Oper Saja ke Si Bule!

Apakah memenangkan pertandingan basket profesional di Indonesia semudah menyuapi pemain asing terbaik di tim Anda?

Ammarsha Rewindra Ridwan
The Amateurs
5 min readMar 11, 2020

--

Foto: Hari Purwanto — mainbasket.com

Setelah menyaksikan seri pertama IBL saya di kota sendiri dan pulang dengan perasaan campur aduk, kini saya bertandang ke kota pahlawan di timur Jawa demi mengemban tugas, dengan harapan dapat memetik asa yang sudah saya pupuk sejak hari itu; bahwa IBL tidak seburuk yang saya bayangkan.

Pertandingan pertama yang saya saksikan pada Seri VI Surabaya adalah pertandingan antara Pelita Jaya Bakrie dengan Satya Wacana Salatiga, di mana tim asal Jakarta tersebut menang 72–67 walau mendapat perlawanan sengit. Pelita Jaya dipimpin oleh Dior Lowhorn yang mencetak 29 poin dan 16 rebound. Angka ini hanya didekati oleh Adhi Pratama dan Reggie Mononimbar yang masing-masing mencetak 12 dan 11 poin.

Sementara Satya Wacana dimotori oleh performa Christoper Sterling dengan 23 poin dan 6 rebound nya, dobel-dobel 21 poin dan 10 rebound dari Montrell Wiliams, dan Daniel Hurtt dengan 12 poin dan 8 rebound. Ada poin menarik yang saya perhatikan dari pertandingan ini. Pemain Satya Wacana lainnya, yang memang semuanya berkebangsaan Indonesia mencetak total 10 poin saja. Dominasi pemain asing sangat terasa pada pertandingan ini.

Mari kita lihat pertandingan kedua pada hari itu, di mana Satria Muda Pertamina bertemu dengan Amartha Hangtuah. Satria Muda menang tipis, 83–79 dengan Elijah Foster mencetak 31 poin dan 13 rebound, dan sang Point Guard andalan Gary Jacobs Jr. menorehkan 26 poin dan 9 rebound. Dari sisi Hangtuah, ada Emilio Parks dengan 33 poin dan 9 rebound dan Laquavius Cotton dengan 19 poin dan 9 rebound.

Pencapaian pemain Indonesia pada pertandingan ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Ada Stevan Neno dari Hangtuah yang mencetak 14 poin pada game tersebut. Rivaldo Pangesthio dari Satria Muda pun memiliki torehan yang cukup baik, di mana ia memiliki 9 poin dari empat tembakan masuk dari lima percobaan, dan net rating yang paling tinggi kedua dalam pertandingan tersebut dengan nilai +10, di bawah Elijah Foster yang memiliki nilai +11.

Satu lagi pertandingan yang menurut saya menarik adalah perhelatan dramatis di hari ketiga Seri VI antara NSH Jakarta yang menang tipis 68–67, setelah sempat tertinggal 17 poin melawan Bank BPD DIY Bima Perkasa. Penampilan luar biasa Mike Glover menjadi sorotan utama di mana ia mencetak angka yang fantastis, 42 poin dan 16 rebound.

Namun ironisnya, pemain berkebangsaan Indonesia dari NSH Jakarta hampir tidak mencetak satu poin pun di paruh pertama pertandingan, sampai akhirnya Andre Rorimpandey mencetak tripoin pertamanya satu setengah menit sebelum kuarter kedua berakhir.

Sepanjang pertandingan pun, tak jarang terdengar celetukan bernada ejekan rekan-rekan saya yang hadir menyaksikan pertandingan. “Ah, ini mah Mike Glover main sendiri!” contohnya. Pada pertandingan NSH Jakarta melawan Bank BPD DIY Bima Perkasa, Dominasi Glover di bawah rim sangat terasa.

Mike Glover mungkin merupakan pemain dengan badan terbesar di pertandingan itu. Badannya gempal, setiap gerakannya terlihat lambat namun sangat kuat. Acap kali saya menangkap Glover lari-lari kecil pada saat transisi, dan menyerahkan pertahanan kepada rekan tim lainnya yang malah sebaliknya, lari secepat mungkin agar mereka bisa berada dalam posisi bertahan terbaik. “Jangankan di NBA, di Euro League pun belum tentu sukses Glover ini,” gumam saya dalam hati.

Namun, torehan 42 poin itulah yang menjadi kunci kemenangan NSH Jakarta. Semua terasa mudah. Jika shot clock sudah memasuki 10 detik terakhir dan NSH Jakarta belum bisa mendapatkan celah untuk menembak, cukup oper bola ke Glover dan dia yang akan selesaikan. Ia akan menabrak dua, bahkan tiga lawan yang menjaganya dengan gerakan langkah yang kuat, lompat, dan kemudian menembak bola dengan sentuhan yang ringan atau langsung ditombok. Seisi DBL Arena pun bergemuruh ketika momen itu terjadi, karena mereka tahu apa yang akan terjadi dan itulah yang memang diharapkan. Pertandingan bola basket penuh aksi.

Menurut saya, ini adalah fenomena yang seharusnya kita sayangkan. Terdapat kesenjangan kemampuan yang cukup tinggi antara pemain asing dengan pemain lokal. Memenangkan pertandingan akan terasa jauh lebih mudah ketika sebuah tim memiliki pemain asing yang cukup kuat untuk beradu badan di bawah rim, cukup gesit untuk menggocek pemain yang menjaganya, atau cukup tinggi dalam melompat untuk mendapatkan bola rebound. Dan ini, membuat IBL menjadi liga yang bule-sentris dan tidak menarik.

Namun bukan berarti dari pihak IBL sendiri tidak melakukan antisipasi atas kekecewaan ini. IBL sudah membatasi pemain asing yang bertanding di liga, dengan hanya memperbolehkan tiga pemain asing untuk setiap tim dengan maksimal tinggi 200 centimeter. Selama pertandingan berlangsung, klub hanya diperbolehkan untuk memainkan dua pemain asing di lapangan secara bersamaan. Peraturan ini baru berlaku di perhelatan IBL musim ini.

Tetapi saya tidak bisa serta-merta menyalahkan IBL dan kebijakannya dalam perihal ini, karena jika kita melihat pertandingan secara langsung secara skema pun tidak mendukung pemain lokal untuk menunjukkan performa terbaiknya. Dari lima pertandingan yang saya saksikan, terdapat beberapa skema di mana memang pelatih terkesan menginstruksikan pemain untuk memberikan bola kepada pemain terbaik mereka — yang notabene pemain asing — untuk menyelesaikan skema serangan.

Terdapat pula beberapa kesempatan yang sebenarnya pemain lokal memiliki kesempatan untuk mencetak skor, namun terlihat bingung dan tidak percaya diri sehingga akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan bola kepada pemain terbaik. Seperti terbukanya jalur untuk penetrasi ke rim, kesempatan terbuka lebar menembak di jarak menengah, dan juga celah untuk cutting yang tidak dieksploitasi dengan baik juga menjadi alasan mengapa beberapa pemain sulit mencetak angka dari peluang terbuka.

Di tengah keluh kesah ini, sebenarnya masih ada secercah harapan atas kualitas pemain dalam negeri. Pertandingan sengit Amartha Hangtuah melawan Prawira Bandung menjadi testamen bahwa talenta lokal belum habis. Abraham Wenas menjadi kondektur serangan Amartha di mana ia menorehkan 13 poin dan 3 asis. Pergerakan luar bola Wenas pun terlihat dinamis dengan ia mencetak beberapa poin dari gerakan cutting dan ia tampil baik dalam bertahan dengan mendapatkan 2 steal. Diftha Pratama dari Prawira Bandung mencetak 17 poin, yang beberapa diantaranya datang dari lima tripoint yang ia cetak dari enam kesempatan. Point Guard veteran Arif Hidayat pun unjuk gigi dengan 13 poin dan 8 asis.

Walaupun supremasi pemain asing masih kental terasa dalam skena basket dalam negeri, pihak penyelenggara sudah melakukan yang terbaik melalui regulasi yang diberlakukan. Diperlukan lebih dari sekadar peraturan untuk menghilangkan kesenjangan talenta yang saat ini cukup kentara. Pelatihan skema yang berfokus pada pergerakan luar bola, mengandalkan situasi mismatch pada pemain yang lebih besar yang lambat, dan latihan dalam penyelesaian bola dari berbagai situasi bisa jadi solusi untuk meningkatkan kemampuan pemain lokal yang kadang terlihat seperti menembak batu bata (shooting bricks) saat bermain.

--

--

Ammarsha Rewindra Ridwan
The Amateurs

I write my heart out. How about you? | Visit medium.com/the-amateurs for my sports-related articles.