Gimana ya pengalaman membangun tim Produk dan Kultur-nya? Simak cerita dari ex-VP Bukalapak yuk!

Irwanto Widyatri
Teman Produk
Published in
5 min readDec 29, 2020
Ini sekedar ilustrasi doang ya via Unsplash

Sekitar empat bulan lalu sejak artikel ini saya tulis, saya bergabung dengan komunitas Teman Produk, sebuah komunitas yang menurut saya cukup seru topik-topiknya dari para penggiat Product Development (mayoritas sih sepertinya lebih ke digital product).

Btw, kalo mau join, bisa kesini ya 👉 http://bit.ly/temanproduk-discord

Nah pada awal bulan Desember 2020 ini, Teman Produk mengadakan sesi Product Talks (sebuah program rutin Teman Produk), sebuah sesi sharing session yang mengundang pakar dari dunia Product Development.

Pada sesi yang saya tonton ini, Teman Produk berkesempatan untuk belajar dari mas Zakka Fauzan. Beliau sekarang bekerja di Telkom Indonesia sebagai Lead of Product Chapter dan sebelumnya juga pernah malang melintang di banyak startup keren, salah satunya adalah Bukalapak yang akan menjadi case study pilihan beliau di sesi Product Talks ini. Buat kamu yang ketinggalan sharing session-nya, tenang aja. Yuk langsung aja tonton videonya dibawah.

Bicara tentang Company Growth

Disini mas Zakka menceritakan pengalamannya bekerja di Bukalapak yang mengalami growth di Bukalapak, hampir setiap tahunnya. Dan beliau bagi kedalam 5 phase selama beliau bekerja disana.

History of Growth of The Unicorn via Youtube Teman Produk
  • Phase A: Bukalapak mulai didirikan oleh para co-founder-nya dan kemudian mendapatkan Seed Funding.
  • Phase B: Bukalapak memperoleh funding series A di tahun 2012 dari Gree Ventures, dimana mas Zakka saat itu baru bergabung ke Bukalapak sebagai karyawan ke-17, masih sangat lean dan the real startup.
  • Phase C: Pendanaan Series B — EMTEK Group.
  • Phase D: Pendanaan Series C, dimana Bukalapak sedang kencang-kencangnya untuk melakukan big movement dan berbagai inovasi. Bahkan rekornya seminggu bisa merekrut 65 orang! 🙇‍♂️
  • Phase E: Masuk ke mode Bukalapak yang lebih stabil dan mencari hal yang mendukung sustainability dan profit.

Company Growth vs Way of Working, apa saja ya perubahaannya?

Sebenarnya sebelum ke bagian ini mas Zakka juga menceritakan kontekstual Bukalapak (sebagai sebuah perusahaan) pada setiap phase-nya, intinya perubahannya terletak pada jumlah human resource-nya, perubahan rules yang tadinya sangat “vanilla” menjadi lebih terstruktur dengan, perubahan divisi dan tanggung jawabnya, hingga benefit untuk para karyawan Bukalapak. Namun untuk mempersingkat komposisi tulisan ini saya akan langsung ke perubahan cara tim produk Bukalapak bekerja.

Impact to Product Way of Working via Youtube Teman Produk
  • Phase A: Product function led by CEO — pak Achmad Zaky
  • Phase B: Product function led by mas Zakka dibantu oleh System Analyst.
  • Phase C: Bukalapak mulai menerapkan sistem squad dan divisi lain seperti Data, Design dan QA bersifat shared resource.
    Pada phase ini juga mas Zakka menjelaskan kalau beliau masih ikut mengembangkan sebuah product, jadi beliau punya ekspektasi seorang Product Manager yang baik pada fase ini harus generalist, dimana ketika ada resource yang sedang di utilize oleh team lain, seorang Product Manager harus bisa membantu pekerjaannya.
  • Phase D: Bukalapak menerapkan sistem tribe, semua resource sudah mulai dedicated jadi Product Manager bisa lebih fokus di business dan product sidenya.
  • Phase E: Masih menggunakan sistem tribe, namun growth-nya sudah tidak sesignifikan ketika perubahan dari Phase C ke Phase D. Dan setiap tribe akan memiliki business partners-nya (seperti Finance, HR ataupun Legal).

Company Growth vs Product Culture, apa dampaknya ya?

What About The Culture via Youtube Teman Produk

Semakin berkembangnya Bukalapak, tentu saja Product Culture nya juga akan mengalami perubahan. Perubahan yang paling directly impacted adalah perkembangan jumlah human resource-nya, kemudian perubahan business case atau decision yang juga semakin tajam dan profit oriented.

Nah di Product Culture yang mas Zakka ceritakan ada 3 core Product Culture serta perubahannya yang dibagi menjadi:

Experimentation

  • Beginning: Just DO IT now. Lakukan semua ide yang ada.
  • Next: Sudah ada tools untuk mengukur baik/tidak-nya sebuah proses experimentation.
  • Later: Hanya melakukan experiment yang peluang mendapatkan impact/profit-nya lebih tinggi.

Data-Driven

  • Beginning: Hanya sedikit data yang bisa diolah, bahkan end to end (misal: berapa banyak yang login dan berapa banyak yang transaksi?) saja.
  • Next: Lebih banyak data yang event based beserta funnel pendukungnya. Sudah ada qualitative data yang mendukung data quantitative.
  • Later: Memilah data yang perlu dipertimbangkan dari sekian banyaknya data untuk proses pengambilan keputusan.

Autonomous & Blameless

  • Beginning: Kalau ada experiment yang gagal tidak akan direfleksikan di Performance Appraisal, tapi ada lesson learn dan membuat postmortem (apabila ada permasalahan) → sebagai penanda agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
  • Next: Setiap squad sudah dapat melakukan deployment sendiri, namun culture yang dibangun agar setiap team dapat mengakui kesalahan (apabila terjadi kesalahan), serta langsung bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan terhadap kesalahan tersebut.
  • Later: Deployment dapat dilakukan oleh setiap squad/tribe, namun ada batasan yang diatur untuk meminimalisir major error yang mungkin terjadi.

Last but not least dari Mas Zakka

  • Kekeluargaan itu cocok, apalagiketika Bukalapak 10–30 orang, tapi ketika perusahaan semakin besar, perusahaan tetaplah perusahaan. Ada metrics yang harus diukur dan goals (misal profit) yang harus dicapai. Jadi yang penting bukanlah kekeluargaan tetapi kebersamaan dan guidance-nya untuk setiap employee agar dapat lebih baik lagi.
  • Core Culture tetap harus dipertahankan, tetapi tetap harus di challenge terutama untuk karyawan yang lumayan kritis. Oleh karenanya boleh saja merekrut karyawan yang berasal dari culture yang berbeda untuk menguji dan memperbaiki core culture yang sudah ada, namun tetap dijaga core culture yang sudah terbentuk.
  • Belum tentu setiap culture cocok untuk setiap perusahaan, misalnya ada beberapa company yang lebih mengutamakan business driven ketimbang product & engineering driven → misalnya untuk perusahaan yang operational heavy.

Dari pengalaman mas Zakka di Bukalapak diatas pasti ada satu atau mungkin banyak hal yang mirip dengan pengalaman kita di dunia profesional, apalagi di industri startup. Menurut saya kuncinya adalah kita harus sadar dan menerima kalau di setiap growth pasti ada pain.

Ketika kita bersikap reluctant terhadap pain/responsibility yang kita terima, bukan hanya diri kita saja yang terdampak, tapi bisa jadi culture atau pun team yang bersama dengan kita juga bisa ikut terdampak.

Jadi adakah pengalaman dari mas Zakka yang mirip dengan pengalamanmu selama bekerja? Sharing aja disini: http://bit.ly/temanproduk-discord

Good luck, have fun!

--

--

Irwanto Widyatri
Teman Produk

Love to learn product, digital marketing and game industry.