih jauh karena karir yang tidak cemerlang atau bahkan karena merasa dirinya kurang beruntung.

Penelitian Prof. Oswald memperlihatkan bahwa ketika dalam sebuah kelompok hampir setiap orang dapat membeli barang yang diiklankan. Orang yang tidak bisa membeli akan merasa kurang bahagia. Itu mengapa iklan akan memengaruhi kebahagiaan kolektif.

Hal ini tentu saja juga terjadi melalui sosial media. Berbagai macam penelitian telah dilakukan berkaitan dengan rasa bahagia seseorang akibat terpapar iklan ataupun barang yang digunakan oleh influencer dan teman-temannya yang ada di sosial media.

Di level ini mungkin kita mulai bertanya, apa solusinya ya?

Masalahnya hampir tidak ada peraturan di dunia yang membatasi jumlah iklan. Mungkin hanya sekadar iklan fisik di kota yang biasanya ditujukan untuk menjaga keindahan kota. Namun dalam hal mengapa iklan perlu diatur karena memiliki dampak psikologi terutama kebahagiaan belum ada peraturan tentang itu.

Kritik dan penelitian Prof. Oswald tentu saja ditujukan kepada pengaturan terkait periklanan ini. Dan berharap di masa mendatang ada peraturan yang mengatur tentang hal ini.

Bagi saya tentu hasil penelitian seperti ini membuat profesi pemasar dan sejenisnya berpikir lebih dalam. Bagaimana caranya menawarkan produk dan solusi tanpa memberikan dampak negatif pada kebahagiaan kolektif. Mengingat pemasar selalu memerlukan sorot mata dan awareness yang tinggi pada sebuah produk.

Belum lagi soal iklan yang intrusif dan iklan yang memicu orang untuk segera bertindak. Seperti teknik kelangkaan yang membuat seseorang tergesa untuk membeli tanpa memiliki kesempatan untuk memikirkan dampak ketika membeli terlebih dahulu.

Diakui atau tidak semua teknik-teknik rekayasa sosial (social engineering) adalah teknik-tenik yang digunakan oleh banyak marketer. Bahkan bagi saya yang berusaha memperhatikan aspek etis dalam memasarkan produk.

Content marketing bisa membuat konsumen bahagia

Tentu saja ini adalah sebuah tantangan, dan saya yakin content marketing kondisi periklanan bisa berubah.

Mengapa? Karena content marketing bergerak secara alamiah. Tidak memaksa dan bahkan memberikan banyak pengetahuan dan interaksi sosial yang tanpa manipulasi. Content marketing selama ini dikenal sebagai marketing yang bersifat inbound atau tidak agresif.

Saya percaya bahwa melalui konten seperti artikel ini atau grafis-grafis di sosial media yang lebih persuasif dan edukatif akan lebih bisa memberi rasa nyaman dan aman pada konsumen.

Konsumen akan tidak tergesa dan juga tidak berusaha membandingkan produk yang ia gunakan pada orang lain. Selain itu konsumen juga akan lebih tertarik berbagi informasi dan pengetahuan dari pada memamerkan produk yang mereka gunakan.

Konten-konten dari marketing hendaknya adalah konten yang bisa menemani konsumen setiap saat. Tidak heran jika kemudian content marketing juga memiliki fungsi untuk menjaga loyalitas. Alasannya tentu saja konten adalah cara dari brand untuk memberikan value lebih. Sehingga konsumen tidak dianggap sebagai sumber uang semata tetapi juga rekan dan partner bagi brand.

Memang, pada akhirnya content marketing tidak memberikan hasil yang instan. Bahkan menurut penuturan banyak brand, content marketing kerap dipandang sebagai permainan jangka panjang yang tetap bisa dilakukan sembari melakukan pemasaran konvensional.

Hanya pelengkap? Saya kurang setuju jika content marketing hanya dianggap sebagai pelengkap. Sebab berpikir strategis tidak bisa hanya menganggap sebuah langkah sebagai tambahan atau opsional. Tetapi setiap langkah harus penting dan diprioritaskan.

Content marketing itu untuk yang percaya pada branding

Itu sebabnya saya percaya bahwa content marketing lebih tepat dilakukan oleh brand yang percaya bahwa metode ini dapat mendukung reputasi brand dan aktifitas branding. Sebab branding menuntut adanya konsistensi dan kualitas komunikasi setiap saat dan setiap waktu.

Bahkan dalam survey tentang kepercayaan pada brand yang dilakukan oleh Edelman, brand dituntut untuk bisa turut berpartisipasi dalam kebaikan masyarakat.

Apalagi jika brand ingin mendapatkan loyalitas pelanggan melalui perhatiannya pada membedayakan konsumen sebagai pihak yang terlibat dan mendapatkan manfaat. Ini yang dimaksud dalam survey Edelman bahwa brand harus bisa turut memberi dampak pada masyarakat.

Bayangkan jika sebuah brand teknologi finansial mampu memberi solusi keuangan dan membantu perbaikan nasib seseorang melalui edukasi, pengetahuan dan pelatihan. Tentu akan sangat janggal jika konsumen yang sudah merasakan manfaatnya namun tidak ingin mengajak orang lain untuk mendapat manfaat yang sama.

Inilah fungsi dari content marketing. Tidak hanya untuk mengantarkan calon konsumen menjadi konsumen kemudian menjadi loyalis dalam sebuah ekosistem marketing ataupun lorong marketing. Tetapi juga untuk menjadikan mereka sebagai sosok yang penting yang juga turut berperan dalam keberlangsungan brand.

Dan tentu saja semua itu akan memberikan kebahagiaan bersama, tidak hanya untuk pasar tetapi juga untuk perusahaan.

Jadi bagaimana menurutmu? Apakah content marketing akan menjadi metode yang akan dipilih untuk brandmu? Kamu bisa hubungi saya untuk berdiskusi dan berbincang lebih jauh tentang content marketing.

Terima kasih telah membaca. Semoga bermanfaat.

Follow TEKNOIA untuk terus mendapatkan update seputar Marketing, Bisnis, Teknologi dan Inovasi. Atau jika ingin menjadi penulis tamu untuk TEKNOIA, Anda bisa menghubungi editor kami Bagus Ramadhan untuk menjadi writer.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.