Kenapa Kita Terobsesi pada Selebriti?

Dear fanboy dan fangirl, ada penjelasan kenapa hidup sang idola kadang terasa lebih penting dibanding hidup kita sendiri

Published in
5 min readFeb 15, 2018

--

Cemburu artis Korea idolamu akhirnya menikah? Sedih gegara One Direction nggak kunjung reuni? Search history Google-mu isinya berita tentang artis idola melulu?

Nggak usah panik, kamu nggak sendirian.

Asal dalam takaran yang tepat, rasa kagum-mu bukan masalah, tapi hati-hati kalau sudah merugikan diri sendiri (dan orang lain).

Tapi sebenarnya kenapa sih, perasaan semacam ini bisa muncul?

Ada dalam DNA

Stuart Fischoff, PhD, juru bicara American Psychological Association dan Professor Emeritus Psikologi Media di California State University menjelaskan bahwa manusia secara natural memiliki DNA yang memengaruhi kita untuk memiliki kecenderungan tertarik pada para wanita dan pria alfa — mereka yang memiliki kualitas prima, penting, dan menonjol di kelompoknya.

Menurutnya, secara sosiologis kita terporogram untuk “mengikuti pemimpin”.

Celebrity Worship Syndrome

Istilah “Celebrity Worship Syndrome” (CWS) pertama kali dipopulerkan oleh jurnalis Daily Mail, James Chapman, melalui artikel berjudul “Do You Worship the Celebs?”. Tulisan ini meliput hasil penelitian Dr.John Maltby dan koleganya di Journal of Nervous and Mental Disease.

CWS dijelaskan sebagai kondisi obsesif dimana seseorang menjadi sangat terobsesi dengan detil kehidupan selebriti, terutama di dunia hiburan.

Maltby dalam penelitiannya tersebut menggolongkan CWS ke dalam tiga level berbeda :

1. Level pertama, dimensi hiburan-sosial.

Di level ini, seseorang tertarik pada selebriti karena kemampuan mereka untuk meghibur (menyanyi, akting, dll), dan sesekali membicarakannya dengan teman. Mencari tahu cerita hidup selebriti juga dilakukan, tapi sekedar untuk bersenang-senang.

2. Level kedua, dimensi intes-personal.

Di level ini nih, biasanya rasa kagum perlahan berubah jadi obsesi. Pada tahap ini, seseorang sudah merasa bahwa idolanya adalah soulmate mereka, dan merasa mereka memiliki hubungan spesial dengan idola. Pikiran obsesif tentang idola kerap muncul kapanpun.

3. Level ketiga, dimensi borderline pathological.

Di tahap ini, perilaku seorang fans udah di luar batas dan kerap nggak terkendali. Misalnya nih, ia rela untuk ngeluarin uang ratusan juta sampai berhutang, hanya untuk memiliki sapu tangan bekas pakai sang idola.

Sisi Positif Ngefans

Menurut profesor psikiatri Eric Hollander MD, untuk orang-orang yang mengidolai selebriti, namun masih memiliki kehidupan dan hubungan sosial yang baik di dunia nyata, hal tersebut tidak akan menjadi masalah.

Malahan, dalam beberapa kasus, mengidolai seseorang bisa memberi influence positif, misalnya dengan mengagumi selebriti yang akhirnya memberi semangat pada seseorang untuk mencapai ambisinya atau meraih mimpinya.

Pada 2008, psikolog Shira Gabriel dari University of Buffalo mengukur tingkat kepercayaan diri mahasiswa yang seperlima-nya mengaku mengidolai selebriti, dan kemudian meminta mereka mengisi kuesioner dan menuliskan hal tentang idolanya selama lima menit. Setelah menulis hal seputar idola yang mereka sukai, tingkat kepercayaan diri mereka naik pada tes kedua.

Menurut Gabriel, rasa kagum yang tidak berlebihan pada selebriti bisa menjadi hal yang baik karena mampu meningkatkan rasa memiliki dan menjadi bagian dari komunitas, dua hal penting untuk perkembangan anak yang sehat.

Kapan jadi bahaya?

Tapi nggak selamanya positif bin inspiratif lho.

Kagum sama selebriti juga bisa berpotensi menggangu kesehatan jiwa seseorang, bahkan, dalam kasus ekstrim, hingga mencelakai idolanya sendiri dan orang sekitar lewat tindak kriminal.

Kira-kira, kapan sih, ngefans bisa berbahaya?

Ketika sudah menggantikan kehidupan sosial

Shira Gabriel juga menegaskan, walaupun bisa menjadi hal positif, mengagumi selebriti juga bisa berbahaya. Perilaku menguntit, mengimitasi idola secara ekstrim, hingga mengisolasi diri dari kehidupan sosial, pertemanan dan keluarga bisa dilakukan.

Menurutnya, fans yang terobsesi bisa ‘menggantikan’ relasi sosial di dunia nyata dengan hubungan angan-angan bersama idolanya. Hal ini dilakukan karena di dunia nyata, mereka kerap dihantui rasa takut dan cemas terhadap penolakan dari sekitarnya.

Di tahap ini, ketika seseorang menggantikan kehidupan sosial dengan kehidupan sebagai fans, adalah titik dimana seseorang mulai terlibat permasalahan lebih jauh dari perilakunya tersebut.

Ketika memengaruhi persepsi terhadap tubuh

Sering dengar istilah “body goal” di media sosial? Hal ini kerap merujuk pada bentuk tubuh milik selebriti atau influencer yang dinilai “sempurna” dan patut ditiru.

Hal ini pada level tertentu bisa menjadi hal yang merusak persepsi fans terhadap badannya sendiri.

Hasil penelitian di Britania Raya tentang peran selebriti membentuk persepsi tubuh pada remaja, pelajar, dan dewasa menunjukan bahwa, untuk remaja perempuan usia 14–16 tahun, ada hubungan yang signifikan antara perilaku obsesif terhadap selebriti dengan rendahnya penilaian terhadap badan sendiri.

Ketika fans menunjukan gejala gangguan psikologis

Meskipun level pertama CWS tidak punya hubungan dengan gangguan kepribadian klinis apapun, tetapi, level kedua memiliki hubungan dengan kecenderungan fantasi yang berlebihan, begitu pula level ketiga. Semakin tinggi levelnya, semakin besar seseorang akan memiliki fantasi berlebih, hingga pada tahap mengacaukan kordinasi emosional dirinya dan menyebabkan cemas dan depresi.

Orang yang memiliki fantasi berlebih ini tercatat mengalami halusinasi, bayangan akan masa kecil, hingga pengalaman mistis.

Kondisi CWS juga membuka kemungkinan seseorang untuk memiliki kecenderungan yang tidak sehat, seperti perilaku boros dan belanja spontan.

Salah satu contoh perilaku-perilaku fans yang sudah dianggap di luar batas kewajaran adalah fenomena “Sasaeng”yang menjamur di Korea Selatan. Sasaeng secara harfiah memiliki arti “privat”, dan merupakan adalah istilah untuk menyebut para fans di Korea Selatan yang sangat tergila-gila pada artis Korea pujaannya, dimana mereka mengaku berani mengambil tindakan seperti keluar dari sekolah dan pindah ke Seoul untuk menguntit para artis, menyusup ke rumah artis dan mencuri barang mereka, menggores artis dengan benda tajam untuk mengambil darahnya (??!), hingga mencari uang dari prostitusi untuk bisa terus menopang obsesinya.

Serem banget nggak sih?

Apa yang bisa dilakukan?

Keluar dari lingkaran fandom ini memang bukan perkara mudah, tapi bisa dilakukan kok.

Awali dengan mengidentifikasi, ada di level mana kah obsesi kita? Bila sudah sangat parah dan sulit dibendung, nggak ada salahnya lho datang untuk curhat ke psikolog agar bisa ditangani lebih tuntas dan profesional.

Atau, kita bisa melakukannya dengan membatasi diri mengakses situs-situs internet mengenai sang idola, seperti menolak suggestion YouTube tentang video-video artis tersebut, atau mengatur waktu maksimal per-bulan untuk browsing tentang mereka.

Jauhkan diri dari hal-hal atau barang yang bisa mengingatkan kita dengan idola, cabut poster-poster di kamar, simpan majalah-majalah (masih musim nggak sih) tentang mereka di gudang. Hal ini bisa membantu kita untuk “menaruh” pikiran obsesif di tempat yang sulit dijangkau.

Sibukkan diri dengan kegiatan positif yang memungkinkan terjadinya interaksi dengan orang-orang baru, seperti menjadi volunteer acara tertentu, atau mencari kerja sambilan. Hal ini juga bisa menaikkan rasa penghargaan terhadap diri.

Sumber :

psychologytoday.com . Celebrity Worship Syndrome, A brief psychological overview (diakses 14 Feb 2018)

medicaldaily.com . The Psychological Effects Of Idolatry: How Celebrity Crushes Impact Children’s Health (diakses 14 Feb 2018)

Maltby, J., Giles, D., Barber, L. & McCutcheon, L.E. (2005). Intense-personal Celebrity Worship and Body Image: Evidence of a link among female adolescents. British Journal of Health Psychology. (diakses 14 Feb 2018)

Maltby, J., Day, L., McCutcheon, L.E., Houran, J. & Ashe, D. (2006). Extreme celebrity worship, fantasy proneness and dissociation: Developing the measurement and understanding of celebrity worship within a clinical personality context. Personality and Individual Differences. (diakses 14 Feb 2018)

Korea Joongang Daily (koreajoongangadaily.joins.com). When an autograph isn’t enough (diakses 15 Feb 2018)

Vulture.com. Is There Something Psychologically Unhealthy About Being a Fan? (diakses 15 Feb 2018)

Webmd.com . A New Age of Celebrity Worship : Experts help you understand the good, the bad, and the ugly of being the world’s biggest fan. (diakses 15 Feb 2018)

--

--