Perubahan Perilaku Belanja Konsumen Indonesia Saat Covid-19

Melihat tren ekonomi Indonesia yang baru di tengah pandemi virus corona

Photo by Kay Lau on Unsplash

Dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 begitu luas dan begitu masif, sehingga benar-benar mengubah tatanan permainan bisnis hampir secara keseluruhan. Para ahli pun berlomba-lomba untuk memetakan, kira-kira bisnis apa yang akan runtuh di masa krisis ini dan bisnis apa yang akan jaya.

Beberapa waktu lalu saya menyimak kultwit dari pak Yuswohady, seorang pakar marketing dari Inventure yang menyebutkan bahwa krisis virus corona akan menimbulkan bentuk ekonomi baru “Stay @Home Economy”. Sebuah kondisi ekonomi yang digerakkan dari rumah ke rumah.

Ekonomi baru, Stay @Home Economy

Ekonomi bentuk baru ini merupakan hasil dari perubahan peta sektor-sektor industri akibat perubahan perilaku konsumen. Saat krisis pandemi, konsumen mengubah perilakunya menjadi mode bertahan hidup dan lebih konservatif.

Konsumen menjadi lebih berhati-hati dan lebih ingin untuk berada di dalam rumah dari pada keluar untuk melakukan konsumsi. Akibatnya, ada sektor industri yang sebelum masa krisis sangat jaya, menjadi jatuh dan mati. Sementara ada pula sektor industri yang meningkat pesat.

Pak Yuswohady melalui infografisnya cukup jelas menggambarkan bagaimana situasi “Stay @Home Economy”. Kamu bisa lihat bahwa di sisi kiri, The Fall atau sektor yang babak belur akibat pandemi pada umumnya adalah sektor yang dahulu menjadi primadona.

Sebut saja industri pariwisata yang ditopang oleh industri penginapan, penerbangan, kuliner, otomotif, olahraga, ritel dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Industri-industri yang sangat bergantung pada berkumpulnya masa dan lalu lintas orang.

Industri-industri tersebut adalah industri yang paling terdampak oleh krisis virus corona. Jika tidak melakukan perubahan dan penyesuaian model bisnis akan bisa terancam tutup.

Selanjutnya adalah di sudut The Rise yang merupakan industri-industri yang justru emerging (tampil) akibat perubahan perilaku konsumen yang lebih soliter. Perilaku konsumen yang akhirnya beralih ke digital membuat banyak industri yang sebelum krisis biasa-biasa saja atau bahkan cenderung rendah menjadi sangat tinggi.

Contohnya adalah industri streaming. Industri komunikasi jarak jauh dan siaran jarak jauh untuk keperluan pekerjaan ini cenderung biasa saja bahkan di konteks Indonesia agak kurang menarik perhatian. Namun setelah pandemi COVID-19 terjadi, pamornya begitu tinggi.

Kemudian peningkatan tertinggi dialami oleh industri jual beli daring atau ecommerce dan delivery. Terbukti saat ini tingkat permintaan jual beli melalui platform melonjak tinggi. Kok bisa? Bukannya konsumen lebih konservatif? Berhati-hati untuk belanja.

Ternyata jual beli online terdorong oleh permintaan kebutuhan-kebutuhan terkait kesehatan dan kebutuhan sehari-hari. Platform-platform jual beli online inilah yang permintaannya meningkat sehingga turut pula menarik industri logistik baik barang maupun pengantaran makanan.

Tentu saja perubahan perilaku konsumen ini menjadi menarik karena telah mampu mengubah tatanan bisnis yang lama menjadi tatanan yang baru. Bila dahulu permintaan pita lebar (bandwidth) internet selalu tidak memenuhi kuota, saat ini infrastruktur internet malah terancam gagal menampung permintaan bandwidth yang melonjak.

Bisa jadi, ketika krisis COVID-19 terjadi infrastruktur internet menjadi semakin mature dan mapan sehingga bisnis digital bisa semakin melaju dengan kencang.

Data perilaku konsumen berdasarkan pencarian daring

Nah yang menarik kemudian adalah, saya mendapatkan data dari iPrice, sebuah layanan mesin pencari vertikal khusus perbandingan harga.

iPrice ternyata berhasil menghimpun data perilaku belanja Online di Indonesia selama krisis COVID-19 terjadi pada sekitar satu bulan terakhir. Data yang dihasilkan ternyata mencengangkan. Bahwa ternyata produk-produk yang dibeli secara online memiliki pola yang unik.

Pola pertama yang coba dipetakan oleh iPrice adalah terkait dengan kebutuhan produk kesehatan, karena memang krisis saat ini berkaitan dengan darurat kesehatan. Hasilnya adalah produk pembersih tangan (hand sanitizer) permintaannya meningkat sebesar 5585 persen. Angka yang sangat mencengangkan.

Sumber: iPrice

Saya yang penasaran mencoba untuk melihat apakah benar lonjakan terjadi untuk produk handsanitizer. Dan ternyata benar, berdasarkan Google Trend terlihat grafik pencarian terkait produk pencuci tangan melonjak tinggi.

Sumber: Google Trend (diakses 14/4/2020)

Kemudian setelah produk pembersih tangan diikuti oleh keperluan-keperluan lain terkait dengan kesehatan misalnya Vitamin C Blackmores, Dettol, alat pengukur suhu badan dan masker.

Hal yang tidak kalah menarik adalah dari sisi perilaku konsumen untuk membeli produk-produk non kesehatan. iPrice memperlihatkan data yang menurut saya agak unik dan cenderung aneh. Data ini sepertinya menarik jika diteliti untuk lebih lanjut.

Yaitu tentang peningkatan kebutuhan webcam. Terkait dengan webcam saya bisa memahaminya karena saya sendiri sempat berniat untuk membeli webcam. Penyebabnya adalah karena saat ini pekerjaan dilakukan melalui rumah sehingga video telekonferen menjadi kebutuhan sehari-hari. Work from Home atau WFH adalah alasan dibalik meningkatnya kebutuhan webcam. Peningkatan webcam ini tentu terdorong oleh peningkatan dari sektor industri streaming seperti yang sudah disinggung sebelumnya.

Hal yang sejujurnya sangat-sangat unik adalah produk-produk berikutnya, seperti permintaan sepeda, kertas folio, nintendo bahkan anggur merah. Saya jelas bertanya-tanya, apa motif yang mendorong perilaku konsumen yang seperti ini.

Sepeda? Mengapa momen #dirumahaja malah meningkatkan permintaan sepeda? Apa korelasinya?

Sumber: iPrice

Kemudian kertas folio, saya sedikit berdiskusi dengan istri saya, bisa jadi kertas folio banyak dibutuhkan karena proses belajar mengajar banyak dilakukan di rumah. Tapi kenapa bukan buku tulis ya. Entahlah.

Selanjutnya adalah Nintendo, di saat orang tidak memiliki aktifitas di luar ruang tentu isolasi diri di rumah akan menjadi sesuatu yang menjemukan. Solusinya adalah mencari aktifitas yang menyenangkan dan game adalah salah satunya. Jadi sepertinya wajar jika permintaan Nintendo meningkat di saat seperti ini.

Dan yang terakhir adalah anggur merah. Anggur merah? Kok bisa? Ada apa ini? iPrice bahkan menyebutkan bahwa peningkatan minuman beralkohol tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Inggris pun terjadi, bahkan dengan angka yang lebih tinggi. Apakah anggur merah juga menjadi salah satu “obat” kebosanan akibat #dirumahaja? Bisa jadi.

Updated 27/4/2020
Seperti yang telah saya duga dan harapkan, pandemi virus Corona memberikan perubahan pada perilaku konsumen. Tidak hanya dalam rentang singkat tetapi juga dalam rentang menengah apalagi jangka panjang.

Dalam waktu yang menengah (memasuki dua bulan setelah kasus pertama diumumkan di Indonesia), ternyata perubahan perilaku konsumen sudah tampak mulai berubah.

Bila sebelumnya masyarakat terlihat panik dengan membeli kebutuhan-kebutuhan kesehatan. Saat ini masyarakat tidak lagi terlalu memprioritaskan hal tersebut. Apa buktinya?

Buktinya adalah harga-harga kebutuhan kesehatan yang sempat melonjak tinggi, saat ini mulai berangsur turun dan kembali normal. Tentu saja normal yang baru.

Perubahan ini tentu saja secara teoritis adalah sesuatu yang telah diprediksi. Saya pun tidak heran dengan kejadian ini. Meski data iPrice di atas menjelaskan tren kemarin, namun tren tersebut tidak lagi relevan. Karena saat ini kurva permintaan atau kematangan produk telah berubah.

Life cycle produk sedang bergeser.

instagram.com/tomliwafa

Kamu bisa lihat bagaimana produk-produk yang beberapa waktu lalu heboh diberitakan kekurangan suplai dan sangat dicari-cari saat ini menurun. Selain suplainya sudah meningkat tinggi, permintaan cenderung turun.

Sebut saja masker, tidak semua orang membutuhkan masker medis. Sehingga konsumen membutuhkan masker alternatif saja. Dan masker tersebut bisa digunakan berulang kali tidak seperti masker medis. Akhirnya semakin banyak orang sudah memiliki masker semakin sedikit permintaan.

Updated 11/05/2020

Perubahan sentimen konsumen

Mckinsey&Company pada 2 Mei lalu melansir bahwa COVID-19 ternyata juga memengaruhi sentimen perilaku konsumen. Berdasarkan laporannya, dijelaskan bahwa konsumen Indonesia cenderung lebih optimis dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga disurvery.

Konsumen Indonesia mengaku bahwa mereka cenderung optimis jika kondisi krisis virus corona akan berakhir dalam dua atau tiga bulan mendatang, meski belum ada kepastian kesehatan hingga saat ini.

Optimisme konsumen Indonesia sebenarnya cukup unik karena secara perilaku konsumsi, konsumen Indonesia nyatanya bergeser menjadi lebih konservatif. Sesuai dengan dugaan yang dijelaskan oleh prediksi Yuswohady di atas.

Bahwa ternyata konsumen Indonesia dengan penurunan daya beli, mereka mulai memprioritaskan konsumsi ke kebutuhan jangka menengah. Memang ada sedikit pengeluaran untuk hiburan karena mengalami karantina di rumah, tetapi dominan kebutuhan mingguan.

Memenuhi kebutuhan sehari-hari cenderung dihindari karena untuk mengurangi kegiatan luar ruangan.

Selain itu berdasarkan survey pula, terungkap bahwa transaksi jual beli yang dilakukan konsumen Indonesia mulai banyak dilakukan secara online. Langkah ini realistis mengingat untuk keluar rumah dan berbelanja ke pusat keramaian cukup beresiko.

Sementara kebiasaan sehari-hari juga mulai berubah. Memasak di rumah, belajar secara daring, dan mengonsumsi konten video adalah hal yang lumrah dilakukan selama masa karantina di rumah.

Saya mendapati bahwa perubahan perilaku yang direkam oleh McKinsey&Company menggambarkan bagaimana konsumen Indonesia mulai beradaptasi dengan situasi. Hal ini terbilang lumrah karena krisis pandemi sudah berlangsung hampir tiga bulan lamanya.

Meski diliputi kekhawatiran tentang kesehatan dan keamanan, konsumen Indonesia masih terus berusaha untuk bisa menjalani sehari-hari dengan aktifitas dan kegiatan.

Untuk membaca survey lebih lengkapnya, kamu bisa membaca slide berikut ini.

Tren baru, efek bulan Ramadan

Tentu memasuki bulan Ramadan, perilaku konsumen juga berubah. Produk-produk yang berkaitan dengan suasana puasa mulai meningkat. Jika melihat kurva yang dibuat oleh Tom Liwafa, parsel lebaranlah yang akan naik pamornya.

Updated 27/7/2020

Bulan Ramadan telah berlalu dan saya baru sempat untuk melakukan pembaruan data terkait perilaku konsumen Indonesia ini menjelang lebaran kurban yang akan berlangsung beberapa hari lagi.

Hal menarik yang saya dapatkan dari perubahan perilaku konsumen Indonesia saat Ramadan adalah ternyata pada bulan Ramadan 2020 konsumen Indonesia masih dominan melakukan pembelian produk fesyen. Informasi ini saya dapatkan dari laporan iPrice yang sebelumnya sudah saya tuliskan pada artikel Perilaku Belanja Online Konsumen Muslim Bulan Ramadan 2020.

Sumber: iPrice

Dari informasi tersebut menggambarkan bagaimana 63% responden yang merupakan konsumen Indonesia masih tertarik untuk membeli produk fesyen meski pandemi COVID-19 masih berlangsung. Sementara di peringkat kedua diikuti oleh produk elektronik yang seperti saya tuliskan di awal sangat didominasi oleh permintaan atas kebutuhan webcam dan ponsel pintar.

Menariknya, saya juga menemukan data tentang seperti apa perilaku brand saat Ramadan COVID-19 berlangsung.

Perilaku Brand beriklan saat Ramadan 2020

Seperti yang terlihat dari data survey yang dilakukan oleh Jakpat, menunjukkan bahwa brand yang melakukan iklan melalui televisi (TVC) adalah brand-brand yang memang sudah biasa melakukan iklan Ramadan. Contoh yang paling kentara adalah Khong Guan dan Marjan yang sering dinilai masyarakat hanya melakukan iklan melalui televisi saat Ramadan.

Sumber: Jakpat

Menurut saya, berkat iklan-iklan ini perilaku konsumen sedikit banyak akan terpengaruh untuk membeli produk tersebut. Permintaan seperti kue kering, dan kebutuhan Ramadan meningkat.

Preferensi konsumen untuk berbelanja menggunakan Shopee selama bulan Ramadan 2020 pun bisa jadi dipengaruhi oleh iklan yang ditampilkan oleh marketplace berkelir jingga tersebut.

Melihat data perilaku brand ini saya tertarik untuk mengulas sedikit lebih dalam di artikel yang berbeda. Karena pada bulan Ramadan yang lalu saya menemukan fakta bahwa kebanyakan brand melakukan iklan lebaran menggunakan teknik yang berbeda dibandingkan dengan iklan-iklan sebelumnya akibat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Membaca perilaku Konsumen dari Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Perubahan perilaku pasar akibat krisis juga terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) RI yang melaporkan terjadinya pertumbuhan ekonomi minus. Pada triwulan II tahun 2020 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka -5,32%. Pertumbuhan minus ini menandakan Indonesia telah memasuki pra resesi dengan triwulan III menjadi masa penentu.

Dari sudut pandang perilaku konsumen, melihat porsi pertumbuhan PDB berdasarkan lapangan usaha akan terlihat sektor-sektor mana saja yang mendapatkan dampak terburuk dari krisis virus corona.

Berikut bisa kamu lihat bahwa sektor transportasi dan pergudangan mendapat dampak yang sangat buruk. Tidak adanya rekomendasi berwisata dan juga tidak adanya jaminan kesehatan untuk masyarakat bermobilitas mengakibatkan industri transportasi benar-benar mendapat pukulan telak.

Sementara di sudut yang berbeda, sektor pertanian menunjukkan pertumbuhan yang dominan karena situasi pandemi ini mendorong masyarakat untuk hanya memperhatikan kebutuhan esensial seperti kebutuhan pangan. Sektor yang berkaitan dengan pangan tetap terus berputar dan bisa berkontribusi pada kelangsungan pasar.

Kontribusi sektor pertanian terbesar datang dari tanaman pangan. Meski konsumen bisnis di sektor pangan banyak mengurangi konsumsi, tetapi permintaan banyak datang dari sektor pertanian ritel. Kebutuhan pangan yang datang dari aktifitas masyarakat yang mulai berjualan kebutuhan pangan dari rumahnya masing-masing kemudian mengedarkannya melalui internet.

Jadi jangan heran jika kemudian gerai-gerai makanan di pusat perbelanjaan dan juga bandara banyak yang tutup dan tidak lagi aktif. Sementara warung-warung di sekitar tempat kita tinggal, masih mampu bertahan dan berjualan. Ini akibat masyarakat tidak berselera untuk membeli makanan di luar rumah demi mengurangi risiko infeksi virus.

Hal yang paling menarik menurut saya adalah di sektor infokom. Sektor informasi dan komunikasi rupanya juga mengalami pertumbuhan di masa pandemi seperti saat ini. Hemat saya pertumbuhan di sektor ini mengindikasikan beberapa hal:

  1. Kebutuhan untuk hidup berjarak fisik mengakibatkan aktifitas perkantoran dan kerja harus dilakukan dari rumah sehingga meningkatkan penggunaan fasilitas komunikasi internet seperti konferensi video.
  2. Situasi krisis juga membuat masyarakat waspada untuk mendapat informasi terbaru. Outlet-outlet berita terus diperhatikan untuk melihat bagaimana perkembangan situasi. Secara psikologis ini menunjukkan bahwa masyarakat sedang merasa khawatir dan cemas.
  3. Informasi ternyata menjadi hal primer yang dibutuhkan masyarakat untuk menjalani hidup sehari-hari. Hal ini menarik karena literasi bisa menjadi perhatian utama yang seharusnya diperhatikan. Permasalahannya tentu saja bagaimana media bisa menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya di tengah persaingan melawan berita bohong, informasi yang salah dan juga influencer yang serampangan menyampaikan informasi.

Lalu bagaimana kira-kira situasi di Triwulan III dan hingga akhir tahun? Saya termasuk pihak yang cukup pesimis Indonesia mampu untuk keluar dari resesi di masa pandemi ini. Penyebabnya tidak lain karena pemerintah RI sampai saat ini belum juga bisa menemukan cara untuk mengendalikan pandemi.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah semakin hari semakin membingungkan masyarakat. Masyarakat sendiri mulai bosan dan berangsur mempercayai informasi hoaks yang menyesatkan. Hal ini terjadi tidak lain karena pemerintah gagal untuk menampilkan diri sebagai pihak yang berwibawa dan punya integritas serta menjadi jalan keluar bagi masyarakat di masa pandemi.

Kesimpulan

Bagan yang dibuat oleh Inventure dan juga data dari iPrice ini kemudian menjawab pertanyaan saya tentang bagaimana perilaku konsumen Indonesia selama krisis virus corona berlangsung selama satu bulan terakhir. Karena sebelumnya saya membahas tentang laporan Yelp terkait dengan dampak COVID-19 pada bisnis di Amerika Serikat.

Namun menurut saya, data perubahan perilaku konsumen ini masih terlalu dini untuk melihat bagaimana perubahan sektor bisnis dalam jangka menengah dan jangka panjang.

Dalam jangka menengah ternyata perubahan perilaku konsumen Indonesia mulai terlihat. Update data dari hasil survey McKinsey&Company juga memberikan sedikit gambaran bagaimana perubahan perilaku konsumen di Indonesia. Terlihat bahwa konsumen mulai bisa beradaptasi, meski optimis dengan tingkat rendah.

Sementara di masa Ramadan berdasarkan data iPrice juga memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia tetap banyak melakukan pembelian produk-produk khas bulan puasa hingga lebaran. Itu artinya perubahan perilaku konsumen Indonesia hanya berubah di tataran reaktif seperti kebutuhan mendadak untuk belajar daring ataupun bekerja dari rumah, tetapi tidak dengan produk-produk yang cenderung tradisi seperti membeli pakaian baru lebaran ataupun makanan lebaran.

Hasil data BPS terbaru yang mengungkap bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus perlu diwaspadai oleh pelaku bisnis. Brand tidak hanya harus bisa mempertahankan perusahaan tetapi juga harus tetap memperhitungkan bagaimana kira-kira langkah yang harus ditempuh selama pandemi yang diperkirakan berlangsung sampai akhir tahun.

Perubahan perilaku dan update seputar perilaku konsumen dan dampaknya pada bisnis akan terus terjadi. Karena krisis korona di Indonesia masih berlangsung.

Apapun bisa terjadi selama krisis, dan bisa jadi data-data di atas bisa sangat berubah tergantung dengan perkembangan situasi dan respon pemerintah terhadap pandemi ini.

Tentu saja, bukan berarti dengan menunjukkan bisnis-bisnis yang melejit di tengah pandemi maka kamu harus ikut mengambil kesempatan. Dan juga tidak berarti yang sedang bangkrut tidak boleh untuk mempertahankan diri dengan masuk ke sektor yang sedang emerging.

Krisis ini memang memberikan dampak pada seluruh pihak dan seyogyanya kita bisa saling bersolidaritas untuk bisa saling mendukung. Mungkin bagi yang kebanjiran order bisa berbagi rezeki dengan yang sedang sepi. Begitupun dengan yang sedang sepi agar tidak memaksakan diri berada di luar rumah untuk mencari rezeki tambahan.

Saya tentu berhadap semua orang bisa tetap selamat dan sehat sentosa. Tetap di rumah, hindari kerumunan, selalu jaga kesehatan, istirahat yang cukup dan tetap produktif.

Stay Safe ya!

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.