Solusi Untuk Polusi Masker yang Terjadi Akibat Pandemi

Berbagai inovasi yang bisa jadi inspirasi

Pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan bencana kesehatan, ekonomi dan sosial, tetapi pandemi juga mengakibatkan bencana lingkungan. Bencana lingkungan tersebut terjadi akibat polusi limbah medis seperti obat-obatan, alat pelindung diri dan juga masker. Polusi medis ini tidak hanya berbahaya bagi flora dan fauna tetapi juga bagi manusia. Itu sebabnya, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

Salah satu upaya untuk menangkal masalah polusi limbah masker adalah dengan membuat inovasi masker yang lebih ramah lingkungan. Inovasi masker tersebut dilakukan oleh seorang siswi dari kota General Santos, Filipina yang membuat masker dengan memanfaatkan tanaman lokal bernama Taro.

Takip, masker kain hidropobik dari Filipina

Seperti dilaporkan Mongabay, inovasi masker yang lebih ramah lingkungan ini diberi nama Takip, yang artinya adalah “menutup”. Kiara Catojano adalah seorang siswi yang menemukan konsep untuk mengaplikasikan sifat hidropobik (menangkal air) dari lilin tanaman Taro (Alocasia marorrhizos) pada kain ataupun kapas untuk meniru fitur masker medis yang banyak digunakan selama pandemi Covid-19 di Filipina.

Untuk membuat Takip, hal yang dibutuhkan adalah melakukan ekstraksi wax tanaman Taro dengan heksana kemudian mengoleskannya pada masker kain biasa. Dengan cara ini, biaya produksi masker hidropobik Takip menjadi lebih terjangkau. Selain terjangkau, metode ini juga bisa membuat masker menjadi bisa digunakan ulang.

Inovasi ini kemudian diakui ketika Cartojano mendapatkan prestasi menempati peringkat empat pada kompetisi di Universitas Filipina Academic League of Chemical Enigneering Students (UP ALCHEMES) dan juga pada Virtual

Sayangnya, meski inovasi ini memberikan solusi pada pemanfaatan masker yang lebih ramah lingkungan Cartojano tidak berencana untuk mengembangkan inovasi ini lebih jauh. Dirinya mengaku terlalu sibuk dengan tahun pertamanya sebagai mahasiswi.

Geochanvre, masker organik terbuat dari serat ganja

Masker Geochanvre (Foto: Geovhanvre)

Jika inovasi Cartojano berhenti hanya sebagai sebuah konsep. Berbeda dengan inisiatif Geochanvre dari Prancis yang berusaha untuk menciptakan masker yang memiliki kemampuan sama seperti masker medis namun terbuat dari bahan organik dan ramah lingkungan. Geochanvre menemukan cara untuk mengolah serat tanaman ganja untuk dibuat menjadi masker.

Masker Geochanvre diklaim terbuat dari 100% bahan organik yang kualitasnya telah diawasi berdasarkan standar keamanan dan kesehatan sehingga telah siap untuk dijual secara bebas untuk masyarakat. Masker yang sepenuhnya dibuat dengan tangan ini memiliki tingkat kemampuan menyaring hingga 89% pada partikel berukuran tiga μm.

Berkat bahannya yang terbuat seratus persen organik, masker ini bisa menjadi masker sekali pakai. Masker ini juga tanpa pengawet, tanpa lem dan kimia berbahaya lain sehingga ramah lingkungan.

Bukan hanya sekadar inovasi tanpa produksi masal, produk masker Geochanvre telah terjual lebih dari 1,5 juta masker, setidaknya sejak diberitakan oleh Reuter pada bulan September 2020 yang lalu. Masker-masker serat ganja itu banyak digunakan di Eropa dan Kanada.

Inovasi ini memang terdengar unik dan nyeleneh. Tapi kamu perlu tahu bahwa serat ganja memang terkenal sudah banyak dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Salah satunya adalah untuk membuat kertas di masa peradaban pertengahan. Namun tidak dijelaskan apakah masker Geochanvre masih menimbulkan efek psikotoprika ketika dibakar. Jika iya, bisa saja pembelinya lebih termotivasi untuk mengolahnya sebagai sarana rekreasi dari pada untuk melindungi diri dari virus.

Solusi polusi masker, bukan hanya tentang bahan organik

Dua inovasi yang telah dijelaskan adalah contoh bagaimana para inovator berusaha menyelesaikan masalah dengan mengubah bahan masker yang sebelumnya tidak mudah terurai menjadi mudah terurai. Caranya adalah dengan melibatkan bahan baku organik.

Namun mengubah bahan masker saja tidak cukup. Sebab, skala produksi masker medis yang umumnya berbahan polypropylene jauh lebih besar dan lebih ekonomis. Itu sebabnya para ahli menyarankan untuk limbah masker seharusnya bisa didaur ulang.

Masalahnya adalah, saat ini masyarakat tidak mengetahui bagaimana membuang masker medis dengan benar. Hal ini menyebabkan masker-masker plastik terbuang tanpa terkendali sehingga mencemari lingkungan dan membahayakan kehidupan. OceanAsia pada tahun 2020 memperkirakan ada lebih dari 1,5 milyar masker yang mencemari lautan atau setara dengan 6.240 ton limbah lautan. Padahal, sebagaimana limbah plastik lainnya, masker juga akan terdegradasi menjadi mikroplastik.

Solusi terbaik dari pencegahan pencemaran akibat masker adalah dengan proses daur ulang. Mencegah melimpahnya limbah masker dari daratan ke lautan kemudian mendaur ulangnya menjadi produk lain yang juga bernilai manfaat. Sayangnya, proses daur ulang limbah masker tidak semudah produk lainnya. Limbah masker memiliki beberapa komponen yang memiliki bahan berbeda sehingga harus melalui pemilahan sesuai dengan bahannya masing-masing. Proses pemilahan ini membuat aktivitas daur ulang menjadi berbiaya tinggi dan tidak menguntungkan.

Cara lainnya adalah dengan menjadikannya bahan bakar pembangkit sampah, yakni untuk insinerator. Tetapi proses ini akan menimbulkan polusi udara yan tidak kalah berbahaya.

Itu mengapa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengimbau berbagai negara dan pihak untuk memperhatikan isu limbah masker ini. Bukan hanya terkait kebijakan dan peraturan tetapi juga tentang permodalan dan pemberdayaan.

Photo by Naja Bertolt Jensen on Unsplash

Situasi Limbah Masker di Indonesia

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Di Indonesia hingga saat ini inisiatif-inisiatif untuk menyelesaikan masalah limbah masker memang telah ada. Namun skalanya terbilang masih cukup kecil dan tidak masif, alias masih sekadar penelitian dan belum menjadi kebijakan yang serius.

LIPI (atau sekarang disebut BRIN) misalnya, mengabarkan telah memiliki metode untuk mengolah dan mendaur ulang limbah masker menjadi berbagai bentuk. Caranya adalah dengan melalui proses ekstrusi dengan memanaskan limbah hingga 170 derajat Celsius yang kemudian mengubah masker menjadi pallet dan bijih plastik. Bijih plastik kemudian bisa diolah menjadi produk lain yang bernilai. Namun metode ini masih berupa inisiatif yang ditawarkan pada pihak yang tertarik untuk melakukan daur ulang secara kolektif dalam skala kecil.

Padahal seperti yang telah dibahas, permasalahan limbah masker adalah masalah limbah masif dengan skala besar yang membutuhkan kebijakan yang tepat. Menyediakan fasilitas dan teknologi untuk mengolah limbah masker juga tidak murah dan membutuhkan investasi yang presisi. Itu mengapa, sepertinya Indonesia membutuhkan lebih banyak inisiatif untuk menyelesaikan masalah limbah masker ini.

Nah, bagaimana menurutmu? Apakah kamu punya solusi untuk masalah limbah masker ini? Jika kamu memiliki inovasi dan karya solutif yang bermanfaat untuk lingkungan dan masyarakat, kamu bisa kirimkan infornya pada TEKNOIA. Kami akan liput hasil karya dan inovasimu untuk dikabarkan melalui saluran milik grup teknoia.

--

--

Bagus Ramadhan
TEKNOIA — Inspirasimu untuk Berinovasi dan Bertumbuh

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.