[Jurnal Perjalanan]: Selebriti Semalam di Getras Paiton — Probolinggo

Didik Tri Susanto
Teknomuslim
Published in
3 min readOct 20, 2013

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Gerak Jalan Tradisional atau biasa disebut dengan getras ini dulu sering diselenggarakan oleh KNPI kabupaten Probolinggo untuk menyemarakkan Hari Kemerdekaan Indonesia. Gerak jalan ini bukan gerak jalan seperti pada umumnya, karena rute yang panjang, dan kehebohan kostum-kostum pesertanya. Ya peserta terbagi menjadi grup dan individu, serta mengenakan kostum yang unik.

getras paiton-probolinggo

Saya dan beberapa teman jurusan IPA di sekolah memutuskan untuk mengikuti event ini sebagai grup. ada sekitar 15 anak itupun sudah termasuk cadangan untuk grupnya. Biasanya satu bulan sebelum hari H, banyak orang berlatih getras di jalan-jalan,. Mengapa butuh latihan? Karena selain meningkatkan kekompakan, getras ini membutuhkan fisik yang kuat mengingat jarak tempuhnya kurang lebih 45 km :o Saat mereka rutin berlatih, kami hanya duduk manis dan tak melakukan apa-apa. Merasa fisik sudah kuat kali ya? :D

Yaa hari H tiba dan kami total latihan hanya 1 kali itupun hanya beberapa kilo, tapi itu tidak menyurutkan keyakinan kami bahwa getras ini akan lancar-lancar saja. Start di lapangan perumahan PJB Paiton, peserta membludak mencapai ribuan. Kami stand by sejak pukul 2 siang dan nomor urut yang didapat mengharuskan kita berangkat sekitar pukul 7 malam :I

Kami berangkat dengan langkah mantap, sorak sorai riuh penontoh yang memenuhi jalan membuat kami merasa menjadi pusat perhatian di kala itu walau hanya berkostum seragam olahraga sekolah dan bekal nyanyian berbahasa jepang yang kami pelajari di sekolah. Yaah tak terasa kami sampai di pos pertama alun-alun Kraksaan. Aneh, saya tidak merasa lelah sedikitpun. Sambil istirahat, kami makan malam dengan nasi bungkus yang sudah dibawakan oleh teman-teman.

getras IPA 3 SMAN 1 Kraksaan

Bersiap melanjutkan sisa perjalanan 25 km selanjutnya, saya mengoleskan balsem pada sekujur kaki. Ide bodoh ini muncul ketika saya berpikir balsem dapat meminimalisir pegal saat di perjalanan nanti. Kenapa ide ini bodoh? yaa beberapa saat kemudian saya merasa kaki saya seperti terbakar sampai tidak bisa jalan, sehingga saya terpaksa dibonceng menggunakan motor oleh teman saya. :|

perjalanan setelah pos pertama ini membosankan karena sepanjang jalan kebanyakan adalah sawah dan ladang tebu. Sedikit penonton yang menyemangati, lelah sudah mulai terasa, saling provokasi dengan tidak perlunya dengan grup lain. Provokasi yang berbuntut grup kami dilempar botol minuman air oleh kelompok lain. Ini menegangkan, saya hampir tidak bisa berpikir jernih membayangkan mereka datang lalu menggebuki kami semua.

Sekitar pukul 1 atau 2 malam kami sampai di pos 2 yaitu Pantai Bentar. Lelah sekali rasanya, bahkan beberapa mulai nyeletuk, “Eh pulang aja yuk. Capek nih.” Rasanya sayang sekali jarak sudah lumayan dekat jika harus pulang. Akhirnya sambil memantapkan niat, kami kembali berangkat. Tidak lupa kembali meneriakkan lagu sayounara dengan tidak pentingnya. Saya memaksa diri untuk melanjutkan perjalanan, Beberapa orang masih setia menonton event ini bahkan sampai menggelar tikar atau membawa kasur keluar rumah!

Duh, berjalan 30 km lebih itu rasanya sesuatu. Hampir-hampir kaki rasanya tidak ada karena sudah tidak terhitung lagi berapa banyak tumpukan asam laktat di sana. Akhirnya saya melihat garis finish, tapi entah mengapa rasanya lama sekali untuk bisa sampai di sana. Sekitar pukul 3 pagi kami sampai di tempat finish, bekal mulai habis, lelah sudah sampai taraf yang tidak pernah dibayangkan. Saya sudah tidak perduli, dan memilih tidur di atas rerumputan alun-alun kota Probolinggo.

Sekitar pukul setengah 6 saya dipaksa bangun untuk pulang. Kami bergantian dibonceng oleh teman-teman yang mengawal perjalanan ke jalan kota untuk mencari angkot. Yaa setelah beberapa saat angkot yang ditunggu tak kunjung datang, kami menghadang sebuah pick up. Pick up berhenti sekitar 10 meter dari tempat kami menunggu. Si sopir berteriak, “Ayo lari cepetan!”. Jangankan lari, jalan pun kami seperti anak baru disunat. Menyiksa.

Setelah turun dari bus, saya berjalan menuju rumah sambil berharap tidak ada orang-orang yang berkomentar aneh mengapa saya berjalan dengan gaya absurd seperti itu. Ya iyalah, semalam berjalan jauh seperti itu juga ngefek sama gaya berjalan saya saat itu. Toh pada akhirnya ada juga tetangga yang melihat dan berkomentar. Saya hanya cengar cengir dengan tidak jelasnya. Pikiran saya hanya satu, kasur untuk tidur di kamar. Tapi mungkin ini adalah awal dari hobi saya untuk jalan kaki. Ya, jalan kaki kemana saja :D

*sekian*

--

--

Teknomuslim
Teknomuslim

Published in Teknomuslim

Didik's thoughts and research about software engineering, project management, leadership and startup world

Didik Tri Susanto
Didik Tri Susanto

Written by Didik Tri Susanto

Proud to be Moslem | Introvert | Backend Engineer | Laravel Developer