Kenapa buru-buru?

Nadia Anindya
That One Thing
Published in
3 min readJul 12, 2020

Semua mungkin setuju kalau 2020 ini tahun yang paling bercanda. Hantaman di hari pertama pembuka tahunnya saja sudah bikin tergagap. Disusul beberapa kejadian “lucu” lainnya yang bikin merangkak. Sampai akhirnya… BAM! Tiba lah kita di masa pandemi. Bukan lagi merangkak, banyak yang bahkan terpukul dan tersungkur.

Siklus kegiatan rutin berhenti, terpaksa beralih. Rencana rapi jadi berantakan, terpaksa ditangguh.

Tidak semua manusia memiliki kecepatan yang sama dalam proses adaptasi. Perubahan mendadak yang membuat kita berdiam di rumah dalam waktu yang lama.

Bagiku sendiri juga begitu. Satu sampai dua bulan pertama, setengah mati rasanya beradaptasi dengan metode kerja dari rumah. Menurutku, bekerja dari rumah bukan semata-semata berpindah tempat untuk melakukan pekerjaan yang sama. Namun, lebih dari itu. Mulai dari berkurangnya stimulan berupa interaksi, hingga bertambahnya distraksi. Belum lagi, mengendalikan rasa cemas dan was-was atas ketidakpastian situasi. Semua melebur jadi satu. Bagaimana pun, tanpa peduli perasaan kita, daftar tanggung jawab tetap harus dilakukan dan diselesaikan, bukan?

Di penghujung bulan kedua, semua terasa memburuk. Semakin waktu berlalu, semakin menyadari bahwa banyak rencana-rencana yang perlu direlakan. Saat itu, buatku, melalui hari tanpa melakukan sesuatu apa pun untuk masa depan, artinya buang-buang waktu. Saat itu, buatku, menunda satu rencana, sama dengan menyusun ulang seluruh tatanan.

Lalu, apa yang ku dapat dari situ? Satu; lelah…..

Aku pun mulai lebih banyak menghabiskan waktu untuk berkontemplasi. Kutepuk punggungku, kuajak diriku berdialog, dan kupertanyakan;

Hai, kamu ngga capek…? Kamu sedang kejar-kejaran dengan siapa…? Sepenting apa hal yang sedang kamu kejar-kejar…? Kamu, cari apa sebenarnya…?

(Fujikawaguchiko, 2018) Bahkan pemandangan tenang baru terasa menenangkan jika kita ambil waktu untuk berhenti sejenak, dan nikmati…

Dari situ aku sadar, selama ini aku lupa untuk mengevaluasi daftar prioritas. Tanpa sadar, lama-lama semua dianggap penting dan diberi porsi dalam otak serta alokasi tenaga juga waktu. Sotoy…..

Padahal, energi dan kapasitas manusia, kan, terbatas. Jika terlalu banyak, otak riuh emosi rusuh. Ujungnya, bingung mau apa dan jalan ke mana…

Lalu yang kulakukan adalah memberi penilaian ulang terhadap apa yang selama ini menjadi prioritas. Apa sebenarnya yang selama ini dianggap penting, dan tidak penting.

Jangan-jangan, yang selama ini diberi seluruh jiwa, ternyata fana; sedang yang benar-benar utama, tak pernah sepenuhnya diberi makna…

Pandemi mengajarkanku untuk lebih memilih dan memilah. Untuk apa dan siapa yang perlu kuberikan jiwa, waktu, dan tenaga. Di masa sekarang, juga dalam rencana yang akan datang.

Banyak hal yang sempat kutakutkan hilang

Khawatir jadi pincang dan sumbang

Nyatanya semua hanya pikiran terkekang

Oleh apa-apa yang datang dari ilusi bayang

Aku harus lebih sadar, bahwa realisasi dari harap dan ingin, adalah di luar kendaliku. Tetapi aku, pegang penuh kendali atas pikiranku.

Melangitkan doa membumikan usaha. Melangkah perlahan-lahan, tanpa perlu kaki dipaksa berlari.

Yang perlu diimani adalah prosesnya, sebagai ruang penuh kejutan. Tak apa kalau ada yang belum berhasil diraih.. Tak apa kalau ada yang berjalan tak sesuai rencana.. Semoga cepat, tetapi tak apa jika pun lambat.. Semua sudah dan akan pada tempatnya, pada waktunya.

Dan kutipan salah satu penulis favoritku, Haemin Sunim, kini selalu menjadi pengingat,

When everything around me is moving fast, I stop and ask, “Is it the world that’s busy, or is it my mind?”

It is my mind.

It is definitely our mind…

--

--