Review: Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015)

Dhani Prima Ariv
That Filminx
Published in
4 min readApr 17, 2015

--

Tidak tampak kegentaran sedikitpun dalam bahasa tubuh Tjokroaminoto (Reza Rahadian) saat dicecar pertanyaan oleh petinggi Belanda. Dia bergeming. Sesaat kemudian berbalik, menatap langsung penonton, mengenalkan diri. Adegan pembuka yang sangat kuat. Berlatar di Penjara Kalisosok, adegan tersebut disajikan dalam format hitam putih. Masih berlatar di tempat yang sama, adegan penutup menampilkan sosok Tjokroaminoto yang terlihat larut dalam pikirannya dari balik jeruji tahanan. Adegan ini hadir dalam format full color. Durasi 161 menit film Guru Bangsa Tjokroaminoto dibatasi selang-seling antara dua format tersebut.

Perbedaan format ini merupakan hal yang paling kontras terasa dalam film. Menariknya, kontras format ini tidak tampil hanya sebagai gaya-gayaan visual. Garin Nugroho memanfaatkan dua format tersebut sebagai alat pendukung bertutur dan menyampaikan gagasan.

Format hitam putih masih sering digunakan dalam film-film modern. Penggunaannya terbagi dua. Kalau tidak tampil penuh pada keseluruhan durasi, film modern memanfaatkan hitam putih hanya pada beberapa adegan. Tujuan penggunaan format hitam putih ini beragam. Kebanyakan pembuat film memakai format hitam putih sebagai representasi masa lalu. Bisa sebagai elemen visual yang mewakili periode klasik tertentu atau ingatan masa lampau. Selain itu, format hitam putih juga dimanfaatkan sebagai penekanan pada momen-momen tertentu.

Penggunaan format hitam putih dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto termasuk dalam tujuan yang kedua. Kisah Tjokroaminoto dirangkai episodik dan dibagi atas beberapa babak. Sekuen berformat hitam putih berfungsi sebagai aksen peralihan antar babak. Ambil contoh pada adegan pembuka yang telah disinggung sebelumnya. Setelah Tjokro memperkenalkan diri, gambar beralih pada format berwarna. Penonton kemudian dituntun menuju kisah Tjokroaminoto muda (Christoffer Nelwan), kehidupan rumah tangganya dengan Soeharsikin (Putri Ayudya), dan kejadian-kejadian lain yang memengaruhi idealisme Tjokro. Babak pembuka tersebut kemudian dihentikan oleh adegan berformat hitam putih berikutnya. Adegan hitam putih ini merupakan introduksi gagasan untuk babak selanjutnya yang tampil berwarna.

Sistem pembabakan seperti ini sering ditemui dalam teater/pertunjukkan panggung. Lebih spesifiknya, dalam kaitannya dengan latar waktu film Guru Bangsa Tjokroaminoto, Garin Nugroho sedang mengaplikasikan pola pertunjukan Komedie Stamboel pada cara bertutur filmnya. Hal ini bisa terlihat pada rangkaian melodrama, guyonan, dan musikal yang tampil silih berganti dalam film.

Komedie Stamboel merupakan seni pertunjukkan yang lahir dan berkembang di Surabaya saat era Tjokroaminoto (sekitar tahun 1900-an). Pertunjukkan ini menjadi salah satu cikal bakal seni teater kontemporer di Indonesia. Komedie Stamboel bukanlah sebuah pertunjukkan komedi. Komedie Stamboel merupakan gado-gado hikayat, drama, guyonan, dan musikal. Struktur bercerita Komedie Stamboel dipisah dalam beberapa babak. Pergantian tiap babak diselingi pertunjukkan musik, tari, dan lawak. Pertunjukkan dilakukan pada sebuah panggung dengan dekorasi warna-warni dilengkapi gambar latar sesuai kisah utama. Disebabkan banyaknya pertunjukkan yang ditampilkan, Komedie Stamboel riuh oleh karakter.

Struktur bertutur Komedie Stamboel ini terlihat jelas dalam lakon kehidupan Tjokroaminoto. Episode utama tentang gagasan politik dan kebangsaan Tjokroaminoto disempali kisah-kisah minor lain. Penonton disuguhi kisah melodrama kehidupan Tjokroaminoto dengan sang istri. Ada juga kisah interaksi karakter utama dengan Stella (Chelsea Islan), gadis keturunan Indo-Belanda. Tak hanya itu, penonton juga disajikan komedi merangkap kritik sosial kelas bawah dari Mbok Tambeng (Christine Hakim), Mbok Toen, Bagong, dan penjual kursi kayu. Antara antrian kisah utama dan episode minor ini diisi musik dan tarian.

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari keputusan Garin Nugroho untuk meminjam pola Komedi Stamboel ini dalam film Tjokroaminoto. Pertama, Garin sedang berkompromi dengan kebiasaan bertuturnya yang simbolis. Kebutuhan untuk merangkul seluruh kalangan penonton dan idealisme bercerita mencapai titik temu saat simbol-simbol tersebut bisa diaplikasikan dalam pola tutur Komedie Stamboel. Format melodrama dan komedi yang sifatnya lebih pop mampu bersanding dengan tuturan simbolis melalui monolog puisi, gerak, dan tari.

Pemanfaatan Komedie Stambul juga membuat Garin lebih leluasa melempar komentar terhadap kondisi sosial politik Indonesia melalui banyak karakter. Kegelisahan Stella tentang statusnya sebagai penduduk campuran pribumi-londo tidak bisa tidak dikaitkan dengan isu pribumi dan non-pribumi yang masih menjadi bom waktu di Indonesia. Di lain kisah, terlihat debat kusir antara pemikir-pemikir yang merupakan anak didik Tjokroaminoto. Kubu Agoes Salim (Ibnu Jamil) yang mendukung pendidikan sebagai isu utama untuk diajukan pada Dewan Rakyat ditentang kubu Semaoen (Tanta Ginting) yang lebih mendukung soal isu agraria. Debat tersebut mbulet hingga kemudian kamera memutuskan untuk meninggalkan mereka dan beralih pada adegan rakyat yang mati digantung. Kritik yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Kesesuaian format media dan cara bertutur yang disajikan Garin Nugroho sangat menarik untuk diapresiasi lebih jauh. Bentuk dan isi saling mendukung. Namun bukannya tanpa masalah. Hal yang paling terasa saat memindahkan pola tutur Komedie Stamboel dalam sinema adalah melarnya cerita dan riuhnya karakter. Gagasan kebangsaan yang hendak disampaikan karakter utama terdistorsi oleh keriuhan cerita. Fokus makin tersebar saat cerita melebar. Format hitam putih yang minim distorsi warna dan musik serta bertujuan memberi tekanan gagasan utama cerita tidak banyak membantu. Ditambah lagi, Garin tidak memberi kesempatan untuk kisah karakter utama menjadi kokoh terlebih dahulu. Tanpa adanya pondasi ini, gagasan kebangsaan yang disampaikan oleh Tjokroaminoto menjadi lebih seperti sebuah hasil jadi tanpa proses yang kuat. Konsekuensinya, gagasan tersebut cepat dilupakan.

Film Guru Bangsa Tjokroaminoto mencoba berhidjrah (baca: bereksperimen) dengan sedikit keluar dari cara bertutur kebanyak film tokoh sejarah Indonesia. Apresiasi lebih untuk hal ini. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa film sebagai salah bentuk seni juga punya batasan-batasannya sendiri.

Starring: Reza Rahadian, Putri Ayudya, Sudjiwo Tejo, Maia Estianty, Christine Hakim, Ibnu Jamil, Alex Komang
Director: Garin Nugroho
Screenwriter: Ari Syarif, Erik Supit, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Garin Nugroho, Kemal Pasha Hidayat
Producer: Christine Hakim, Didi Petet, Dewi Umaya Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif
Studio: Pic[k]lock Production, Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto, MSH Films
Genre: Drama
Length: 161 min
Release: 9 April 2015 (INA)

Originally published at www.filminx.com on April 17, 2015.

--

--