Gejala Unik Ketika Terinfeksi COVID-19

Pengalaman isolasi di rumah dan di rumah sakit

M. Ramadhan
Telematika
6 min readJun 9, 2021

--

Demam, batuk, flu, kelelahan adalah gejala umum yang biasanya dirasakan oleh penderita Covid-19. Saat terinfeksi COVID-19 pada Mei 2021, saya merasakan gejala unik yang mungkin jarang dirasakan oleh penderita lain:
• penglihatan kabur
• bisa mencium bau tapi bercampur bau lain seperti bau apek
• minuman terasa sangat manis hingga tak tertahankan
• makanan terasa pahit dan asin.

Photo by Prasesh Shiwakoti (Lomash) on Unsplash

Akhirnya saya tertular Covid-19 juga! Padahal saya selalu memakai masker kalau keluar rumah. Padahal saya selalu menjaga jarak. Padahal saya rajin mencuci tangan. Padahal saya senantiasa menghindari kerumunan. Padahal …

Mengapa saya yang mematuhi protokol kesehatan masih juga terinfeksi COVID-19? Sangat wajar bila saya ingin mengetahui, dari total pasien terinfeksi COVID-19 di Indonesia, misalnya selama Januari s.d April 2021, berapa persen jumlah pasien yang:
• selalu mematuhi protokol kesehatan
• kadang-kadang mematuhi protokol kesehatan
• tidak mematuhi protokol kesehatan sama sekali.

Saya tidak menemukan datanya di internet. Apakah belum ada yang menelitinya? Apakah hal itu dianggap tidak penting? Yang ada adalah data total pasien yang terinfeksi, total pasien sembuh, total pasien meninggal, baik harian maupun selama pandemi, mulai dari level nasional, provinsi, sampai kabupaten/kota.

Saya tidak tahu persis kapan sebenarnya saya terinfeksi COVID-19. Pada akhir April 2021, saya flu. Saya menganggap hal ini biasa saja. Tidak ada gejala aneh yang saya rasakan. Saya masih bisa merasakan makanan lezat dan tidur nyenyak. Tiba-tiba pada hari Selasa, 11 Mei 2021 — sebagai acuan, anggaplah ini sebagai hari pertama — saya demam dan merasa sangat lelah. Saya mulai curiga. Malamnya saya menjalani tes antigen, hasilnya positif. Walaupun saya sudah siap, apa pun hasilnya, tidak urung saya masih terkejut juga. Istri dan ketiga anak saya menjalani tes yang sama, hasilnya negatif. Malam itu juga saya langsung mengisolasi diri.

Hari ke-2, Rabu, 12 Mei 2021, istri dan anak bungsu demam. Jangan-jangan tertular dari saya. Kami sepakat mengabarkan hal ini di grup WA keluarga, dan menyatakan Idul Fitri tahun ini kami tidak menerima tamu.

Hari ke-3, Kamis, 13 Mei 2021, Idul Fitri. Masih ada juga yang ingin bertamu tapi kami tolak secara halus dengan menceritakan hal yang kami alami. Malamnya kami ke IGD RS Provinsi dengan maksud menjalani tes PCR. Mungkin karena masih suasana lebaran, layanan tes PCR belum ada. Kami bertiga dirontgen dan diambil sampel darahnya.

Hari ke-4, Jumat, 14 Mei 2021, diperoleh hasil rontgen.
• Saya dan istri: tampak infiltrat di paru kiri dan kanan
• Anak bungsu: ada infiltrat di paru kanan.
Infiltrat merupakan gambaran radiologi paru yang abnormal, berbentuk titik-titik atau bercak dengan batas tidak tegas. Dalam kasus ini, infiltrat menunjukkan adanya pneumonia yaitu peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi COVID-19. Gejala umum pneumonia adalah batuk berdahak, demam, dan sesak napas. Untungnya kami tidak sesak nafas. Gejala yamg kami alami:
• saya: flu, batuk, tenggorokan gatal, demam
• istri: batuk, tenggorokan gatal, demam
• anak: hanya demam.
Walaupun belum menjalani tes PCR, melihat hasil rontgen, saya hampir yakin kami bertiga terinfeksi COVID-19.

Hari ke-5, Sabtu, 15 Mei 2021, pk. 10.00, kami ke RS Provinsi. Sampel lendir diambil dari hidung dan tenggorokan untuk tes PCR. Malamnya diperoleh hasil, kami bertiga positif terinfeksi COVID-19.

Ada kesamaan gejala yang kami bertiga alami, yaitu demam, lelah dan tidak ada nafsu makan. Demam tinggi, 38–39° C, menyebabkan tidur disertai dengan mimpi tidak keruan. Saya dan istri batuk disertai dengan tenggorokan gatal. Ada gejala lain, hanya saya yang merasakannya, yaitu:
• flu dan sakit kepala
• bisa mencium bau tetapi tercampur dengan bau lain seperti bau apak
• semua makanan terasa pahit dan asin
• minuman manis terasa luar biasa manisnya sampai tidak tertahankan
• penglihatan kabur.

Yang perlu diwaspadai adalah hypoxemia ‘hipoksemia’ dan hypoxia ‘hipoksia’. Keduanya sama-sama menggambarkan kegawatdaruratan akibat kekurangan oksigen dalam tubuh sehingga sering disalahpahami sebagai satu istilah yang sama. Hipoksemia adalah kondisi menurunnya kadar oksigen dalam darah di bawah normal. Sedangkan hipoksia adalah rendahnya kadar oksigen dalam jaringan tubuh yang merupakan kondisi lanjutan dari hipoksemia. Dengan demikian, keduanya merupakan kejadian yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hipoksemia dan hipoksia menimbulkan bermacam-macam gejala, seperti sesak napas, nyeri dada, keringat dingin, batuk-batuk, kebingungan, dan kulit membiru.

Ada penderita COVID-19 yang mengalami hypoxia tampak sehat dan tidak memiliki gejala apa pun. Keadaan ini disebut happy hypoxia, sangat berbahaya! Yang bersangkutan tidak menyadari kalau kadar oksigen dalam darahnya menurun di bawah normal yang bisa mengakibatkan kerusakan organ tubuh, bahkan meninggal dunia. Menurut spesialis paru dari RS Persahabatan, dr. Erlina Burhan, MSc, SpP, happy hypoxia terjadi karena adanya kerusakan saraf yang mengantarkan sensor sesak ke otak. Akibatnya otak tidak dapat memberikan respons karena tidak mengetahui telah terjadi kekurangan oksigen dalam darah. Normalnya, ketika terjadi kekurangan oksigen, otak akan mengirim sinyal ke tubuh untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya dengan cara bernapas cepat sehingga terlihat sesak.

Hari ke-11, Jumat, 21 Mei 2021, bagi saya tidak ada kemajuan setelah sepekan isolasi mandiri di rumah, napas sesak, pengukuran menggunakan oksimeter menunjukkan kadar oksigen dalam darah menurun di bawah normal. Mengingat saya pun memiliki penyakit penyerta hipertensi, saya minta dirawat di rumah sakit. RS Provinsi dan RSUP penuh, kalau mau bergabung, sekamar 3 pasien. Untung ada RS swasta yang pasiennya ada yang sembuh. Walaupun tanpa Wifi, saya sangat bersyukur menempati kamar luas setara kamar hotel berbintang, lengkap dengan kamar mandi di dalam dengan air panas/dingin, AC dan TV.

Saya belum pernah dirawat di RS. Cukup kaget ketika dipasang masker oksigen. Masker oksigen ternyata sangat menyegarkan, berguna untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah. Tidak menyangka, diinfus juga. Masker oksigen bisa dilepas, tapi infus tidak. Hal ini sangat merepotkan dan membatasi gerak, misalnya mandi, buang air besar/kecil, menggosok gigi, berwudhu, shalat, mengganti pakaian, dsb. Setiap hari, dari siang sampai menjelang sore, lewat infus disuntik obat batuk, antivirus, antibiotik. Pagi, siang, malam, makan minum terjaga, minum obat, dicek suhu tubuh, tensi dan kadar oksigen darah. Kesehatan berangsur membaik.

Hari ke-14, Senin, 24 Mei 2021, mulai merasa sehat. Nafsu makan naik, makananan dari RS empat kali sehari —pagi, siang, sore, malam — selalu habis disantap. Pada hari itu juga perawat mengambil sampel lendir untuk tes PCR.

Hari ke-16, Rabu, 26 Mei 2021, merasa sudah sehat nian. Nafsu makan tinggi, sampai merasa makananan dari RS kurang banyak. Suhu tubuh menurun hingga 36,3° C. Begitu pula tensi darah menurun dari 160/90 ke 140/80. Dengan bantuan masker oksigen, kadar oksigen darah 99, sangat bagus. Ingin pulang namun belum diizinkan karena hasil tes PCR masih positif.

Hari ke-18, Jumat, 28 Mei 2021 masker oksigen diganti dengan selang oksigen yang lebih ringan. Kadar oksigen 99, tetap bagus. Perawat mengambil lagi sampel lendir untuk tes PCR. Ternyata RS tidak memiliki lab PCR. Jadi masih menunggu hasilnya dari tempat lain yang katanya sangat banyak sampel yang harus diuji sampai overload. Kabar baiknya, istri dan anak yang diisolasi mandiri di rumah, hasil tes PCR-nya negatif.

Hari ke-19, Sabtu, 29 Mei 2021 infus dicabut. Sangat menyenangkan karena dapat lebih bebas begerak: mandi, buang air besar/kecil, menggosok gigi, berwudhu, shalat, mengganti pakaian, dsb.

Hari ke-20, Ahad, 30 Mei 2021, lepas Isya dikabari hasil tes PCR negatif. Bukan alang kepalang leganya, sebagai muslim saya langsung sujud syukur. Ditanya, “Mau pulang malam ini atau besok?”. Tentu saja pulang malam itu juga, dijemput anak saya yang sulung. Dirawat sepuluh hari di RS lebih dari cukup. Sebelum pulang, saya dibekali sembilan macam obat untuk satu pekan, antara lain obat batuk, obat hipertensi, macam-macam vitamin, penambah nafsu makan, antibiotik. Untuk pemulihan, diminta untuk melanjutkan isolasi mandiri di rumah selama empat belas hari.

Hari ke-21 s.d 27, sepekan kepulangan, merasa sangat lesu dan lelah, limbung kalau berdiri atau berjalan. Selama terinfeksi COVID-19, berat badan turun 5 kg. Nafsu makan tinggi, makan banyak tiga kali sehari, namun berat badan tidak bertambah secara signifikan.

Hari ke-30, Rabu, 9 Juni 2021, walaupun sudah berkurang, kelesuan dan kelelahan masih terasa. Hasil penelitian di beberapa negara menunjukkan lebih dari separuh penyintas Covid-19 mengalami kelelahan berpekan-pekan bahkan hingga berbulan-bulan.

Kesehatan adalah nikmat yang paling sering dilupakan. Kita merindukannya ketika sakit. Ketika sehat kita tidak mensyukurinya. Ampuni kami, ya Allah.

Terima kasih sudah membaca. Semoga berfaedah.

--

--

M. Ramadhan
Telematika

I’m a database designer and developer, childhood in Menggala, living in Palembang.