Kondisi Mental yang Jadi Momok Pekerja Kerah Kuning: Burnout

Photo by Nijwam Swargiary on Unsplash

Kreativitas di era saat ini jadi kemampuan semakin dibutuhkan. Sebab kita tidak lagi bekerja berdasarkan kekuatan fisik melainkan kemampuan mental untuk berpikir mencari solusi dan memberikan inovasi. Sayangnya, menjadi kreatif tidaklah mudah dan cenderung membuat seseorang malah mengalami creative burnout atau yang disebut dengan kelelahan mental akibat aktivitas kreatif.

Kamu yang mungkin mengawali sebuah projek kreatif dengan semangat, tiba-tiba mendapati diri merasa mental sangat lelah, tubuh tidak bersahabat dan tidak punya dorongan untuk menyelesaikan. ini adalah tanda-tanda awal dari kondisi burnout yang sayangnya jarang disadari.

Padahal dampaknya bisa sampai ke keberlangsungan karir dan reputasi seseorang. Sebab baik klien, audiens, atau partner kerja akan melihat kita seperti pemalas yang tidak ingin bekerja, sedangkan kita merasa sangat letih dan tidak punya kemampuan untuk bergerak. Sebagian bahkan merasa sakit kepala akibat tekanan yang terjadi.

Tuntutan untuk menjadi kreatif terutama kalangan pekerja kerah kuning (yellow collar worker) membuat mereka mudah untuk mengalami burnout. Menyadari dampak dari kondisi mental ini, kita sebagai pekerja kreatif perlu untuk lebih paham apa itu burnout, apa pemicunya dan bagaimana menanganinya dengan baik.

Sebelum memulai, kita bisa mengamati bagaimana tren pencarian tentang burnout secara global menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Artinya, dengan gaya hidup dan pekerjaan terus berkembang, kondisi burnout sepertinya terus mengikuti. Jika saya boleh mengorelasikannya dengan tren pekerjaan kreatif, bisa jadi keduanya saling berkaitan. Meski dugaan saya ini perlu diteliti lebih jauh, karena saya tidak memiliki data yang pasti.

Jadi, apa itu sebenarnya burnout?

Memahami burnout

Burn out secara jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya adalah terbakar habis. Tapi dalam konteks medis kesehatan mental, istilah ini merujuk pada kondisi psikologis seseorang yang kehilangan semangat untuk melanjutkan apa yang seharusnya dia selesaikan. Tanda yang paling kentara adalah merasa kelelahan secara emosi kemudian diikuti kelelahan fisik.

Menurut para psikolog dan peneliti

Salah satu psikolog yang cukup awal membahas tentang kondisi ini adalah Herbert Freudenberger dalam jurnalnya yang menyoroti tentang burnout di kalangan para pekerja tahun 1974. Herbert kemudian membahas kondisi ini dengan lebih detil di bukunya Burnout: The High Cost of high Achievement yang terbit terbit tahun 1980. Herbert menjelaskan bahwa burnout setidaknya bisa dimaknai sebagai hilangnya motivasi atau insentif, ketika seseorang terlalu berkomitmen pada sebuah aktifitas atau hubungan yang gagal untuk memberikan hasil yang diinginkan.

Penjelasan Herbert mungkin membuat kita tercengan, terlalu berkomitmen kok malah burnout? Bagaimana mungkin? Nyatanya Herbert menemukan hal demikian. Menurutnya, mereka yang mengalami burnout adalah mereka yang bekerja sangat intens, berdedikasi, sehingga bekerja terlalu lama kemudian memandang kebutuhan pribadinya tidak terlalu penting. Penjelasan ini, bagi saya sangat masuk akal, karena saya pun mengalaminya.

Di era yang sama tepatnya pada tahun 1978 Christina Maslach dan Ayala Pines melakukan penelitian tentang kondisi burnout pada para staf di fasilitas kesehatan. Maslach berusaha untuk memetakan apa saja tanda-tanda dari seorang staf yang mengalami burnout.

Tiga tahun berselang Christina Maslach dan Susan Jackson kemudian berusaha menyusun sebuah cara untuk mengukur tingkat kondisi burnout seseorang yang disebut dengan Maslach Burnout Inventory (MBI). Hingga saat ini MBI terus dikembangkan dan menjadi cara paling populer untuk mengukur burnout seseorang.

Kemudian di tahun 1991, Barry Farber mengamati kondisi burnout dikalangan para guru. Dari pengamatannya ini, Farber menghasilkan tiga jenis kondisi seseorang yang mengalami burnout:

Gambar dikutip dari artikel J. Montero-Marín dkk. berdasarkan pengamatan Barry A Farber pada para guru di Amerika Serikat

Pertama, worn-out mereka yang merasa kalah dan tidak lagi komitmen pada pekerjaan karena stres tinggi atau penghargaan yang rendah

Kedua, frenetic adalah mereka yang tidak mau mengakui kewalahan, berusaha untuk menghadapi situasi yang stres dan untuk mendapatkan penghargaan yang layak kemudian bereaksi dengan bekerja lebih keras. Komit lebih sampai akhirnya kehabisan tenaga.

Ketiga, underchallenged adalah mereka yang tidak puas dan merasa kurang stimulasi melakukan hal yang sama terus menerus karena tidak mendapatkan penghargaan layak meski tingkat stres rendah

Farber juga menemukan bukti bahwa para guru yang terlalu idealistik akan lebih mungkin mengalami burnout dibanding para guru lainnya.

Tabel: J. Montero-Marín dkk.

Memasuki era 21, topik stres dan burnout semakin sering dibahas karena kondisi lingkungan kerja yang sangat menuntut. Apalagi ketika pandemi Covid-19 melanda yang memaksa para pekerja harus bekerja dari rumah tanpa bisa melakukan rekreasi atau pun istirahat akibat beban kerja dan aktivitas rumah menjadi satu. Tekanan juga terjadi pada para pekerja garis depan penanganan krisis kesehatan seperti tenaga kesehatan, ataupun pelayanan publik.

Ciri-ciri Burnout

Sebenarnya ciri-ciri burnout biasanya bervariasi tergantung aktivitas, jenis pekerjaan dan lingkungan kerja seseorang. Dalam konteks ini, pekerja kreatif biasanya punya ciri khusus yang berkaitan dengan kreatifitas. Salah satu artikel yang saya temukan dan bisa menjadi ciri yang menurut saya cukup akurat adalah dari Ness Labs yang menyebutkan setidaknya ada 10 ciri pekerja kreatif yang mengalami burnout.

1. Melakukan penundaan

Pekerja kreatif yang cenderung menunda menyelesaikan pekerjaan biasanya merasa tidak memiliki kekuatan mental untuk menyelesaikan. Bahkan jika terjadi dalam jangka panjang dan mengabaikan tenggat waktu, itu sudah menjadi tanda bahwa dia mengalami burnout.

2. Kesulitan menyelesaikan pekerjaan mendasar

Seorang pekerja kreatif yang mengalami burnout akan kesulitan untuk menyelesaikan to-do list hariannya. Padahal dia biasanya bisa menyelesaikan itu semua dengan mudah sebagai pekerja kreatif. Jika pekerja kreatif mulai mengabaikan kerjaan basic, itu bisa jadi tanda burnout.

3. Kelelahan yang konstan

Sudah tidur cukup, tapi masih merasa kelelahan dan mudah hilang konsentrasi adalah tanda yang paling umum kondisi burnouti. Secara spesifik, kelelahan ini berkaitan dengan aktivitas mental yang membutuhkan kreatifitas dan penyelesaian masalah.

4. Stres yang tidak bisa dijelaskan

Pekerjaan kreatif yang selalu berkaitan dengan tenggat waktu dan aktivitas mental yang kompleks membuat dekat dengan stres. Sebenarnya, stres bisa diatur selama masih terkendali. Namun jika merasa mengalami stres terus menerus tanpa tahu pasti apa penyebabnya, bisa jadi itu adalah burnout.

5. Membanding-bandingkan

Ciri burnout yang paling kentara adalah pekerja kreatif mulai meragukan kemampuan sehingga mulai membanding-bandingkan diri dengan keberhasilan hasil kerja kreatif orang lain. Mulai dari produktifitas, prestasi, sampai pendapatan. Membandingkan untuk menjadi referensi atau motivasi tentu menyehatkan, tetapi jika membandingkan untuk menjatuhkan diri sendiri adalah ciri dari burnout.

6. Konsumsi konten yang seimbang

Untuk menghasilkan kreatifitas dibutuhkan input. Pemasukan itu bisa berupa infiormasi atau konten. Namun jika seorang pekerja kreatif secara tidak seimbang melakukan konsumsi konten terus menerus tanpa menghasilkan produk atau karya kreatif, bisa jadi dia mengalami burnout.

7. Takut bangun pagi

Bangun pagi dan memulai aktivitas sehat adalah sesuatu yang bisa merelaksasi pikiran. Tapi jika pekerja kreatif merasa takut dan tidak bahagia bangun pagi, entah akibat insomnia atau takut menghadapi interaksi sosial, itu bisa menjadi tanda burnout.

8. Mulai melakukan kebiasaan tidak sehat

Seseorang yang mengalami burnout cenderung melakukan hal impulsif yang tidak sehat seperti terus menerus ngemil, tidak berolahraga, minum alkohol, dan terus menerus merokok.

9. Mudah tersinggung

Ciri mudah tersinggung berawal dari pekerja kreatif yang merasa frustasi. Penyebabnya bisa karena prestasi yang buruk, tidak mendapatkan apresiasi, atau tekanan pekerjaan yang tiada habis.

10. Meragukan diri

Masih berkaitan dengan membandingkan diri. Seseorang yang mengalami burnout akan meragukan kemampuan diri. Merasa tidak pernah cukup hebat, dan mulai merendahkan hasil karya sendiri. Muaranya adalah menjadi pembenaran bahwa dia gagal mendapat prestasi atau kompensasi yang pantas.

Sepuluh ciri ini agaknya cukup umum terjadi di kalangan kreatif. Saya sebagai pekerja kreatif juga cukup relate dengan ciri-ciri ini. Hal yang paling krusial adalah berkaitan dengan kepercayaan diri yang menghilang ketika burnout terjadi. Akhirnya tidak berkarya dan malah lebih banyak membandingkan diri dengan orang lain.

Ciri yang diberikan Ness Labs mungkin bukan ciri saintifik, tapi lebih seperti tanda umum yang terjadi dari para pekerja kreatif. Lalu bagaimana sudut pandang otoritas memandang kondisi ini? WHO sebagai organisasi kesehatan dunia sebenarnya telah merespon pada tahun 2019 dengan memasukkan burnout ke dalam International Classification of Diseases (ICD-10). Di laman ICD tersebut WHO menyebut bahwa burnout merupakan sindrom yang terjadi akibat stres kronis di tempat kerja yang gagal untuk diatur. WHO kemudian memberikan tiga ciri utama:

  • Perasaan kehabisan energi dan kelelahan
  • Menjauh dari pekerjaan atau aktivitas dan memandangnya dengan negatif atau buruk
  • Merasa tidak efektif dan merasa tidak mencapai sesuatu

Definisi ini jelas sudah mencakup segala pembahasan sebelumnya. Namun meski sudah terdaftar di ICD, WHO menjelaskan bahwa burnout tidak digolongkan sebagai kondisi medis. Kondisi burnout sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja dan jenis profesi seseorang, sehingga penanganannya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Penyebutan burnout bukan sebagai kondisi medis berdampak pada kehati-hatian untuk para psikiater, sehingga tidak disamakan dengan kondisi lain, seperti depresi misalnya. Dalam kondisi status depresi pasien akan harus mengalami terapi obat-obatan yang punya risiko dan dampak samping. Sedangkan rekomendasi yang paling sering untuk burnout adalah terapi kognitif yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang dengan bantuan psikolog.

Sumber api burnout

Berdasarkan buku Maslach dan Leiter yang kini getol meneliti tentang burnout menyebutkan bahwa penyebab burnout setidaknya ada lima:

  • Kelebihan beban kerja (overload work)
  • Kurang kontrol kerja (lack of work control)
  • Sistem imbalan yang tidak memadai (under-rewarded work)
  • Diperlakukan tidak adil (treated unfairly)
  • Konflik nilai (value conflict)

Bagi pekerja kerah kuning yang mengharuskan berpikir dan bekerja dengan berbagai kondisi cukup ekstrim seperti jam kerja dan beban kerja. Beberapa poin penyebab burnout di atas bisa menjadi indikator. Jika seorang pekerja kreatif berada di lingkungan kerja yang menunjukkan tanda-tanda tersebut, dia akan rawan sekali mengalami burnout.

Apalagi, saat ini para pekerja kreatif banyak yang menjadi kontraktor independen dengan berbagai sebutan yang terdengar fancy tapi sangat berbahaya bagi kesehatan mental. Contohnya sebutan freelancer, nomad worker, creativepreneur, dan sebagainya yang sejatinya tetap menempatkan seorang pekerja kreatif sebagai talenta yang rentan.

Dalam sebuah kajian pada para pekerja kreatif oleh SINDIKASI pada 2021 yang lalu disebutkan bahwa mayoritas pekerja kreatif mengalami beban sebagai pekerja yang tidak memiliki perlindungan. Situasi pekerja kreatif semakin berat ketika kondisi krisis seperti pandemi Covid-19 melanda. Tidak mendapat upah, pembatalan kontrak sepihak dan beban kerja yang menumpuk akbiat waktu kerja yang fleksibel adalah pemandangan yang lumrah.

Belum lagi, para pekerja kreatif yang sudah berkeluarga dan membangun rumah tangga. Mereka harus bekerja dari rumah dengan situasi yang tidak sepenuhnya kondusif. Sering kali anak atau urusan rumah menghalangi proses kreatif yang ujungnya membuat hasil kerja tidak optimal. Pilihannya selalu dilematis, antara bekerja atau keluarga.

Sebenarnya, selama saya melakukan riset literatur tentang topik ini, saya juga menemukan beberapa profesi yang umum rentan mengalami burnout. Beberapa di antaranya, dokter, guru, pengusaha, psikiater dan profesi-profesi lain yang sifatnya lebih banyak pada hospitality alias melayani dan yang berkaitan dengan kreatifitas. Termasuk salah satunya adalah penulis seperti yang saya jalani.

Kondisi Saat Ini

Saya yakin orang dengan profesi tersebut ketika sudah mulai berkeluarga, rentan mengalami burnout. Pertanyaannya, mengapa dilema seperti ini sering terjadi? Saya pribadi tidak punya jawabannya, tapi yang jelas semakin sukses seseorang secara finansial, dia akan punya lebih banyak pilihan untuk menyiasati dilema tersebut. Seperti misalnya memiliki tim, punya asisten di rumah, melakukan delegasi pekerjaan dan semacamnya.

Tapi kita juga perlu tahu, akses untuk mendapatkan kemudahan dan pilihan itu membutuhkan keberhasilan dalam pekerjaan dan karir. Tidak mudah untuk menjadi seorang musisi, penulis, ilustrator, aktor, pengisi suara, desainer grafis, kreator konten, pengembang aplikasi, dan berbagai profesi kreatif lainnya untuk mencapai kesuksesan karir yang stabil.

Memang benar bahwa mereka akan bisa mendapatkan uang dari sektor kreatif tersebut, namun jumlahnya cenderung tidak seberapa bila dibandingkan dengan mereka yang menjadi talenta dengan reputasi tinggi yang menurut Signalfire jumlahnya hanya sebanyak dua juta talenta kreatif atau 0,04% dari total keseluruhan talenta kreatif dalam kreator ekonomi.

Bahkan jika merujuk pada data Influencer Marketing Hub, yang merilis Creator Earnings Benchmark tahun 2021 kemarin, dijelaskan bahwa 43% kreator di Amerika Serikat yang merupakan pekerja kerah kuning, mendapatkan pendapatan kurang dari US$50 ribu. Padahal standar layak pendapatan di Amerika Serikat setidaknya adalah sekitar US$68,8 ribu dalam satu tahun.

Gambar: Influencermarketinghub.com

Rendahnya pendapatan termasuk dalam poin tiga yang disebutkan oleh Maslach dan Leiter sebagai penyebab burnout pekerja kreatif. Dan menurut saya, ini adalah penyebab paling dominan dan utama di kondisi lapangan. Berawal dari pendapatan yang rendah, seorang pekerja kreatif akan mempertanyakan kemampuannya dan juga prestasinya.

Ketika seseorang mulai mempertanyakan kemampuan diri, dia akan mulai berpikir bahwa apa yang dilakukannya tidak benar-benar punya arti. Apalagi jika tidak ada apresasi lebih seperti mendapatkan penghargaan atau pencapaian yang signifikan dalam hidupnya. Mereka perlahan akan kelelahan secara mental dan semakin mendapat tekanan baik sosial maupun dari diri sendiri.

Rawannya, burnout disebut-sebut bisa menjadi awal dari kondisi depresi atau gangguan kecemasan seseorang. Jika sudah memasuki kondisi ini, seorang talenta kreatif akan semakin rentan dengan hal-hal yang impulsif dan berbahaya seperti penyalahgunaan obat-obatan, kecanduan alkohol, kecanduan judi, kecanduan game, memutus interaksi sosial, termasuk terputus dari sumber pendapatan yang malah menghalangi seseorang untuk akses pengobatan dan dukungan hidup.

Upaya memulihkan kembali

Dari kondisi dan risiko yang akan dihadapi para pekerja kreatif, maka perlu dilakukan tindakan untuk mencegah ataupun menangani kondisi burnout. Dalam salah satu jurnalnya, Maslach dan Jackson menjelaskan ada beberapa cara yang umum disarankan untuk memulihkan diri dari burnout:

Pertama, disarankan untuk mengubah pola bekerja. Mulai dari mengurangi beban kerja, lebih banyak mengambil cuti atau libur, dan menghindari bekerja lembur;

Kedua, perlu kemampuan menghadapi situasi stres, seperti mengatur pola pikir, mampu mengatur konflik, dan juga manajemen waktu dan energi;

Ketiga, mencari dukungan sosial baik dari kolega atau pun keluarga;

Keempat, menemukan pola dan cara bagaimana melakukan relaksasi pribadi;

Kelima, mempraktekkan dan mempromosikan gaya hidup sehat dan bugar;

Keenam, mengembangkan kemampuan untuk memahami diri dengan lebih baik seperti melakukan refleksi diri, konseling, dan terapi.

Sedangkan Indeed, pada tahun 2021 yang lalu merilis panduan untuk menghindari burnout bagi para pekerja kantoran di situasi pandemi Covid-19 berdasarkan survey pada 1.500 pekerja di Amerika Serikat. Dalam panduan tersebut, disebutkan beberapa cara untuk mencegah terjadinya burnout yang kurang lebih mirip seperti yang telah disarankan oleh Maslach dan Jackson.

1. Ciptakan jadwal yang longgar dan perbolehkan untuk time off.

Hasil survei terungkap bahwa 36% pekerja berharap untuk bisa mendapatkan jatah libur atau keleluasaan waktu bekerja. Hal ini dinilai akan bisa mengurangi beban kerja dan kesempatan untuk pekerja melakukan istirahat yang cukup.

2. Mengutamakan pentingnya keseimbangan kerja dan kualitas hidup (work-life balance)

Kebutuhan untuk memisahkan antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi dinilai mampu memulihakn kondisi. Oleh karena itu para manajer atau atasan harus memprioritaskan kondisi keseimbangan antara kerja dan kualitas hidup.

3. Evaluasi kembali fasilitas dan bonus untuk pekerja

Fasilitas dan bonus yang mungkin sebelumnya tidak fokus pada kondisi mental dan kesehatan pekerja bisa dievaluasi kembali dan disesuaikan untuk mencegah burnout pada para talent.

Sayangnya, apa yang dirilis oleh Indeed merupakan panduan untuk pencegahan burnout pada para pekerja dan bukan para talenta kreatif yang mayoritas adalah pekerja lepas atau pekerja mandiri. Mereka tidak benar-benar dinaungi oleh perusahaan. Mereka bekerja hanya pada para pemilik projek yang membayar mereka berdasarkan kontrak sesuai dengan kesepakatan.

Padahal sering kali para pekerja kerah kuning kesulitan untuk melakukan manajemen pekerjaan. Waktu bekerja yang fleksibel sering digunakan secara serampangan dan tidak teratur sehingga berakibat pada kondisi mental dan tubuh. Hal yang paling sederhana adalah seperti jam kerja dengan tenggat waktu pekerjaan yang sangat terbatas. Padahal beberapa aspek pekerjaan kreatif dengan pemilik projek.

Namun tidak ada referensi yang cukup meyakinkan tentang bagaimana cara pekerja kreatif untuk mengatur pekerjaan. Saya hanya menemukan salah satu artikel dari Fastcompany yang menjelaskan tujuh strategi untuk menghindari overwork yang mungkin bisa kita lakukan. Berikut diantaranya:

1. Know your vision for your business (Pahami visi pekerjaan atau bisnis)

Sebagai pekerja kreatif lepas, seperti kreator konten dsb, memiliki visi dan ekspektasi yang realistis adalah penting. Kita perlu memahami untuk tujuan apa sebenarnya pekerjaan kita. Apakah untuk tambahan pemasukan, untuk pekerjaan utama, atau untuk pengembangan karir di masa depan. Menentukan visi yang tepat akan membuat kita bisa mengatur cara bekerja dengan baik karena akan menentukan bagaimana kita mengatur porsi kerja keseharian.

2. Analyze your numbers (Analisa angka)

Kelemahan yang umum terjadi pada para pekerja kreatif adalah mereka tidak mengukur angka. Baik itu beban kerja atau pun hal yang berkaitan dengan biaya, upah atau pun kebutuhan pribadi. Singkatnya, literasi keuangan rendah sehingga kesulitan untuk menentukan kebutuhan yang layak. Padahal aspek ini juga sangat bisa dinegosiasikan. Dengan bisa menentukan angka yang pas, pekerja kreatif bisa punya keleluasaan finansial. Sayangnya, hal yang sering terjadi adalah jaminan pekerjaan memang tidak ada sehingga para pekerja kreatif memaksa untuk jual murah semata untuk mendapatkan pekerjaan.

3. Get clear about who you’re serving (Perjelas bekerja dengan siapa)

Memahami klien atau pemiliki projek akan membuat pekerja kreatif bisa memahami ekspektasi dan gaya bekerja. Dengan cara seperti ini, seorang pekerja kreatif bisa memegang kendali pada jam kerja berdasarkan dengan siapa mereka bekerja.

4. Block your time for greatest efficiency (Lakukan blok waktu)

Pengaturan waktu, manajemen energi dan penjadwalan adalah hal yang krusial untuk menjamin produktifitas kerja kreatif. Lebih baik bekerja di waktu-waktu yang optimal dari pada harus bekerja lembur dengan waktu yang tidak menentu.

5. Streamline (and delegate) your work (Sederhanakan dan delegasikan kerja)

Sering kali pekerja kreatif merasa pekerjaan yang diterima harus dikerjakan sendirian. Padahal jika mengetahui bahwa kita bisa melakukan pendelegasian, kita akan bisa mengefektifkan waktu dan juga sumber daya yang dimiliki. Jelas tidak bijak jika pekerja kreatif melakukan segalanya sendirian, padahal bisa memberikan kesempatan pada orang lain.

6. Avoid the scarcity thinking trap (Hindari jebakan kelangkaan)

Pola pikir yang salah tentang kesempatan kerja para pekerja kreatif adalah, pekerjaan itu langka dan sulit maka segala kesempatan kerja harus diambil. Padahal dengan perencanaan dan cara bekerja yang efektif, pekerjaan dan reputasi bisa mendatangkan kesempatan bahkan sebelum pekerjaan sebelumnya selesai.

Para ahli menyarankan bahwa para pekerja kreatif harus memiliki upaya marketing yang lebih baik supaya tidak mengalami kelangkaan pekerjaan.

7. Protect your personal time (Lindungi waktu pribadi)

Ada kalanya, pekerja kreatif perlu untuk memiliki waktu pribadi di luar pekerjaan. Waktu pribadi bisa menjadi momen penting untuk memulihkan kondisi diri. Dengan menentukan jadwal yang jelas. Misalnya waktu bekerja dan waktu berada di rumah dengan keluarga, atau bahkan untuk berlibur sendiri.

Jangan biarkan pekerjaan menyita waktu pribadi apapun alasannya. Sebab jika kita terlalu sering melakukan kerja lembur, hal ini juga akan berdampak pada kualitas kerja.

Photo by Neo8iam on Pexels

Simpul api

Saya pribadi merasa bahwa tren burnout rasanya akan masih terus meningkat di masa depan. Mengingat, di masa mendatang pekerja kreatif akan semakin banyak dan penting. Ingat, bahwa pekerja kreatif bukan hanya mereka yang berkutat dengan musik, desain, atau teks saja, tapi juga video dan kode. Semua itu adalah elemen penting dari internet yang semakin hari permintaannya semakin tinggi seiring dengan peradaban informasi.

Burnout ibarat simpul api yang bisa membakar habis kita, jika kita tidak mewaspadai. Jika terlambar kita bisa menjadi abu dan harus bangkit kembali dengan usaha yang tidak sedikit. Jadi lebih baik memutus simpul api.

Pemaparan tentang burnout di atas mungkin belum terlalu komprehensif dan mencukupi untuk menyelesaikan tantangan para pakerja kerah kuning di masa depan. Saya pribadi sebagai pekerja kreatif pun merasa masih membutuhkan pengetahuan yang lebih tentang hal ini. Supaya saya bisa memulihkan diri dan mencegah kembali terjadinya burnout karir di masa depan.

Untuk kamu yang mungkin bekerja sebagai yellow collar worker, semoga artikel ini bisa sedikit memberi pencerahan dan informasi untuk menghadapi burnout. Dan jika kamu merasa sedang mengalami burnout segera untuk melakukan tindakan. Yakinlah, meluangkan waktu untuk memulihkan diri lebih berharga daripada memaksakan diri.

Saya mengibaratkan, ketika kita sudah “cedera”, kita akan sulit untuk kembali ke performa awal. Mungkin bisa, tapi akan sangat membutuhkan upaya yang lebih dan cara-cara yang menyakitkan. Toh, atlet juga tidak setiap hari kan latihan dan berkompetisi. Mereka juga ada waktu istirahat dan luang untuk memulihkan diri. Jadi mulai sekarang atur diri dan mulailah hargai aset terbaik pekerja kreatif: kreatifitas.

Semoga kita bisa menjadi pekerja kreatif yang terus fit dan bisa terus berkarya.

Terima kasih, semoga bermanfaat.

Artikel ini merupakan pengembangan dari Ngerinya Mengalami Burnout

Bagus Ramadhan, pekerja kreatif yang saat ini aktif sebagai penulis lepas, pendiri agensi konten TEKNOIA Creative, inisiator TEKNOIA.com dan direktur Class for Content Creators (CFCC). Juga aktif sebagai beberapa forum kreatif seperti Forum Lingkar Pena Surabaya, dan SINDIKASI.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Content Performer with over 7 years experience, I've led content teams for 10+ tech brands, achieving 500,000+ traffic. Reach me at bagusdr@teknoia.com.