Mengenal Dunia Metaverse Ala Mark Zuckerberg

Satu langkah menuju masa depan

Beberapa minggu terakhir, nama Bos besar Facebook, Mark Zuckerberg kembali ramai dibicarakan. Terhitung, CEO perusahaan teknologi multinasional asal Cambridge, Massachusetts ini memang kerap kali menjadi bahan pembicaraan di media sosial.

Namun, naiknya nama Zuckerberg kali ini tidak disebabkan oleh turunnya performa situs Facebook ataupun Instagram, melainkan karena keputusannya untuk mengubah nama perusahaannya dari “Facebook” menjadi “Meta”.

Dilihat sekilas, tidak ada yang janggal dari keputusan beliau. Namun, apa yang menjadikannya kontroversial adalah bahwa bergantinya nama perusahaan besutan Mark Zuckerberg ini adalah langkah awal Mark dalam mewujudkan teknologi “Metaverse” dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.

Lho, Memangnya apa sih Metaverse itu? Dan mengapa keputusan ini membuat Mark Zuckerberg menjadi buah bibir warganet?

Apa itu Metaverse?

Snow Crash (openculture)

Istilah Metaverse pertama kali muncul dari penulis fiksi ilmiah Neal Stephenson di novelnya yang berjudul Snow Crash yang dirilis pada 1992.

Secara etimologi, Metaverse (Meta semesta dalam Bahasa Indonesia) sendiri diambil dari kata “meta” dan “universe”. Meta adalah sebuah kata awalan yang berarti “di atas”.

Contoh penggunaan meta sendiri misalnya adalah metacarpus (tulang jari setelah pergelangan tangan), metalanguage (bahasa yang digunakan untuk menggambarkan bahasa lain) dan metamorphosis (perubahan bentuk).

Secara harfiah, Metaverse sendiri adalah sebuah “semesta” kedua yang lebih tinggi dan canggih daripada semesta yang sekarang kita tinggali saat ini. Hal ini sesuai dengan definisi Metaverse yang merupakan sebuah ide untuk menciptakan sosial media berbasis dunia virtual, dengan sistem rendering tiga dimensi untuk menghasilkan sensasi yang “nyata”, sama, atau bahkan setingkat lebih tinggi dari dunia nyata bagi para penggunanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, Metaverse mungkin terdengar seperti definisi dari teknologi VR (Virtual Reality) yang sudah diterapkan ke berbagai sosial media maupun permainan daring. Namun, terdapat sebuah perbedaan fundamental yang menjadi dinding pemisah antara kedua teknologi ini.

Apabila Virtual Reality hanya memberikan umpan balik dalam bentuk audiovisual bagi penggunanya, maka Metaverse digadang-gadang akan memberikan pengalaman yang lebih nyata. Hal ini semakin diperkuat setelah Zuckerberg dikonfirmasi sedang mengembangkan sebuah sarung tangan yang dapat memberikan umpan balik berupa sentuhan, tekstur bagi indera peraba penggunanya.

Teknologi sarung tangan haptic Mark Zuckerberg (wionews)

Oleh karena itu, ketimbang disebut sebagai “kembaran” dari Virtual Reality, Metaverse jauh lebih cocok disebut sebagai “pengembangan” atau “peningkatan” dari teknologi Virtual Reality.

Ilustrasi Metaverse dalam Budaya Populer

Ready Player One (IMDB)

Sepertinya sudah menjadi rahasia umum bahwa umat manusia berandai-andai akan sebuah teknologi yang dapat menciptakan dunia virtual, atau dunia kedua yang bisa ditinggali dan dijelajahi oleh manusia.

Sama seperti Neal Stephenson yang menuangkan imajinasinya akan dunia virtual ke dalam novelnya, ada banyak penulis ataupun sutradara yang mengadaptasi tema “dunia virtual” ke dalam fiksi-fiksi karangannya.

Salah satu contoh yang populer adalah film fiksi ilmiah berjudul “Ready Player One”. Ready Player One adalah novel fiksi ilmiah dystopian 2011 karya Ernest Cline, yang menggambarkan dunia pada tahun 2045 sedang dicengkeram oleh krisis energi dan pemanasan global, yang menyebabkan masalah sosial dan stagnasi ekonomi yang meluas. Pelarian utama bagi orang-orang adalah sebuah metaverse yang disebut OASIS, yang diakses dengan headset VR dan sarung tangan kabel.

Kemudian, teknologi dunia virtual atau metaverse ini juga hadir sebagai tema utama dalam seri novel ringan Jepang berjudul “Sword Art Online”. Berlatar di tahun 2022, Sword Art Online (SAO) menceritakan tentang teknologi virtual reality telah berkembang pesat, dan game role-playing online besar yang disebut Sword Art Online (SAO) diluncurkan. Dengan bantuan teknologi bernama “NerveGear”, pemain dapat mengontrol avatar mereka di dalam gim hanya dengan menggunakan pikiran mereka sendiri.

Apabila kita gali lebih dalam, ada begitu banyak fiksi yang terinspirasi dengan konsep virtual reality ataupun metaverse. Tentu kita tidak akan bisa membahas semuanya, namun hal ini membuktikan betapa besarnya ambisi manusia dalam mewujudkan teknologi metaverse.

Metaverse dalam pandangan Mark Zuckerberg

Ilustrasi Metaverse ala Mark Zuckerberg (journaldugeek)

Mark Zuckerberg memang tidak main-main dalam mengembangkan teknologi Metaverse. Dalam sebuah wawancara di AP News, Zuckerberg menjelaskan bahwa Metaverse yang ingin ia dan perusahaannya ciptakan sebagai sebuah lingkungan virtual yang bisa “dimasuki” oleh penggunanya, alih-alih hanya melihat di layar.

“Saya pikir banyak orang, ketika mereka berpikir tentang metaverse, mereka hanya berpikir tentang virtual reality — yang menurut saya akan menjadi bagian penting dari itu. Dan itu jelas merupakan bagian yang sangat kami investasikan, karena teknologilah yang memberikan bentuk kehadiran yang paling jelas. Tetapi metaverse bukan hanya sekadar virtual reality, Ini akan dapat diakses di semua platform komputasi kami yang berbeda; VR dan AR, tetapi juga PC, dan juga perangkat seluler dan konsol game. Omong-omong, banyak orang juga menganggap metaverse sebagai sesuatu yang terutama tentang game. Dan saya pikir hiburan jelas akan menjadi bagian besar dari itu, tetapi saya tidak berpikir bahwa ini hanya permainan. Saya pikir ini adalah lingkungan yang terus-menerus dan sinkron di mana kita bisa bersama, yang menurut saya mungkin akan menyerupai semacam hibrida antara platform sosial yang kita lihat hari ini, tetapi lingkungan di mana Anda diwujudkan di dalamnya.”

Dalam wawancara di atas, Zuckerberg juga menjelaskan bahwa teknologi Metaverse ini akan mengembangkan, serta menggabungkan virtual reality dan sejumlah teknologi lain.

Ambisi Zuckerberg dalam menciptakan Metaverse versinya semakin ditegaskan dalam kata-katanya, “Ini adalah evolusi berikutnya dari konektivitas di mana semua hal mulai bersatu dengan mulus. Metaverse, adalah sebuah semesta kedua, yang dapat membuatmu hidup di kehidupan virtual, sama persis dengan hidup di kehidupan fisik.”

Teknologi Metaverse yang disajikan oleh Meta disebut sebagai sebuah dunia tanpa batas, di mana orang-orang bisa saling berinteraksi, bertemu, bermain, hingga bekerja secara virtual. Dunia virtual ini nantinya bisa diakses dengan menggunakan perangkat headset virtual reality, kacamata augmented reality, ponsel pintar, dan sejumlah perangkat lain.

Seolah-olah tidak ingin embel-embel “dunia tanpa batas”-nya dianggap sebagai gimmick belaka, Zuckerberg juga menjelaskan bahwa para pengguna bisa melakukan apa yang biasa mereka lakukan di dunia nyata di Metaverse; bisa menghadiri konser virtual, melakukan perjalanan online, membeli pakaian digital, hingga bertemu dengan rekan kerja secara virtual sebagai solusi work-from-home.

Namun, dari segudang inovasi dan teknologi yang dibeberkan di atas, sebuah pertanyaan pun timbul: apakah umat manusia siap dengan lonjakan teknologi metaverse?

Metaverse dan dampaknya terhadap kehidupan manusia

Photo by Elisa Ventur on Unsplash

Jauh sebelum berganti nama menjadi “Meta”, Facebook sendiri terkenal karena sempat tersandung oleh beberapa isu, serta kasus yang melibatkan privasi para pengguna.

Salah satu yang paling terkenal adalah Skandal data Facebook –Cambridge Analytica. Dilansir dari The Guardian, skandal ini melibatkan pengumpulan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica pada tahun 2014. Data ini kemudian digunakan untuk memengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politikus yang mengontrak Cambridge Analytica.

Setelah kebocoran ini diketahui, Facebook meminta maaf dan mendapat kecaman masyarakat serta penurunan harga saham. Facebook menilai bahwa pengumpulan data oleh Cambridge Analytica “tidak pantas dilakukan”

Sejak kasus itu, Mark Zuckerberg, beserta platform-platform sosial media yang berada di bawah naungannya, identik dengan label “tidak ramah dengan privasi pengguna”.

Kekhawatiran para warganet diperkuat dengan pernyataan Meta yang berencana untuk mempertahankan iklan bertarget dalam metaverse, meningkatkan kekhawatiran lebih lanjut terkait dengan penyebaran informasi yang salah dan hilangnya privasi pribadi.

Pelopor AR Louis Rosenberg memperingatkan bahwa metaverse bisa lebih terpolarisasi daripada media sosial, mendorong orang dari gelembung informasi mereka ke “realitas ciptaan mereka sendiri” dan bahwa pengguna dapat secara selektif “memblokir realitas” bagian masyarakat yang tidak mereka sukai.

Adapun salah satu permasalahan yang menghambat perkembangan metaverse adalah kekhawatiran para ahli akan timbulnya kecanduan internet, dan menghasilkan dampak negatif yang berpengaruh kepada kondisi fisik dan mental pengguna. Sebut saja depresi, kecemasan, ketergantungan gadget, hingga obesitas. Para ahli juga khawatir bahwa metaverse dapat digunakan sebagai ‘pelarian’ dari kenyataan dengan cara yang mirip dengan teknologi internet yang sudah ada.

Terakhir, karena perkembangan metaverse dapat dibuat untuk menyesuaikan dunia maya secara algoritmik berdasarkan keyakinan masing-masing orang, metaverse selanjutnya dapat mendistorsi persepsi pengguna tentang realitas dengan konten yang bias untuk mempertahankan atau meningkatkan keterlibatan.

Bagaimana menurutmu? Apakah manusia sudah siap dengan kehadiran dunia metaverse ini, atau malah gagasan mengenai metaverse ini masih terlalu cepat untuk direalisasikan ke dunia nyata?

Tentunya, dengan begitu banyaknya inovasi teknologi baru yang terus hadir, penting bagi kita untuk tetap melek dan awas terhadap perkembangan teknologi. Salah satu cara yang bisa kamu lakukan adalah dengan follow TEKNOIA untuk update berita dan artikel seputar data, informasi dan inovasi teknologi dari berbagai penjuru dunia.

--

--