Rehat Sejenak: bicara soal “Suwung” Gitart Exhibition 16–17 Maret 2020

kresekgoreng
terus kenapa?

--

Kalo boleh ngasih tau nih, ini pertama kalinya bikin ulasan tentang sebuah acara. Kalo ada kurang-kurangnya, anggap aja buat bahan diskusi.

Suwung

Untuk saya pribadi, kata ini sebenarnya cukup asing di telinga saya. Kata “suwung” ini diambil dari bahasa jawa, yang berarti kosong atau hampa. Lebih lanjut, makna suwung ini juga bisa diartikan sebagai sebuah fase dalam kehidupan, yaitu fase “kelam”. Ya.. ini juga setelah dijelaskan di sana.

Berangkat dari arti kata tersebut, pelukis menjadikannya sebagai tema lukisan karya-karyanya. Mengapa demikian? Pelukis memiliki keresahan, sebagai anak muda yang kehidupannya penuh dengan tanda tanya dan tekanan sepertinya bukan dia saja yang merasakannya. Salah satu contohnya, seperti saya ini. Ga usah tanya keresahan dan tekanannya karna apa. Udah diem, baca aja. Oleh karena itu, pelukis berusaha “mengekspresikan” perasaan tersebut ke dalam karya-karyanya dan diharapkan orang-orang dapat merasakan bahwa dalam fase ini kita tidak berjalan sendirian dan fase ini adalah fase yang wajar. Entah pesan tersebut sampai atau tidak, yang jelas itulah yang diharapkan sang pelukis.

Suasana Pameran

Kalo tadi ngomongin soal tema besarnya, sekarang ngomongin acaranya.

Konsepnya sih menarik. Dari pintu masuk, saya sudah bisa merasakan “kesuwungan” tadi. Suasana yang kelam dengan lampu berwarna merah mengelilingi gedung serta wangi dupa yang cukup menyengat di setiap sudut ruangan. Dilengkapi dengan alunan tembang jawa, yang kalo didengerin juga ga ngerti isinya apa. Katanya, tembang tersebut mengisahkan bagaimana orang jawa mengajarkan kehidupan kepada anak-anaknya.

Yaa… tak lupa juga dengan dua botol hand sanitizer di pintu masuk dan keluar gedung, sebagai bentuk pencegahan COVID-19. Maklum, penyelenggaran pameran ini berlangsung saat merebaknya virus tersebut. Ga usah didebatin, percuma. Acaranya udah kelar.

Di depan pintu saya disambut dengan kain kafan yang ditulis dengan tinta merah. Tulisan tersebut beriisikan latar belakang penyelenggaraan acara ini. Menarik. Katanya sih, kain kafan melambangkan hanya itulah yang bisa dibawa sampai akhir hayat nanti. Yaa.. bolehlah ya.

Tidak hanya kain kafan berwarna putih saja, setiap lukisan yang ada, ditempel di papan yang telah ditutupi kain hitam. Saya lupa maknanya apa, tapi itu juga keren.

Oh iya, ada juga tanah dan bunga, sebagai pelengkap kain kafan tadi. Tanah dan bunga digambarkan sebagai sebuah pengingat akan orang yang telah meninggal. Apapun itu, dekorasi yang dimuat di tempat ini dapat menunjang saya untuk menikmati pameran ini. Oh.. sama ada AC juga, dua kalo ga salah. Jadi cukup dingin tempatnya.

Eh ada lagi deh… uler sama tiga tarantula. Untuk maknanya, saya kira ga perlu. Tapi keren kok. Di tengah-tengah gitu mereka. Tenang kok, pemiliknya ngerawat mereka dengan baik. Walaupun lebih baik melepasliarkan mereka hiya hiya hiya…

Kebanyakan dekorasi emang. Jadi harus detail dijelasinnya nih.

Lukisan

Tema, sudah. Latar belakang, sudah. Dekorasi, sudah. Nah.. sekarang lukisannya. Gak lengkap dong kalo cuma ngomongin sarana penunjang dan latar belakangnya aja.

Di pameran ini terdapat banyak lukisan, ya iyalah, namanya juga pameran lukisan. Sekitar 30an kali ya. Banyak. Sampe-sampe kalo ditanya ke pelukisnya latar belakang dan maksudnya apa, mikir dulu. Kebanyakan emang. Tapi intinya ga terlepas dari “suwung” itu sendiri.

Kalo saya perhatiin sih, dari tema “suwung” itu, ada beberapa tema kecil yang coba digambarkan oleh pelukis. Pergumulan hidup pribadi, orang tua, dan juga cara pandang masyarakat terhadap orang yang sedang mengalami “suwung” itu sendiri.

Tiga tema yang diangkat, bagi saya menarik, entah karena relate dengan keseharian saya atau karena memang banyak orang toxic di masyarakat. Termasuk saya, anda dan orang-orang di sekitar kita.

Apalagi soal orang tua, pergumulan pribadi sama cara pandang masyarakat. Tiga-tiganya sih relate heheh.

Kalo ngomongin orang tua emang ga ada abisnya. Nah, di sini pelukis mau menggambarkan kebiasaan yang sering dilakukan orang tua. Ngasih ekspektasi ini itu. Iya sih mereka yang hidup duluan, tapi kan… ah sudahlah. Ada beberapa gambar yang coba dirangkai oleh si pelukis untuk menggambarkan situasi tersebut dan kerennya, bisa nyampe sih itu pesannya. Beberapa kali saya bulak-balik buat liat gambar tersebut, karena ga nyangka aja. Jadi ketawa-ketawa sendiri.

Terus, soal pergumulan pribadi. Ini sebenarnya cukup luas lingkupnya. Bisa soal menghadapi orang-orang sekitar atau juga diri sendiri. Tapi, keduanya ada di sini. Panjang kalo dijelasin, tapi dari apa yang dilukis cukup menggambarkan. Misalnya, mata dan telinga. Tatapan mata judging masyarakat dan omongan dari toxic people yang mengganggu. Relate banget kan.

Kesan

Sebenernya gak mau terlalu panjang bikin ulasan ini, karena emang lebih enak dinikmatin sendiri. Cuma gimana ya, kadang emang pengen nulis aja. Sekalian berbagi pengalaman. Mana tau ada yang tertarik bikin beginian juga.

Saya merasa senang bisa terlibat dalam pameran ini, walau hanya sebagai partisipan. Terimakasih banyak. Menarik melihat cerita di belakang layar proses terjadinya acara ini, banyak hal yang tak terduga. Saya kira, hal tersebut memiliki bagian tersendiri dimasing-masing hati orang-orang dibalik layar ini. Mungkin juga bisa dijadikan pengingat untuk terus maju.

Entah sebagai teman atau orang yang sedang dalam masa “suwung” ini, saya kira pesan yang ingin disampaikan sang pelukis cukup memberikan makna yang baik dalam kehidupan. “Kewajaran” itu mungkin yang saya tangkap. Sekali lagi, terimakasih banyak!

Dan Hei! untuk kalian, manusia-manusia pencari makna, yang dalam hidupnya kurang bermakna atau yang kalo hidupnya ga bermakna kalo gak punya makna, mungkin bisa kali liat-liat dipameran selanjutnya. Katanya sih bakal ngadain lagi. Yaa… kita tunggu aja apa yang mau dilakukan si pelukis.

Mau bermakna atau engga kek tulisan ini,

terus kenapa?

--

--