[Hikmah] Nilai Sepotong Kue

Didik Tri Susanto
Teknomuslim
Published in
3 min readJun 2, 2015

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Sudah lama sekali rasanya tidak menulis di sini, terakhir kali postingan menunjukkan bulan Februari. Ya saya akui akhir-akhir ini menulis menjadi sesuatu yang tidak mudah. Ide muncul dimana-mana tapi mengaplikasikannya menjadi suatu tulisan sepertinya berat di tangan.

It doesn’t matter, i’ll come back here anyway…

Beli Kuenya ya Dek…

Beberapa hari ini saya beberapa kali mengunjungi plaza Dieng untuk memperbaiki keyboard laptop yang rusak. Dalam perjalanan masuk ke dalam gedung saya memperhatikan ada seorang gadis kecil berkerudung menjajakan kue-kue di tepian jalan menuju pintu masuk. Tidak ada lampu penerangan yang memadai sehingga saya tidak nampak jelas wajah adik itu dan kue apa saja yang dijualnya.

“Kue, Mbak…kue, Mas…”

Saat itu saya hanya berlalu di depannya karena memang agak terburu-buru.

Tadi malam saya harus kembali ke Dieng untuk mengantarkan laptop yang akan diservis. Sekali lagi bertemu dengan adik itu. Masih di tempat yang sama, dan di keremangan yang sama. Saya berkata pada partner saya nanti saat pulang kami akan beli beberapa kue darinya karena saya juga ingin ada cemilan di rumah, dan dia menyetujuinya.

Selesai mengantar laptop saya menghampiri adik kecil itu. Dia menjajakan kue-kue seperti donat, nogosari, pastel, dll, ditempatkan pada box berukuran sedang yang dipangkunya. Harganya Rp. 2.500 per buah. Sementara partner saya memilih beberapa kue untuk dibeli saya memperhatikan sekelilingnya. Tiba-tiba mata saya tertuju pada buku di sampingnya. Dari wujudnya seperti LKS atau buku pelajaran sekolah, tidak jelas untuk kelas berapa karena kondisi remang-remang. Iyah, adik itu nampaknya masih sekolah dan dia bekerja sambil tak lupa membawa buku untuk belajar.

Generasi Tangguh

Hati saya terketuk dengan melihat adik itu. Ingin bertanya sesuatu tapi rasanya terlalu banyak pertanyaan di dalam benak saya dan saya takut pertanyaan-pertanyaan itu akan mengganggunya. Salut saja saya melihatnya, di usianya itu dia sudah bisa mencari uang dan tak meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar!

Nyesek ketika di usia itu saya sendiri lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain Playstation atau keluyuran dengan teman-teman menghabiskan uang dari orang tua, sedangkan adik itu rela menghabiskan waktu dengan mencari rejeki. Bisa jadi dia mencari uang untuk biaya sekolahnya atau membantu perekonomian keluarga.

Dia adalah salah satu dari sekian banyak generasi tangguh yang mungkin tidak banyak dilihat oleh manusia lain. Saat anak-anak lain sibuk menghabiskan waktu untuk bermain dan bersenang-senang, dia sudah merasakan perjuangan menghidupi diri dan keluarganya. Saat anak-anak lain mengeluhkan beratnya sekolah, dia tak segan membawa buku pelajaran sambil bekerja agar dia bisa tetap bersekolah. Saya berharap ketangguhannya saat ini kelak akan membawanya menjadi orang hebat yang akan membawa perubahan bagi keluarganya atau bangsa ini.

Nilai Sepotong Kue

Kami selesai memilih beberapa kue dan membayar kue-kue itu sebelum kami bawa pulang. Hanya 4 buah kue mungkin nampak remeh bagi kami, tapi saya merasa bahwa sepotong kue saja yang terjual bisa membuat malam adik itu begitu cerah. Sepotong kue bagi saya bisa mengenyangkan saya, tapi sepotong kue baginya bisa jadi adalah harapan dan masa depan nya.

Hidup tak perlu mewah untuk bisa bahagia. Sepotong harapan yang muncul dalam hati pun adalah kebahagiaan yang mungkin jarang dirasakan oleh manusia.

Masihkah kita mengeluhkan hidup?

Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur bukan?

*sambil menikmati sepotong donat dari adik tangguh

--

--

Didik Tri Susanto
Teknomuslim

Proud to be Moslem | Introvert | Backend Engineer | Laravel Developer