Basketball Scouting dan IBL yang Ternyata Seru Juga!

Pengalaman pertama saya menyaksikan pertandingan basket lokal sebagai scout yang ternyata gak terlalu basi.

Ammarsha Rewindra Ridwan
The Amateurs
5 min readFeb 7, 2020

--

Foto: EPA-EFE/LYNNE CAMERON

Kiblat saya dalam dunia perbasketan adalah NBA. Kobe Bryant (Rest In Peace and we love you!) dan Shaquille O’Neal menjadi idola saya kala mereka mengawali milenium baru dengan three-peat. Berkembang dewasa, Boston Celtics menangkan hati saya dengan menggulingkan Los Angeles Lakers di NBA Finals 2008. Kala itu pula, mantan saya sangat menyukai warna hijau. So, why not the Boston Celtics?

Belasan tahun berjalan dan saya tetap menjadi penggemar basket NBA dengan Boston Celtics sebagai tim andalan. Namun di paruh akhir tahun 2019, saya mendapatkan rezeki tak terduga yang mengantarkan saya lebih dekat dengan skena basket negeri sendiri.

Berawal dari rasa penasaran, saya berselancar di salah satu situs penyedia jasa statistik olahraga untuk mencari peluang berkarir. Singkat cerita, saya menemukan lowongan paruh waktu untuk menjadi basketball scout dari perusahaan induk penyedia jasa statistik tersebut. Setelah mengikuti rangkaian tes dan wawancara online, akhirnya per Oktober 2019 saya diterima menjadi rookie scout (setara dengan trainee) di perusahaan tersebut.

Tugas seorang basketball scout ini sebenarnya cukup sederhana. Saya diharuskan mencatat statistik pertandingan dengan menggunakan aplikasi pada ponsel yang mereka berikan. Statistik penting yang harus saya catat adalah tembakan masuk, tembakan meleset, pelanggaran, dan turnover. Sederhana, bukan?

Untuk hal se-”sederhana” itu, saya menghabiskan kurang lebih tiga bulan latihan dengan menonton video pertandingan basket setiap minggunya untuk membiasakan diri dengan tempo pertandingan. Banyak hal yang dapat terjadi dalam kurun waktu 24 detik shot clock, dan seorang scout harus jeli mencatat setiap kejadian tersebut dalam urutan yang sesuai.

Sampai akhirnya tiba tanggal 1 Februari 2020, bertepatan dengan hari kedua Seri 3 IBL yang diselenggarakan di Jakarta. Agar saya lulus ujian sebagai rookie scout, saya harus melaporkan pertandingan secara langsung dan dalam melakukannya terdapat beberapa skenario yang harus saya lalui.

Pertandingan ujian saya adalah Indonesia Patriots vs NSH Jakarta yang menjadi penutup pada hari tersebut. Untuk membiasakan diri, saya berinisiatif mengajukan diri untuk menonton pertandingan sebelumnya, Prawira Bandung vs Satria Muda Pertamina dan melakukan scouting untuk separuh babak pertama.

Kalau boleh jujur, saya sama sekali tidak tahu-menahu atas pertandingan ini. Ini tim apa, siapa bintangnya, bagaimana strategi pertandingan mereka, rekor pertandingan sebelumnya, dan hal lainnya terasa asing bagi saya. Tujuan saya hanyalah untuk datang, duduk, catat, dan pulang. I’m just doing my job.

Pertandingan diawali dengan sangat buruk. Bagi saya yang notabene penggemar NBA dan terbiasa dengan aksi pemain basket terbaik di dunia, menyaksikan pertandingan IBL rasanya seperti membandingkan langit dengan bumi. Terlalu banyak tembakan yang meleset, dan dari sisi yang bertahan pun tidak bisa mengambil bola rebound dengan baik.

Selesai paruh pertama, saya berhenti scouting dan mencoba untuk menikmati pertandingan dengan lebih santai. Harapannya, saya bisa melihat sisi lain yang terlewat selama saya melakukan scouting. Namun tidak terdapat banyak perubahan sampai akhirnya masuk ke quarter 4.

Setelah tertinggal 7 poin, Gary Jacobs dan Satria Muda Pertamina mencoba kembali dan akhirnya di penghujung babak berhasil memimpin 65–62. Dengan sisa 15 detik, William Tinsley IV dari Prawira Bandung melakukan ini:

Gila. Seisi BritAma Arena bergemuruh. Dengan tembakan tadi, Prawira Bandung menyamakan kedudukan 65–65 dan pertandingan berlanjut ke overtime.

Dari sudut pandang seorang scout, overtime adalah mimpi buruk karena pekerjaan kami jadi bertambah. Namun bagi penggemar basket pada umumnya, overtime jadi salah satu momen yang paling menegangkan dan sangat menyenangkan untuk disaksikan. Walaupun akhirnya Satria Muda Pertamina menang, tapi seisi arena tetap memberikan apresiasi terbaik bagi Prawira Bandung atas semangat juangnya dan suguhan pertandingan yang berakhir luar biasa.

Akhirnya tiba pertandingan pemuncak hari itu. Tim nasional basket Indonesia yang bermain di bawah nama Indonesia Patriots harus berhadapan dengan tim ibukota, NSH Jakarta. Nama-nama pebasket terbaik dalam negeri seperti Arki Wisnu, Abraham Grahita, dan sang bintang utama Brandon Jawato menjadi daya tarik utama pertandingan ini.

Di paruh babak pertama terbukti Indonesia Patriots mendominasi, terutama di quarter 2 di mana mereka mencetak 30 poin, terbanyak dalam satu quarter sepanjang pertandingan berlangsung. Brandon Jawato menasbihkan diri sebagai salah satu pemain terbaik di Indonesia dengan aksinya dalam penetrasi paint area lawan, dan juga menembak secara jitu dari balik garis tiga angka. Jawato mencetak 28 poin dari 9–17 field goal attempts, 8 rebounds, dan 5 assists dalam pertandingan tersebut. This is NBA numbers.

Namun di paruh terakhir pertandingan, Indonesia Patriots tidak bisa mempertahankan keunggulan karena Michael Glover dan Dashaun Wiggins menggila, memberikan kemenangan kepada NSH Jakarta 93–89. Glover, Center berkebangsaan Amerika Serikat ini mencetak 39 poin dari 13–25 field goal attempts, 12 rebounds, dan 3 assists.

Secara bentuk tubuh, Glover terlihat terlalu besar dan berat untuk bermain basket. Tapi Indonesia Patriots seakan tidak mempunyai jawaban atas serangan Glover di bawah ring, terlihat dari bagaimana ia selalu dapat mencetak poin lewat under basket walau acap kali sudah dilanggar oleh pemain Indonesia Patriots. Glover mendapatkan 17 peluang lemparan bebas dan berhasil mencetak 12 poin dari peluang tersebut.

Dari sisi pertandingan, sudah seharusnya saya berekspektasi lebih rendah. Saya harus paham bahwa yang akan ditonton bukanlah pemain mega bintang sekelas pemain NBA.

Secara talenta, bibit bakat basket Indonesia sebenarnya sudah bisa disaksikan sejak sang pemain masih berusia belia dengan adanya Developmental Basketball League (DBL) untuk pemain kelas SMA. Saya sempat berdiskusi dengan seorang teman yang dulunya atlet basket SMA, dan berdasarkan pengalamannya dapat disimpulkan bahwa pelatihan teknis, terutama dalam mencetak poin terasa sangat kurang. Pemain dituntut untuk kuat secara fisik namun tidak dapat menyelesaikan serangan yang telah dibangun.

Belum lagi faktor lain seperti pemain berbakat yang memilih untuk tidak meneruskan karirnya sebagai atlet basket. Dalam siniar Box Out Indonesia, Rocky Padila mengatakan bahwa banyak pemain berbakat yang ia pantau di DBL berujung memilih untuk sekolah di luar Amerika Serikat dan Eropa, yang berarti tidak melanjutkan kiprah basketnya di dalam negeri.

Tapi jika disebut bahwa pertandingan basket Indonesia tidak bisa menyuguhkan hiburan, jelas salah. Di NBA pun, overtime cukup jarang terjadi dan saya beruntung dapat menyaksikan intensitas permainan basket pada babak tambahan secara langsung.

Tidak lupa juga atmosfir pertandingan di lapangan yang tidak akan Anda dapatkan dengan menonton di layar kaca. Riuh gemuruh setiap poin tercetak, sorak benci penuh emosi ketika bola di tangan pemain lawan, dan pekikan “DE-FENSE!” penuh cemas jelang menit-menit terakhir pertandingan menjadi pengalaman manis tersendiri bagi saya si anak bawang di skena basket dalam negeri.

--

--

Ammarsha Rewindra Ridwan
The Amateurs

I write my heart out. How about you? | Visit medium.com/the-amateurs for my sports-related articles.