Siapa Sangka Lampu Sederhana Ini Bisa Selamatkan Warga di Wilayah Bencana
Energi listrik yang dihasilkan dari tenaga matahari hampir menjadi pemandangan yang jamaak saat ini. Namun kebanyakan dari inovasi energi terbarukan tersebut hanya berfokus pada kebutuhan perkotaan, dan bukan untuk di daerah terpencil atau bahkan wilayah terdampak bencana yang membutuhkan bantuan segera.
Sebuah inovasi penerangan akhirnya muncul karena permasalahan tersebut. Anna Stork dan Andrea Sresha yang merupakan mahasiswa di Columbia Graduate School of Architecture, Planning and Preservation berhasil membuat sebuah lampu tenaga matahari yang praktis sebab lampu ini dapat dilipat dan bisa mengapung di air bernama LuminAID. Lampu yang dibuat oleh LuminAID Lab ini merupakan lampu LED yang dilengkapi dengan sel surya lengkap dengan kantong anti-air.
LuminAID diklaim mampu menyala selama 8 jam dalam tingkat terang 35 lumen atau selama 16 jam untuk tingkat terang 20 lumen. Baterainya mampu didaya ulang sebanyak 500 kali dengan jangka penggunaan mencapai tahunan.
Inovasi yang dibuat Anna dan Andrea sejatinya merupakan tugas kuliah yang merespon bencana gempa bumi Haiti pada tahun 2010. Lampu tersebut bahkan akhirnya dapat digunakan untuk membantu bencana gempa di Jepang tahun 2011. Inovasi ini kemudian mendapatkan banyak apreasi dan penghargaan meskipun secara teknologi masih mengalami patent pending sehingga belum bisa dipasarkan secara internasional untuk kebutuhan darurat.
LuminAID juga sempat melakukan pendanaan keroyokan (crowd funding) lewat Indiegogo yang berhasil mencapai pendanaan 500% dari target. Dalam kampanye pendanaan tersebut, LuminAID Lab lebih berusaha memasarkannya sebagai lampu darurat yang cocok untuk perjalanan ataupun petualangan di alam. Sehingga lebih menyasar pada pasar gaya hidup ketimbang untuk kebutuhan mitigasi bencana. Meski begitu, patut diakui memang ide membuat lampu lipat bertenaga surya ini adalah sebuah kreasi desain yang cemerlang.
