Content Marketing

Serba-serbi Content Marketing

Teknik pemasaran yang kembali naik daun akibat kemajuan internet

Photo by Austin Chan on Unsplash

“Content marketing is the only marketing left” — Seth Godin -

Satu-satunya marketing yang tersisa? Benarkah? Mengapa Seth Godin mengatakan hal itu?

Sebelum saya berusaha menjelaskan mengapa content marketing adalah satu-satunya pemasaran yang tersisa, saya akan menjelaskan sedikit latar belakang dari Seth Godin.

Seth Godin merupakan salah satu ahli pemasaran digital yang terkenal sejak era awal munculnya internet. Dia adalah salah satu dari orang pertama yang mempelopori konsep Email Marketing di tahun 90an dan mempopulerkan istilah Permission Marketing. Sebuah konsep pemasaran yang intinya adalah pemasaran yang harus mampu untuk terus berkomunikasi secara intens dan diterima oleh audiens.

Melihat latar belakang Seth saya kemudian setuju jika dirinya kemudian mengungkapkan bahwa pemasaran konten atau content marketing bisa jadi adalah satu-satunya marketing yang tersisa. Apa sebab?

Penyebabnya adalah karena hal tertinggi dari pemasaran adalah produk atau jasa mampu menarik perhatian. Saat ini perhatian sangatlah sulit untuk didapatkan apalagi mampu menawarkan produk tanpa audiens merasa produk tersebut sedang ditawarkan pada mereka.

Ketika produk diizinkan untuk berkomunikasi dengan calon konsumen atau bahkan pelanggan secara terus menerus. Tanpa terganggu, tanpa risih, tanpa marah. Inilah kemenangan dari sebuah produk atau jasa dan inilah yang dimaksud dengan permission marketing.

Dalam blognya, Seth menjelaskan ada empat tahapan dari permission marketing yang salah satu poin utamanya adalah tidak ada tempat untuk iklan. Karena iklan tidak lagi efektif secara biaya dan dampak komersial, akibatnya content marketing kemudian menjadi dikenal sebagai bentuk konkrit dari permission marketing. Sebuah metode pemasaran yang mengandalkan konten yang bisa mendapatkan permission dari para audiens.

Kemunculan Content Marketing

Istilah Content Marketing juga sedang naik daun di Indonesia dan semakin banyak pelaku bisnis terutama startup yang menggunakan metode ini. Penyebabnya adalah karena content marketing dianggap menjadi salah satu metode pemasaran yang efektif dan cukup efisien untuk mencapai tujuan pemasaran.

Berdasarkan data Google Trend, pencarian kata kunci “content marketing” di Indonesia mulai meningkat sejak tahun 2018. Sementara pemasaran konten tidak begitu populer digunakan.

Hal ini menjadi menarik sebab dunia pemasaran di Indonesia mulai dimasuki metode baru yang tidak lagi mengandalkan iklan sebagai poros utama dari membangun awareness produk maupun jasa.

Jika ternyata content marketing mulai populer di Indonesia, lalu apa sih sebenarnya pemasaran konten?

Saya berusaha untuk mengumpulkan beberapa sumber otentik yang bisa menjelaskan apa itu konten marketing secara singkat padat dan jelas.

Joe Pulizzi dalam bukunya Epic Content Marketing yang terbit pada tahun 2014 menjelaskan bahwa pengertian dari Content Marketing adalah

“Content marketing is the marketing and business process for creating and distributing valuable and compelling content to attract, acquire, and engage a clearly defined and understood target audience — with the objective of driving profitable customer action.” — Joe Pulizzi

Joe juga merupakan salah satu pioner dari dunia content marketing melalui Content Marketing Institute (CMI) yang dirikannya pada tahun 2007.

Dari pengertian yang diberikan oleh Joe, hal terpenting dari content marketing adalah bagian “.. creating and distributing valuable and compelling content to attract, acquire, and engage a clearly defined and understood target audience.. “.

Bagi saya secara sederhana content marketing bisa diartikan sebagai proses untuk membuat dan melakukan distribusi konten. Ini kata kuncinya.

Lalu konten untuk siapa? Untuk audiens yang benar-benar jelas dan dipahami melalui konten yang atraktif, menarik dan terhubung dengan mereka. Sementara ini adalah elemen terpenting dari content marketing.

Selain Joe ada banyak sekali para ahli dari ahensi maupun pakar marketing internal perusahaan yang berusaha mendefinisikan content marketing. Beberapa yang saya catat adalah antara lain:

“Content Marketing means creating and sharing valuable free content to attract and convert prospects into customers, and customers into repeat buyers. The type of content you share is closely related to what you sell; in other words, you’re educating people so that they know, like, and trust you enough to do business with you.”

— Brian Clark, Founder & CEO, Rainmaker Digital

“It is a strategy of producing and publishing information that builds trust and authority among your ideal customers.”

— Neil Patel, Co-Founder, Crazy Egg & Hello Bar

“Content marketing means educating your consumers about your product and your industry in a comprehensive and compelling way.”

— Elizabeth Pop Nikolov, Content Strategist, Venveo

Pentingnya Content Marketing

Perhatikan penjelasan para praktisi konten di atas. Ada banyak hal menarik yang menurut saya perlu untuk diperhatikan.

Pertama tentang melakukan edukasi pada pelanggan. Edukasi ternyata bisa dilakukan brand melalui content marketing. Edukasi merupakan salah satu proses untuk memberi pemahaman pada calon konsumen bahwa produk atau jasa yang ditawarkan adalah tepat.

Dalam customer journey atau funnel, edukasi merupakan tahap awalan atau top funnel yang terjadi ketika mereka berinteraksi pertama kali dengan brand.

Saat berinteraksi pertama kali tentu saja manusia memiliki mekanisme mempertahankan diri, ketika merasa tidak mengenal maka tidak tertarik atau tidak berani. Hal ini adalah sesuatu yang wajar karena manusia tidak ingin merasakan rasa asing, “sakit” untuk mempelajari hal baru, dan tidak ingin mengambil keputusan yang salah.

Namun sikap psikologis seperti itu sering kali hanyalah sebuah persepsi sehingga butuh bukti, perlu keyakinan yang lebih untuk menggerakkan calon konsumen untuk memutuskan menjadi pembeli.

Ketika pembelian terjadi, konsumen akan melakukan evaluasi terhadap pengalamannya melakukan konsumsi atau saat menggunakan jasa. Apakah merasa puas, atau tidak puas. Bila merasa puas, kemungkinan untuk pembeli menjadi pelanggan semakin besar. Jika tidak puas, maka pembeli bisa berpindah ke lain brand.

Ketika kita sadar bahwa content marketing mampu melakukan fungsi edukasi, brand seharusnya menaruh perhatian yang serius terhadap content marketing. Sebab edukasi pasar adalah aktifitas yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah bisnis. Kalau boleh saya bilang, hukumnya adalah wajib untuk terus menerus mengiformasikan pada calon konsumen bahwa produk atau jasa yang ditawarkan bisa memberikan solusi.

Mungkin sebagian Anda merasa bahwa Anda tidak perlu untuk melakukan edukasi pasar karena produk yang Anda tawarkan adalah komoditas yang satu dengan lainnya adalah sama. Namun nyatanya, para konsumen adalah pasar yang selalu kritis dan ingin tahu keuntungan apa yang mereka bisa dapatkan ketika membeli sebuah produk maupun jasa.

Minimal yang mungkin ditanya adalah

“apa untungnya saya membeli produk ini dari Anda?”

Dari pertanyaan itu Anda akhirnya harus melakukan edukasi. Bahwa Anda bisa menawarkan keuntungan-keuntungan yang tidak dimiliki oleh brand lain.

Kedua, tentang konten yang mampu untuk menarik minat pembeli untuk kembali melakukan transaksi. Transaksi adalah jantung dari aktifitas bisnis, itu sebabnya Joe Pulizzi menjelaskan bahwa konten berbeda dengan content marketing. Content marketing harus bisa memberikan dampak pada perusahaan, konten yang dibuat harus memiliki efek pemasaran. Sementara konten saja, tidak harus bisa mencapai tujuan tersebut.

Ketiga, ketika pembeli telah melakukan transaksi itu artinya konten juga bisa membangun rasa hubungan saling percaya antara brand dengan pelanggan. Kepercayaan adalah hal penting bagi bisnis dan loyalitas adalah hasil dari kepercayaan tersebut.

Mari kita bahas soal loyalitas pelanggan ini di bab lain. Mengingat, di era startup dan ekonomi digital seperti saat ini para pelanggan dianggap tidak benar-benar memiliki loyalitas terhadap sebuah brand. Apakah benar seperti itu? Dan apakah menjaga loyalitas pelanggan itu penting?

Berdasarkan data Sasquatch misalnya, menjelaskan bahwa 84% persen bisnis berbasis B2B mengambil keputusan berdasarkan referal atau rekomendasi. Dan perusahaan yang memiliki program referal mendapatkan pertumbuhan mencapai 86% dibandingkan perusahaan yang tidak memiliki program loyalitas semacam refereal. Data ini menunjukkan bahwa membangun loyalitas pelanggan tidak hanya penting tetapi juga menguntungkan.

Kembali ke bahasan content marketing. Edukasi dan membangun loyalitas ternyata tidak bisa dilakukan tanpa adanya konten. Dalam arti lain, proses tersebut tidak bisa dilakukan tanpa adanya komunikasi dua arah baik dari konsumen maupun brand. Sehingga, untuk mengisi komunikasi inilah konten kemudian hadir sebagai jembatan interaksi.

Contoh Sukses Content Marketing

Hal yang banyak tidak disadari bahwa sebenarnya content marketing bukanlah hal yang baru di dunia pemasaran. Ada begitu banyak kisah sukses dari sebuah brand yang mampu bercerita dan bisa berkomunikasi secara intens dengan audiens atau bahkan pelanggannya. Beberapa diantaranya bahkan masih eksis selama ratusan tahun sejak pertama kali dicanangkan.

Berikut adalah beberapa contoh content marketing yang berhasil saya himpun untuk menjadi ilustrasi bagaimana brand melakukan program pemasaran konten.

The Furrow Magazine

Majalah ini adalah majalah seputar agrikultur pertama kali terbit pada tahun 1895. Lahir dari sebuah perusahaan teknologi alat bajak sawah buatan John Deere. Majalah The Furrow berisi tentang segala hal terkait dengan kehidupan para petani di Amerika Serikat, mulai dari panduan menanam, informasi pupuk dan bahkan ulasan dari alat pembajak mlik pesaing.

Di puncak kejayaannya pada tahun 1912, majalah ini dibaca oleh empat juta pembaca. Angka yang fantastis untuk sebuah majalah di era tersebut bahkan di era internet seperti saat ini. Bahkan di era digital seperti saat ini 80 persen pembaca The Furrow masih lebih menyenangi versi cetak dari pada versi digital.

Anda mungkin berpikir, bagaimana mungkin sebuah perusahaan alat bajak membuat sebuah majalah? Apalagi membuat majalah yang mengulas produk dari pesaing. Sebelum saya jawab, Anda bisa membaca contoh berikutnya.

Michelin Guide

Apakah Anda senang bertualang mencari kuliner-kuliner enak dan terkenal? Jika iya, Anda pasti pernah mendengar tentang Michelin Guide, sebuah daftar panduan tentang restoran-restoran berbintang yang direkomendasikan untuk para pelancong.

“Daftar restoran, untuk wisatawan, pasti diterbitkan oleh agen wisata, ya kan?”

Salah.

Bagi Anda yang mengenal nama Michelin tentu sudah mengetahuinya, ya Michelin adalah perusahaan ban kendaraan asal Prancis.

Dahulu di tahun 1889, Michelin merupakan pemasok ban sepeda angin yang memang saat itu sangat populer di eropa. Kendaraan pribadi dengan pembakaran dalam belum populer dan transportasi umum bergantung pada kereta. Sepeda angin merupakan kendaraan pribadi yang prestis di masa itu hingga kemudian mobil buatan Peugeot dan Renault lahir menjelang akhir abad 18.

Di tahun 1903, Prancis berhasil menjadi negara produsen otomobil terbesar di dunia dengan jumlah mencapai 30 ribu unit. Mobil-mobil inilah yang menjadi pangsa pasar baru bagi Michelin. Michelin Guide sendiri mulai diterbitkan pada tahun 1900 dengan jumlah 35 ribu kopi, kala itu mobil di Prancis masih berjumlah 3.000 unit.

Michelin Guide muncul sebagai buku panduan yang menarik perhatian para pemilik mobil untuk melakukan perjalanan. Logika sederhana dari Michelin Guide adalah semakin banyak perjalanan artinya semakin tinggi permintaan ban mobil. Dan secara tidak langsung akan mendorong orang untuk membeli mobil demi hasrat melancong. Itu mengapa Michelin Guide dianggap sebagai salah satu yang berperan dalam membangun sejarah otomobil di Prancis

Dua contoh di atas menggambarkan bagaimana brand masa lampau brand telah menggunakan content marketing dengan baik. Brand bercerita untuk berkomunikasi dengan audiensnya tanpa secara langsung menjual produk mereka. Itu mengapa sebenarnya content marketing bukanlah hal yang baru. Namun di konteks saat ini dengan internet saluran distribusi konten yang lebih mudah dan melewati sekat-sekat batas serta persaingan untuk meraih perhatian, content marketing menjadi sesuatu yang penting.

Content Marketing Saat Ini

Dahulu brand hanya bisa berkomunikasi melalui media cetak, kemudian berkembang menjadi audio lewat radio. Selanjutnya adalah melalui visual dan audio visual ketika televisi muncul. Hingga akhirnya saat ini di era internet distribusi konten untuk tujuan pemasaran menjadi sangat mudah dilakukan. Tidak ada lagi batasan ruang sehingga brand bisa secara langsung dan luas menyampaikan cerita yang dimilikinya.

Namun karena adanya kemudahan tersebut, brand akhirnya dianggap sebagai pihak yang sangat intrusif. Menerobos ruang yang tidak seharusnya sehingga dianggap mengganggu. Perusahaan berusaha keras untuk meraih perhatian dari calon konsumen namun akhirnya iklan-iklan diabaikan dan tidak ada lagi yang peduli.

Content marketing kemudian muncul sebagai salah satu alternatif untuk brand bisa kembali berkomunikasi dengan audiens tanpa memberikan kesan mengganggu. Seth Godin menyebut content marketing sebagai bentuk permission marketing yang membuat calon konsumen tidak merasa ditodong dan dipaksa untuk melihat produk atau jasa yang mereka tidak tertarik.

Ada begitu banyak inisiatif content marketing yang menarik untuk diperhatikan. Untuk bagian ini saya akan mencoba menyajikan contoh-contoh content marketing yang dilakukan oleh brand asal Indonesia.

Jenius

Siapa yang tidak kenal Jenius? Kalangan muda millenial dan generasi Z di Indonesia mungkin mayoritas mengenal atau pernah mendengar tentang Jenius.

Jenius merupakan produk digital banking yang menurut saya mendapat first mover advantage (keunggulan sebagai pelopor) karena bank-bank pesaing lainnya masih berkutat pada conventional banking. Sementara Jenius menawarkan banyak kemudahan dari kekurangan-kekurangan yang banyak ditemui di bank ritel lainnya.

Saya tidak akan banyak bercerita tentang bagaimana Jenius menawarkan banyak fitur menarik untuk generasi muda Indonesia. Saya akan lebih bercerita tentang bagaimana content marketing yang dilakukan oleh Jenius.

Jenius memang tidak membuat semacam owned media (media yang dimiliki brand) seperti yang The Furrow atau Michelin Guide, namun Jenius secara konsisten berusaha untuk mengedukasi target pasarnya melalui blog dan sosial media.

Tampilan sosial media Jenius
Tampilan blog Jenius

Di blog misalnya, Jenius membahas banyak tentang literasi keuangan sebagai gaya hidup masa kini. Berbagai konten tentang bagaimana mengatur keuangan untuk berbagai kebutuhan hidup ada di blog. Selain itu Jenius juga memberi ruang pada para pengguna untuk bercerita tentang pengalaman menggunakan Jenius.

Dampaknya, anak muda saat ini lebih mengenal Jenius dibandingkan nama BTPN (dahulu Bank Tabungan Pensiun Nasional) sebagai bank yang menjadi induk Jenius.

Tidak heran jika Grid (Content Marketing Agency milik Grup Kompas) menganugerahi Jenius sebagai pemenang Best Use of Brand Website in Content Marketing Implementation di ajang Content Marketing Conference 2019.

Eiger

Apparel adventure asli buatan Indonesia. Berawal dari hanya dua mesin jahit di sebuah garasi di Bandung, kini Eiger berkembang menjadi salah satu apparel terkemuka dengan basis loyalis yang besar.

Saya sendiri memang pengguna Eiger dan cukup ngefans dengan merek yang terinspirasi dari nama gunung di Swiss ini. Jadi, saya berusaha untuk tidak bias saat menulis ulasan tentang Eiger. Mari fokus pada content marketing yang dilakukan oleh Eiger.

Dalam catatan saya, Eiger sempat membuat owned media bernama Eigeradventurenews.com dan mendapatkan penghargaan Best Content Marketing tahun 2018 juga di ajang Content Marketing Conference. Namun saat saya memeriksa situsnya, ternyata Eiger memindahkan saya ke situs Eigeradventure.com itu artinya Eiger berusaha membuat nama Eiger Adventure menjadi owned media yang lebih fokus membahas segala hal tentang Adventure. Lebih fokus dan lebih terkesan edgy karena menanggalkan embel-embel news.

Di situs Eiger Adventure, terlihat ada berbagai macam hal. Beberapa diantaranya adalah tentang sejarah Eiger, produk-produk Eiger dan jurnal seputar aktifitas adventure.

Sayangnya, Eiger melalui situs ini tidak menampilkan content marketing sebagai halaman depan. Situsnya lebih terkesan seperti profil perusahaan. Sementara konten-kontennya tersembunyi di balik direktori Jurnal.

Pada bagian jurnal memang Eiger menampilkan banyak konten, seperti berita terbaru seputar Eiger, Eiger TV dan para influencer yang terafiliasi dengan Eiger dengan nama Eiger Friends.

Dari konten-konten yang ada menurut saya narasi yang dibangun oleh Eiger adalah bagaimana brand berusaha untuk membuat gaya hidup adventure menjadi sesuatu yang menarik dan aman. Tentu saja dengan menggunakan produk Eiger.

Kekurangan lainnya dari pendekatan Eiger ini adalah, untuk membangun gaya hidup adventure Eiger akhirnya harus melakukannya sendirian dan bahkan harus saling bersaing dengan merek lain. Sebab Eiger membuat media yang tidak inklusif untuk merek apparel adventure lainnya.

Bagaimana jika seandainya Eiger memiliki owned media yang terbuka untuk mengampanyekan gaya hidup adventure yang bisa dimasuki oleh brand-brand lainnya. Secara tidak langsung berkolaborasi dengan pesaing seperti apa yang dilakukan oleh Deere & Co. lewat The Furrow.

Niagahoster

Buat saya yang berkutat di bidang digital hampir setiap hari saya menemukan Niagahoster di mesin pencari Google. Hampir setiap hal yang saya cari tentang pengembangan website, marketing online dan seputar IT Niagahoster mampu muncul di halaman terdepan.

Bahkan untuk kata kunci yang sedang saya tulis saat ini “content marketing” Niagahoster mampu muncul di halaman depan dengan dua page terindeks.

Dampak dari keberhasilan Niagahoster memaksimalkan content marketing kemudian meningkatkan rating di mesin pencari. Teknik ini disebut dengan optimalisasi mesin pencari atau Search Engine Optimization (SEO).

Ini sebabnya saya memasukkan Niagahoster sebagai salah satu brand yang berhasil menggunakan content marketing untuk bisnis.

Melalui blog, Niagahoster sebenarnya tidak membuat konten yang terlalu istimewa, aktifasi pengguna dan audiensnya juga tidak terlalu “cantik” bila dibandingkan dengan seperti Jenius atau Eiger. Namun Niagahoster berhasil untuk selalu menjadi solusi dengan konten-konten edukasi di mesin pencari. Hasilnya secara tidak langsung Niagahoster menjadi top of mind terutama untuk kebutuhan domain dan hosting.

Industri komunikasi, informatika dan internet memang tidak bisa lepas dari konten edukasi. Sedari kemunculannya, perusahaan-perusahaan teknologi harus selalu melakukan edukasi pada audiens agar mereka berani untuk membeli produk atau jasa. Hal yang paling umum dilakukan adalah dengan membuat tutorial, panduan, ataupun petunjuk penggunaan.

Setelah menampilkan tiga brand asal Indonesia, saya akan mencoba memperlihatkan satu brand luar negeri yang menurut saya menjadi panutan utama dalam melakukan content marketing.

Vayner Media

Oke bagi yang sudah tahu soal Vayner Media, saya mengakui kalau Vayner Media lebih dikenal dari personal branding Gary Vaynerchuk. Namun saya merasa, Gary Vaynerchuk dan Vayner Media menjadi contoh yang kuat saat membahas content marketing.

Mengapa saya tidak menampilkan Patel bersaudara (Neil dan Sujan)? Karena menurut saya, Gary telah melakukan content marketing jauh lebih awal dari Neil maupun Sujan melalui Wine Library.

Wine Library merupakan sebuah kanal Youtube yang membahas segala hal tentang Wine (minuman anggur). Gary sendiri merupakan pengelola perkebunan anggur yang dimiliki oleh orang tuanya. Sehingga Gary bisa dibilang memiliki otoritas keahlian tentang pengetahuan seputar Wine.

Bisnis, otoritas, keahlian dan publisitas adalah resep kunci dari content marketing. Tiga elemen tersebut ada pada Gary, sementara Patel bersaudara agak sulit menampilkan bagaimana mereka sukses dalam bisnis karena mereka menjual produk digital dan jasa.

Lanjut soal Gary. Melalui Wine Library TV, Gary hampir setiap hari selama lima tahun lebih membuat konten tentang gaya hidup minum Wine. Gary memberikan ulasan, kritik dan panduan dan apapun yang berkaitan dengan Wine. Setiap episode panjang video mencapai 15 hingga 20 menit. Sampai akhirnya episode Wine Library TV berhenti pada episode 1000 pada tahun 2011. Bayangkan berapa total waktu tonton yang dihasilkan oleh Wine Library TV. Episode spesial 1001 kemudian muncul pada tahun 2016.

Di masa itu tentu saja Gary dan Wine Library TV sudah memulai profesi yang saat ini populer yakni profesi konten kreator. Melalui konten, Gary tidak secara langsung menjual produk Wine Library, namun dia membangun percakapan dan pembahasan seputar industri yang dia geluti.

Semakin banyak perbincangan, industri semakin dikenal dan audiens semakin aware terhadap produk. Ini artinya seluruh bisnis yang berada di industri juga akan terangkat posisinya karena pasar telah teredukasi dengan baik.

Apa yang dilakukan oleh Gary menurut saya mirip dengan apa yang dilakukan oleh Deere & Co. lewat The Furrow Magazine yakni dengan mengedukasi gaya hidup pasar agar memahami apa saja yang terjadi di industri. Hasilnya, terjadi kedekatan antara target market dengan produk-produk terkait.

Vayner Content Strategy

Saya memilih Gary sebagai studi kasus juga karena saya ingin berbagi model yang dia lakukan dalam membangun konten. Sebuah model yang dinamakan sebagai piramida terbalik.

Model piramida terbalik juga banyak digunakan dalam dunia jurnalisme, namun ada hal yang membedakan antara konten jurnalisme dengan content marketing. Yakni terkait dengan bagaimana mengolah sumber menjadi berbagai jenis naskah.

Di dunia jurnalisme data sumber hanya akan bisa menjadi satu naskah dengan data lengkap berada di paragraf pertama kemudian penjelas-penjelas berada di paragraf berikutnya.

Dari segi jurnalisme instan seperti saat ini, tulisan berita hanya akan utuh ketika kepingan-kepingan berita dikumpulkan menjadi satu. Sementara content marketing mengenal istilah konten pilar.

Konten pilar adalah konten yang paling lengkap datanya, paling panjang, dan paling komprehensif informasinya. Itu mengapa pada Vayner model pada umumnya konten pilar berasal dari video. Karena memang video bisa mencakup banyak hal dan dengan mudah mendokumentasikan perisitwa.

Dari konten pilar, kemudian konten bisa dipecah-pecah kembali menjadi berbagai produk. Istilahnya adalah repurposing content sesuai dengan kebutuhan dan konteks. Gary sendiri menyebutnya sebagai Content on Content on Content.

Misalnya hasil dari video perjalanan bisa dipecah menjadi konten-konten kecil seperti meme, foto, GIF, dan lain sebagainya. Pemecahan konten ini harus berdasarkan platform distribusi yang menjadi tahap akhir perjalanan konten.

Tanpa distribusi, konten tidak akan ada yang mengonsumsi tidak ada yang mengonsumsi, tidak ada audiens, dan jika tidak ada audiens maka kecil kemungkinan akan memiliki konsumen apalagi pelanggan. Itu sebabnya saat melakukan content marketing harus selalu strategis, dipikirkan mulai dari konten pilar hingga menuju konsumen akhir yakni audiens di masing-masing platform.

Perlu dipahami bahwa dengan model ini, tidak ada platform yang paling baik. Bukan sosial media, bukan email, bukan website.

Hal yang paling utama adalah tentang bagaimana mendistribusikan konten dan mendominasi platform tersebut sesuai dengan pasar yang dituju. Sehingga brand yang menggunakan sosial media tidak bergantung pada satu atau dua sosial media. Sosial media hanyalah saluran distribusi dan jika salah satu sosial media tutup maka sosial media lain yang masih terbuka tetap bisa digunakan.

Untuk mempelajari model ini Anda bisa membaca dek lengkapnya.

Melihat model Gary memang terkesan seperti sangat ekstrim, bagaimana mungkin membuat konten yang bisa digunakan untuk banyak saluran dalam satu waktu. Berapa banyak konten yang harus dihasilkan.

Dalam dunia marketing, model ini memang mirip dengan cara pemasaran 360 yakni membombardir target pasar dengan berbagai macam konten.

Namun bagi saya yang menarik adalah bagaimana prosesnya terasa begitu lean (ramping) dan agile (lincah). Saya berusaha mempelajari bagaimana Gary melakukan repurposing konten setiap kali dirinya meluncurkan video baru di IG TV ataupun Youtube.

Pada satu video, Gary memberikan tips bagaimana seorang pemuda bisa membangun karir dan bisnisnya dengan baik. Tips Gary terdengar sederhana: “buatlah konten, 50 konten dalam sehari”

Saran Gary mungkin terdengar mustahil, tetapi di era sosial media dan konten seperti saat ini rasanya itu adalah cara yang jitu karena tidak intrusif dan mengganggu. Akhirnya fokus utama adalah bagaimana membuat konten yang bermanfaat, menginspirasi, informatif dan masif tanpa membuat konsumen konten merasa terganggu.

“Permission marketing!” — Seth Godin

Jika content marketing begitu efektif kenapa masih belum banyak brand di Indonesia yang melakukannya?

Pertanyaan yang kritis. Sebenarnya sudah banyak brand di Indonesia yang melakukan content marketing hanya saja kebanyakan dilakukan oleh brand-brand yang memiliki sumber daya (baca: uang). Karena pola pikir konten di Indonesia cenderung berbiaya tinggi.

Padahal, content marketing adalah salah satu solusi konten yang relatif lebih murah daripada metode marketing lain yang mengandalkan iklan dengan biaya tinggi.

Selain kendala biaya apa lagi masalah lain?

Kendala Brand Melakukan Content Marketing

Di bagian ini saya akan membahas setiap kesulitan yang dialami brand untuk melakukan content marketing. Kamu bisa melihat dua data yang saya sajikan ini. Keduanya adalah survey yang dilakukan untuk menemukan kesulitan apa yang dihadapi brand untuk melakukan content marketing.

1. Kesulitan memproduksi konten

Berdasarkan peringkat, masalah utama dari content marketing adalah tentang kesulitan untuk memproduksi konten. Brand tampaknya masih kesulitan untuk mendapatkan talen yang tepat untuk melakukan produksi konten yang dibutuhkan untuk content marketing.

Ini artinya, brand harus mencari cara untuk membuat content marketing tetap berjalan meski tidak memiliki keahlian untuk memproduksi konten. Jawabannya akan ada tiga pilihan: merekrut talen kreator konten untuk brand, meminta jasa pekerja lepas, atau mendatangkan agensi.

Masing-masing pilihan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

a. Rekrut talen untuk brand (inhouse)

Talen inhouse adalah solusi untuk brand yang masih memiliki rencana untuk mengembangkan tim. Merekrut personel baru dan memperbesar komposisi tim marketing. Ini adalah opsi yang sebenarnya ekonomis secara jangka panjang, setidaknya untuk dua tiga tahun.

Kenapa? karena kreator inhouse umumnya mendapat tugas untuk mengerjakan konten tanpa melihat kuantitas. Tetapi lebih pada jumlah jam kerja ataupupn beban kerja. Kreator konten in-house akan mendapatkan gaji, namun jika dihitung dengan jumlah konten yang diproduksi jelas harga konten akan cukup murah.

b. Meminta jasa pekerja lepas (freelance)

Pekerja lepas freelance adalah opsi paling murah yang bisa dilakukan perusahaan jika ingin melakukan content marketing dalam waktu pendek. Sayangnya, content marketing tidak bisa menampakkan hasil dengan cepat karena metode ini sebenarnya adalah metode strategis. Sehingga untuk bisa melibatkan freelance dalam jangka panjang biayanya akan tinggi.

Tingginya biaya freelance dihitung dari jumlah konten yang diproduksi oleh pekerja lepas. Para pekerja lepas pada umumnya memberi pekerjaan hanya untuk pekerjaan yang spesifik. Memproduksi saja, menganalisis saja, atau melakukan penelitian saja.

Masalah lainnya dari pekerja lepas adalah, brand akan kesulitan jika ingin terus menerus bekerja sama dengan talen yang cocok. Bisa jadi talen yang terkait sedang mengerjakan proyek konten untuk brand lain. Alhasil brand harus mencari talen baru yang belum tentu memiliki kualitas yang sama.

c. Mendatangkan agensi

Opsi yang ketiga adalah mendatangkan agensi. Agensi adalah kombinasi yang cukup realistis jika brand ingin melakukan content marketing dalam waktu yang cukup. Alasannya adalah karena agensi bekerja secara tim, tidak seperti pekerja lepas yang umumnya sendirian.

Tim dalam agensi adalah aspek penting karena brand tidak perlu lagi melakukan rekrutmen untuk mengisi posisi yang kosong di dalam tim content marketing yang baru dibentuk.

Kemudian agensi juga cenderung memiliki keahlian berdasarkan pengalaman dengan berbagai klein sebelumnya. Sehingga kualitas pekerjaan relatif bisa terkendali dan terstandar.

Masalahnya, dengan fasilitas yang seperti itu, agensi cenderung memiliki harga yang kurang terjangkau utamanya untuk brand-brand yang skala bisnisnya belum terlalu besar.

Dari tiga pilihan tersebut, saya lebih menyarankan usaha kecil untuk memilih freelance untuk momen-momen tertentu. Dalam jangka panjang, tim yang sudah dimliki brand hendaknya bisa melakukan content marketing secara mandiri.

2. Sulit Memproduksi konten secara konsisten

Tim yang mengerjakan content marketing sudah, tantangan berikutnya adalah tentang konsistensi. Content marketing menuntut konsistensi. Terus menerus, tanpa henti. Bahkan jika perlu sampai akhir hayat brand content marketing harus tetap dilakukan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh The Furrow dan Michelin dengan bentuknya masing-masing. Karena konsisten kedua brand tersebut berhasil membangun relasi dengan orang-orang yang pernah berinteraksi dan menggunakan produk brand.

Untuk menjadi konsisten syaratnya adalah brand harus menjadi media. Ini kenapa saya menyebut bahwa brand sudah saatnya berpikir layaknya sebuah media. Menjadi media artinya brand harus memiliki segala yang dibutuhkan untuk membuat konten. Mulai dari pimpinan redaksi hingga para kreator konten.

Membangun tim yang lengkap tentu saja membutuhkan biaya yang tinggi. Tetapi hasil yang diperoleh adalah kemampuan brand untuk memproduksi konten secara konsisten.

Kamu ingin melakukan content marketing dengan lebih murah? Ada kok caranya. Caranya adalah dengan membuat “tim” content marketing sendiri.

Tim yang saya maksud di sini adalah kamu bisa mulai dari membuat perencanaan, strategi, produksi, distribusi dan terakhir monitoring. Kamu rencanakan semuanya sendiri lalu kerjakan satu persatu. Metode ini akan lebih menghemat biaya dibandingkan dengan mendatangkan kru baru atau melibatkan agensi atau pekerja lepas.

Dengan content marketing seiring berjalan waktu bisnis kamu akan semakin mendapat perhatian dan semakin laris (amin). Nah di sanalah kesempatan untukmu melakukan rekruitmen dengan tujuan mengisi tim content marketing yang lowong.

3. Tidak mampu Mengukur efektifitas content marketing

Mengukur efektifitas content marketing di era digital sejatinya sangatlah mudah dibandingkan dengan masa sebelum masa sebelum internet. Penyebabnya adalah karena konten-konten yang diproduksi di masa sebelum internet cenderung sulit untuk diukur dan diperhatikan.

Apa yang diukur dan diperhatikan? Hal yang patut diukur dan diperhatikan dari content marketing adalah berapa banyak pembaca atau pelihat (views), kemudian berapa banyak yang membeli. Dua hal ini adalah metrik yang biasa digunakan di iklan konvensional.

Tapi berkat teknologi, semua angka tersebut bisa dilihat secara angka dan mudah untuk dihitung. Berbeda dibandingkan dengan era permulaan Michelin atau The Furrow yang hanya bergantung pada jumlah sirkulasi.

Saat ini untuk mengukur metrik performa konten bisa menggunakan berbagai tools seperti Google Analytics, Google Search Console, Facebook Analytics, Youtube Analytics dan lain-lain. Kamu bisa baca selengkapnya di pembahasan tentang analisis dan monitor performa konten.

Melalui berbagai metrik tersebut ketika brand melakukan content marketing bisa lebih terukur karena tidak hanya bisa melihat jumlah pembaca, interaksi, dan pembelian tetapi juga bisa menghitung hasil dari investasi konten yang dilakukan atau ROI.

Return of investment adalah metriks yang selalu digunakan oleh marketer saat ini sehingga sudah menjadi kewajiban bagi brand untuk bisa mengukur seberapa efektifkah sebuah upaya marketing.

4. Keterbatasan Budget untuk Melakukan Content Marketing

Beberapa brand sempat menolak budget yang saya tawarkan karena mereka menganggap biaya content marketing yang dilakukan terlalu tinggi. Keterbatasan budget memang menjadi alasan yang paling umum terjadi pada bisnis kecil atau terkadang bisnis yang tidak memahami pentingnya content marketing.

Faktanya, content marketing secara hitung-hitungan biaya terbilang lebih murah dibaindingkan dengan marketing yang mengandalkan iklan dengan biaya tinggi. Hitung-hitungan sederhana yang bisa dilakukan adalah, berapakah biaya yang dibutuhkan brand untuk membuat iklan yang harus ditampilkan di televisi, radio ataupun koran. Kemudian bagaimana jika dibandingkan dengan biaya iklan sosial media atau iklan mesin pencari.

Perbandingan biaya dan efektifitas ini sangat bergantung pada pengukuran performa. Bila brand tidak mampu untuk mengukur performa kontennya, brand akan tetap buta dengan efektifitas content marketing.

Meski saya sangat menganjurkan brand untuk melakukan content marketing, brand juga harus bisa memutuskan sendiri metode marketing mana yang lebih efektif.

5. Belum Mampu Membuat konten yang bervariasi

Berdasarkan data Content Marketing Insitute (CMI) di atas, disebutkan kalau brand kesulitan untuk memproduksi konten yang bervariasi.

Saya sedikit menerka, mungkin yang dimaksud bervariasi adalah konten yang bisa menjangkau berbagai macam suasana. Jika memang itu yang dimaksud, maka rasanya lebih efektif jika brand mampu untuk membuat konten dengan ceruk pasar yang spesifik.

Ceruk pasar yang spesifik membutuhkan solusi yang spesifik karena mereka memiliki masalah yang juga sangat khusus bahkan personal. Dengan menyediakan konten untuk pasar yang khusus, brand juga bisa memperdalam kemampuan dan pengetahuannya tentang topik yang dibahas.

Kemungkinan lainnya dari konten yang dimaksud bervariasi adalah, brand kesulitan untuk membuat konten dengan format yang berbeda-beda. Jika ini yang terjadi, maka ini sebenarnya adalah tantangan yang umum dari marketing di era digital saat ini.

Kenapa?

Karena saat ini content marketing memiliki bentuk format yang sangat beragam jenisnya. Content marketing saat ini tidak hanya tentang seri tv, seri radio, majalah, buletin, ataupun surat mingguan tetapi juga berupa video, sinear (podcast), foto, infografis, riset, augmented reality, virtual reality, dan sebagainya. Sangat banyak bentuknya dan setiap format membutuhkan talen yang berbeda-beda.

Jika brand berusaha memaksakan diri untuk bisa memproduksi seluruh konten maka brand akan rawan mengalami kegemukan tim. Dalam tim marketing bisa-bisa terdapat lebih dari tiga orang kreator yang menurut saya sudah sangat terlalu besar.

Alhasil yang bisa dilakukan brand jika ingin melakukan banyak variassi konten, brand bisa mengambil opsi melibatkan agensi atau mempekerjakan pekerja lepas.

Sekaligus untuk menutup bab ini saya akan membahas jenis-jenis konten yang bisa dibuat untuk content marketing lebih jauh di bab selanjutnya.

Jenis-jenis Konten

Lalu konkritnya apa saja konten yang harus dibuat?

Konten yang dibuat harus berdasarkan siklus konsumen sebelum melakukan pembelian. Setidaknya ada tiga tahapan yang akan dialami oleh calon pembeli, yakni awareness (menyadari), evaluation (evaluasi) dan purchase (pembelian).

Siklus konsumen (Grafis: Hubspot)

Berdasarkan tahap-tahap ini konten bisa dibuat berdasarkan pada tahap mana target pasar berada. Jika target pasar masih belum mengenal produk atau jasa yang ditawarkan, maka konten yang dibuat harus mampu untuk membuat mereka aware. Pasar menjadi tahu bahwa produk tersebut ada dan bisa menjadi solusi untuk mereka.

Selanjutnya ketika target sudah merasa mengetahui, mereka akan melakukan evaluasi dan mempertimbangkan. Sehingga konten yang dibutuhkan adalah konten yang bisa meyakinkan. Sehingga mereka bisa beranjak pada ke tahap selanjutnya yakni membeli.

Di tahap pembelian, konsumen akan tetap membutuhakn konten. Konten bagi mereka yang sudah membeli biasanya adalah konten-konten panduan penggunaan, konten konsultasi, ataupun konten-konten promosi atau program loyalitas.

Diagram di atas menggambarkan jenis-jenis konten berdasarkan siklus tahapan konsumen. Sementara konten juga bisa dibagi berdasarkan karakternya yang akan memengaruhi emosi audiens yakni to inspire (menginspirasi), to entertain (menghibur), to educate (mengedukasi), dan to convince (meyakinkan).

Secara prinsip, pembagian konten berdasarkan empat matriks ini adalah sama seperti pembagian konten berdasarkan siklus konsumen. Sebab keduanya tetap dibuat berdasarkan pada tahap apa konsumen mengenal sebuah produk atau jasa.

Selengkapnya bisa melihat matriks di bawah ini.

Pertanyaan berikutnya memang tentang bagaimana cara memproduksi konten sebanyak itu dalam satu hari? Apakah Gary memproduksi semua mikro konten yang dia publikasikan? Saya skeptis tentang hal itu, tetapi ide besar dan konten pilar seperti vlog tentu saja melibatkan Gary.

Di artikel ini, saya berusaha meniru proses tersebut. Aritkel ini adalah artikel pilar yang saya akan menulis banyak hal di dalamnya. Selanjutnya saya akan memecah artikel ini menjadi beberapa bagian untuk beberapa sosial media. Bentuk terkecil dari konten artikel ini adalah cuitan di Twitter yang nantinya akan saya kemas dalam bentuk utas.

Bagaimana hasilnya? Saya berusaha untuk mencoba metode ini selama tahun 2020 dan berharap akan bisa melaporkan hasilnya di akhir tahun depan.

Kesimpulan

Berdasarkan kasus-kasus yang ada akhirnya content marketing memang tentang bagaimana menciptakan konten untuk tujuan marketing. Ingat, tujuannya adalah marketing. Itu artinya metriks yang diukur adalah tingkat awareness dan lead. Jadi bila Anda menganggap content marketing adalah obat jitu untuk masalah penjualan (sales), tunggu dulu, bisa jadi Anda salah persepsi.

Funnel dan Flywheel konsumen (Grafis: Hubspot)

Lihat diagram di atas, bahwa marketing adalah salah satu tahap saja dalam proses mendapatkan pelanggan. Itu sebabnya content marketing tidak bisa dilepaskan dari program lainnya seperti servis ataupun program sales. Semua harus terintegrasi dan bergerak bersama-sama.

Jangan sampai misalnya, Anda membuat program content marketing untuk meningkatkan kunjungan atau awareness, namun program sales tidak siap untuk menyambut banyaknya kunjungan atau lead yang datang.

Jadi, content marketing memang bukanlah hal yang baru. Namun content marketing saat ini telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh brand bila ingin bisa berkomunikasi, terhubung dan juga menjalin relasi dengan audiens. Hingga akhirnya bisa saling membangun kepercayaan.

Secara umum manfaat yang bisa Anda peroleh dari content marketing adalah

  1. Content marketing membangun trust pada calon konsumen
  2. Content marketing mampu mengenalkan produk atau jasa pada orang yang asing (awareness)
  3. Content marketing meningkatkan peringkat brand Anda di mesin pencari
  4. Content marketing bisa mendatangkan lebih banyak kunjungan atau pencarian tentang brand
  5. Pengguna, pembeli maupun pelanggan bisa membangikan konten dari brand untuk lingkungannya
  6. Content marketing membuat brand semakin dipandang sehingga reputasi akan meningkat
Sumber: contentmarkeniginstutite.com

Nah, bagaimana? Apakah Anda masih bingung tentang apa itu content marketing? Kira-kira seperti inilah pemaparan saya tentang metode marketing yang sedang naik daun ini. Akhirnya saya merasa setuju dengan Seth Godin yang menjelaskan bahwa content marketing adalah satu-satunya marketing yang tersisa.

Bila Anda memiliki ide, diskusi atau saran untuk mengembangkan pembahasan Anda bisa langsung saja memberi respon. Saya akan selalu terbuka dan mengupayakan membalasan respon-respon yang masuk

Terima kasih telah membaca
Semoga bermanfaat

Referensi:

Bonus

Saya menemukan konten poster klasik ini. Entah apakah ini pamflet atau poster iklan, tetapi konten ini bisa dikategorikan sebagai content marketing dari Ajinomoto di Indonesia.

Bagi Anda yang bisa menyimak tulisan-tulisan TEKNOIA di Medium, Anda bisa melakukan follow publikasi TEKNOIA. Atau jika Anda ingin menyimak tulisan saya pribadi bisa mengikuti langsung akun Bagus Ramadhan.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.