Enaknya jadi Komodo

Opium
terus kenapa?
Published in
4 min readMar 31, 2020

Sekilas bicara tentang siapa diri lo.

Gambar: (imgur) https://i.imgur.com/vnXTKPc.jpg

Who are you?

Ya ya.. gue tau lo pasti kenal diri sendiri. Mungkin? Gue tau lo bukan komodo,.. iya. Tapi gue di sini mau ajak lo kembali ngerenungin siapa lo sebenernya dan gue bakal tunjukin, gimana enaknya kalo lo bisa jadi seekor komodo. Coba pikir lagi, siapa sih diri kita? Ya biasanya kita akan menjawab dengan pekerjaan, status pendidikan, hobi, atau golongan-golongan lain yang asik buat disebut jadi identitas lo. Misalnya, gue dokter, gue anak kuliahan, gue ..hmmm.. anak indie. Hehe. Jangan offended, gue juga suka indie kok… dulu..

Apa yang biasa lu perkenalkan, apakah itu bener-bener lo? Di dalam sebuah perkenalan tingkat SD di depan kelas, perkenalan selalu menyertakan nama, hobi, dan segala macam hal yang bisa saja berganti-ganti. Sesuatu yang gak akan selalu menggambarkan diri lo. Hobi lo aja bisa ganti. Contoh yang gampang lewat preferensi musik, pas SMP banyak yang suka denger band emo, SMA pop punk, masuk kuliah ya indie.. kalo gak ya paling-paling dengerin lo-fi yang agak trend blakangan ini. Apa menurut gue doang ya? Hahaha. Ya.. paling cuman nama doang yang gak ganti. Itu juga karena udah ditentuin dan tertulis aja di Akte Lahir lo. Kenyataannya bisa juga diganti sama temen temen lo dengan nama panggilan baru. Hmm, somehow gue keinget pak Ahok.. eh maaf BTP maksudnya. See?

“Artinya kita suka banget identifikasi diri dengan hal yang sementara”

Dipaksa Algoritma?

Pernah denger algoritma? Sebuah sistem komputasi.. yang sederhanya.. mengelola data untuk membuat hasil yang diinginkan. Yap sistem yang banyak digunakan di medsos semacam IG, FB, bahkan Youtube yang sering lo buka. Di medsos, sistem semacam ini digunakan untuk mengetahui apa yang lo mau. Ya, ibaratnya dari banyak data.. dia tau harus nyajiin masakan apa yang bakalan terus-terusan lo makan. Pernah kan ngerasa, ketika lo buka yutub cari lagu-lagu genre tertentu.. yang keluar nanti lagu-lagu yang sejenis. Kalau lo liat explore IG seseorang, lo bakal liat apa yang sering mereka cari. Entah hal-hal politik atau malah gambar-gambar dengan busana menggelitik.

Masalah gak sih? Gatau deh, menurut masing-masing aja.. Ya mungkin kita bisa lebih seneng karena disajiin sesuatu yang kita suka. Hmmm… Cuman.., cuman nih ya guys.. Cuman dengan begitu. Apa yang lo suka itu, pasti dibentuk. Diarahkan ke sesuatu yang lo suka. Balik lagi, pas lo diarahkan lo akan ngerasa diri lu ada di sana. Muncullah identitas yang agak keras dari sesuatu yang disajikan ke lo. Lo bisa ngerasa jadi anak indie banget, jadi politikus bahkan aktivis lingkungan dadakan, jadi pencinta kopi bahkan bobba dadakan yang tiba-tiba “punya” kemampuan jadi expert minuman-minuman itu.

Paham? Ya, contoh realnya setelah film 5 cm atau filosofi kopi, temen-temen lo.. atau bahkan lo.. jadi anak perkopian yang nyeduhnya paling mantep kalo digunung sambil lihat senja. Bisa lihatkan? Data-data yang ada disekitar lo membentuk lo. Atau bahkan setelah film imperfect-nya Ernest, lo jadi pada sibuk-sibukan berbeda dan being authentic. Is that really you? Or is just a trend? Trend which is made by algorithm.

“Bahkan kecurigaan gue nih, semangat being-authentic atau being different yang terjadi sebagai kontra bagi trend-trend yang viral…. Sebenernya hanya sebuah trend yang baru”

It’s a bullshit identity, it’s about comodity

“Kemana ya bahasan komodo lo bro? Mana komodonya?” … Sabar-sabar. Di bagian ini baru gue mau bahas komodo. Sekarang pertanyaannya, sepenting apakah identitas (yang adalah preferensi-preferensi sementara lo itu) dibentuk? Dan mengapa? Mengapa kehidupan kita dikomputasi untuk suatu hasil yang akan membuat kita terus-terusan berada di dalamnya?

Jawaban gue sederhana.. mungkin semua itu gak hanya berbicara identitas lo. Sistem itu gak sekedar menciptakan siapa lo dari yang lo mau.. tapi.. dia mau lo, mau apa yang dia mau. Get it? Sederhana. Ini soal komoditas. Soal barang jualan. Tapi lo dibentuk dulu.. supaya lo merasa barang jualan (yang biasa apa aja) itu diri lo banget. Lo beli deh.

Dan di sini enaknya jadi komodo. Komodo punya pulaunya sendiri. Dia tetap jadi komodo. Preferensinya ya daging ayam. Gitu-gitu aja ampe mati. Mau itu komodo ditawarin kopi hitam non gula di senja hari, kalo dia gak mau ya gabisa. Tapi dia gak kayak kita yang terikat dengan komoditas global. Artinya, lo udah keluar dari pulau lo sendiri.. tanpa privasi.. identitas lo berdasarkan preferensi yang ganti.. sampe lo gatau lo siapa. Bahkan gue gak tau gue siapa. Lo gak lain jadi konsumen bagi komoditas mereka (catatan: kata ‘mereka’ terserah lo mau lo bilang media, pebisnis besar, bahkan illuminati karena lo kebanyakan baca konspirasi.. terserah). #KomodovsKomoditas

Ketika orang kasih makan komodo, orang gak bisa maksa dia makan selain makanan yang jadi kesukaannya. Terpaksa orang itu mengikuti kemauan komodo. Bedanya sama kita-kita nih.. orang bisa jualan apa aja, tinggal gimana caranya ngebentuk kita-kita jadi suka sama hal tersebut. (?) Kasus ini membuktikan bahwa kita tidak hadir sebagai konsumen murni, melainkan kata “Konsumen” sendiri adalah produk dari banyak hal yang sudah di-design sedemikian rupa. Yaa… gue dan lo.. mungkin sama sama produk. (?)

Hehe.. sekian. Kayaknya gue sok tau, bacot-bacot doang. Mungkin gue gak berdasar, penuh logical fallacy. Mungkin bahkan kata-kata tak berdasar dan tak berbukti ini juga udah jadi trend, bahkan dikalangan sekelas politisi. Eh.. maaf pak Gubernur! tapi ya,.. terus kenapa?

“Satu lagi… enaknya jadi komodo, dia gak mikirin yang kita pikirin. Dia juga gak nanya tuh dia siapa.“

--

--